Selasa, 28 Desember 2010

Manajemen Pendidikan Islam dan Implementasinya

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
DAN IMPLEMENTASINYA
Oleh : Imadi (NPM. 2010.40.051)

I. Latar Belakang
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Mulai dari urusan terkecil seperti mengatur urusan rumah tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah Negara, semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang, dan bentuk yang ada seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), jenjang pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Alyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas.
Pada jalur pendidikan non formal seperti Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA), Majelis Ta’lim, Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jalur Pendidikan Informal seperti pendidikan yang diselenggarakan di dalam keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau manajemen yang sebaik-baiknya, sebab jika tidak bukan hanya gambaran negatif tentang pendidikan Islam yang ada pada masyarakat akan tetap melekat dan sulit dihilangkan bahkan mungkin Pendidikan Islam yang hak itu akan hancur oleh kebathilan yang dikelola dan tersusun rapi yang berada di sekelilingnya, sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib :”kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”.
Makalah sederhana ini akan membahas tentang manajemen pendidikan Islam dan implementasinya, disampaikan dalam diskusi Mata Kuliah Manajemen Pendidikan di PPs. IAIN Raden Intan Lampung.
II. Pembahasan
a. Pengertian Manajemen Pendidikan Islam.
Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata management yang berarti pengelolaan, ketatalaksanaan, atau tata pimpinan. Sementara John M. Echols dan Hasan Shadily mengartikan management berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan.
Ramayulis menyatakan bahwa pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan). Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam Al Qur’an seperti firman Allah SWT :
يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (Al Sajdah : 05).
Dari isi kandungan ayat di atas dapatlah diketahui bahwa Allah swt adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah swt dalam mengelola alam ini. Namun, karena manusia yang diciptakan Allah SWT telah dijadikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini. Sementara manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Sedangkan Sondang P Siagian mengartikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain.
Bila kita perhatikan dari kedua pengertian manajemen di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa manajemen merupakan sebuah proses pemanfaatan semua sumber daya melalui bantuan orang lain dan bekerjasama dengannya, agar tujuan bersama bisa dicapai secara efektif, efesien, dan produktif. Sedangkan Pendidikan Islam merupakan proses transinternalisasi nilai-nilai Islam kepada peserta didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
b. Analisis Manajemen Pendidikan Islam
Dalam rangka untuk lebih mudah dalam memahami tentang implementasi manajemen Pendidikan Islam, maka penulis berupaya untuk memasukkan muatan implementasinya melalui fungsi – fungsi. Sehingga implementasinya akan menjadi lebih mudah diterapkan. Manajemen pendidikan Islam tidaklah bisa terlepas dari fungsi manajemen secara umum seperti yang dikemukakan Henry Fayol seorang industriawan Prancis, dia mengatakan bahwa fungsi-fungsi manajemen itu adalah merancang, mengorganisasikan, memerintah, mengkoordinasi, dan mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang.
Sementara itu Robbin dan Coulter mengatakan bahwa fungsi dasar manajemen yang paling penting adalah merencanakan, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan. Senada dengan itu Mahdi bin Ibrahim menyatakan bahwa fungsi manajemen atau tugas kepemimpinan dalam pelaksanaannya meliputi berbagai hal, yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
Untuk mempermudah pembahasan mengenai manajemen pendidikan Islam dan implementasinya, maka penulis akan memulai dengan fungsi manajemen pendidikan Islam sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh Robbin dan Coulter yang pendapatnya senada dengan Mahdi bin Ibrahim yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/kepemimpinan, dan pengawasan.
1. Fungsi Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah sebuah proses perdana ketika hendak melakukan pekerjaan baik dalam bentuk pemikiran maupun kerangka kerja agar tujuan yang hendak dicapai mendapatkan hasil yang optimal. Demikian pula halnya dalam pendidikan Islam perencanaan harus dijadikan langkah pertama yang benar-benar diperhatikan oleh para manajer dan para pengelola pendidikan Islam. Sebab perencanaan merupakan bagian penting dari sebuah kesuksesan, kesalahan dalam menentukan perencanaan pendidikan Islam akan berakibat sangat patal bagi keberlangsungan pendidikan Islam. Allah memberikan arahan kepada setiap orang beriman untuk mendesain sebuah rencana apa yang akan dilakukan dikemudian hari, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al Hasyr : 18
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketika menyusun sebuah perencanaan dalam pendidikan Islam tidaklah dilakukan hanya untuk mencapai tujuan dunia semata, tapi harus jauh lebih dari itu melampaui batas-batas target kehidupan duniawi. Arahkanlah perencanaan itu juga untuk mencapai target kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga kedua-duanya bisa dicapai secara seimbang. Mahdi bin Ibrahim mengemukakan bahwa ada lima perkara penting untuk diperhatikan demi keberhasilan sebuah perencanaan, yaitu :
1. Ketelitian dan kejelasan dalam membentuk tujuan.
2. Ketepatan waktu dengan tujuan yang hendak dicapai.
3. Keterkaitan antara fase-fase operasional rencana dengan penanggung jawab operasional, agar mereka mengetahui fase-fase tersebut dengan tujuan yang hendak dicapai.
4. Perhatian terhadap aspek amaliah ditinjau dari sisi penerimaan masyarakat, mempertimbangkan perencanaan, kesesuaian perencanaan dengan tim yang bertanggung jawab terhadap operasionalnya, kemungkinan yang bisa dicapai, dan kesiapan perencanaan melakukan evaluasi terus menerus dalam merealisasikan tujuan.
5. Kemampuan organisatoris penanggung jawab operasional.
Sementara itu menurut Ramayulis mengatakan bahwa dalam Manajemen pendidikan Islam perencanaan itu meliputi :
1. Penentuan prioritas agar pelaksanaan pendidikan berjalan efektif, prioritas kebutuhan agar melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, masyarakat dan bahkan murid.
2. Penetapan tujuan sebagai garis pengarahan dan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan.
3. Formulasi prosedur sebagai tahap-tahap rencana tindakan.
4. Penyerahan tanggung jawab kepada individu dan kelompok kerja.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam Manajeman Pendidikan Islam perencanaan merupakan kunci utama untuk menentukan aktivitas berikutnya. Tanpa perencanaan yang matang aktivitas lainnya tidaklah akan berjalan dengan baik bahkan mungkin akan gagal. Oleh karena itu buatlah perencanaan sematang mungkin agar menemui kesuksesan yang memuaskan.
Implementasi manajemen Pendidikan Islam dalam rangka untuk mencapai tujuan yang baik bagi diri, masyarakat,bangsa dan negara dengan menanamkan nilai-nilai yang positif guna mendapatkan keridhoan dari Allah swt. Baik di dunia maupun di akhirat yang dilandasi dengan keimanan, keyakinan dan keikhlasan serta kasih-sayang dengan niat perbaikan diri dan umat manusia baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
2. Fungsi Pengorganisasian (organizing)
Ajaran Islam senantiasa mendorong para pemeluknya untuk melakukan segala sesuatu secara terorganisir dengan rapi, sebab bisa jadi suatu kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dengan mudah bisa diluluhlantakan oleh kebathilan yang tersusun rapi.
Menurut Terry pengorganisasian merupakan kegiatan dasar dari manajemen yang dilaksanakan untuk mengatur seluruh sumber-sumber yang dibutuhkan termasuk unsur manusia, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan sukses. Organisasi dalam pandangan Islam bukan semata-mata wadah, melainkan lebih menekankan pada bagaimana sebuah pekerjaan dilakukan secara rapi. Organisasi lebih menekankan pada pengaturan mekanisme kerja. Dalam sebuah organisasi tentu ada pemimpin dan bawahan. Sementara itu Ramayulis menyatakan bahwa pengorganisasian dalam pendidikan Islam adalah proses penentuan struktur, aktivitas, interaksi, koordinasi, desain struktur, wewenang, tugas secara transparan, dan jelas. Dalam lembaga pendidikan Islam, baik yang bersifat individual, kelompok, maupun kelembagaan.
Sebuah organisasi dalam manajemen pendidikan Islam akan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan jika konsisten dengan prinsip-prinsip yang mendesain perjalanan organisasi yaitu Kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Jika kesemua prinsip ini dapat diaplikasikan secara konsisten dalam proses pengelolaan lembaga pendidikan islam, maka akan sangat membantu bagi para manajer pendidikan Islam.
Implementasi manajemen Pendidikan Islam dengan mengelola sumber daya manusia dan menempatkan pada tempat yang sesuai dengan kemampuannya. Menempatkan seseorang sesuai dengan kredibilitasnya yang tentunya tidak lepas dari nilai-nilai keyakinan (keimanan), bahwasanya kemampuan dari Allah SWT. bila ada kemauan dan semangat yang tinggi serta senantiasa ada hubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengorganisasian merupakan fase kedua setelah perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Pengorganisasian terjadi karena pekerjaan yang perlu dilaksanakan itu terlalu berat untuk ditangani oleh satu orang saja. Dengan demikian diperlukan tenaga-tenaga bantuan dan terbentuklah suatu kelompok kerja yang efektif. Banyak pikiran, tangan, dan keterampilan dihimpun menjadi satu yang harus dikoordinasi bukan saja untuk diselesaikan tugas-tugas yang bersangkutan, tetapi juga untuk menciptakan kegunaan bagi setiap anggota kelompok tersebut terhadap keinginan keterampilan dan pengetahuan.

3. Fungsi Pengarahan (directing).
Pengarahan adalah proses memberikan bimbingan kepada rekan kerja sehingga mereka menjadi pegawai yang berpengetahuan dan akan bekerja efektif menuju sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Di dalam fungsi pengarahan terdapat empat komponen, yaitu pengarah, yang diberi pengarahan, isi pengarahan, dan metode pengarahan. Pengarah adalah orang yang memberikan pengarahan berupa perintah, larangan, dan bimbingan. Yang diberi pengarahan adalah orang yang diinginkan dapat merealisasikan pengarahan. Isi pengarahan adalah sesuatu yang disampaikan pengarah baik berupa perintah, larangan, maupun bimbingan. Sedangkan metode pengarahan adalah sistem komunikasi antara pengarah dan yang diberi pengarahan.
Dalam manajemen pendidikan Islam, agar isi pengarahan yang diberikan kepada orang yang diberi pengarahan dapat dilaksanakan dengan baik maka seorang pengarah setidaknya harus memperhatikan beberapa prinsip berikut, yaitu : Keteladanan, konsistensi, keterbukaan, kelembutan, dan kebijakan. Isi pengarahan baik yang berupa perintah, larangan, maupun bimbingan hendaknya tidak memberatkan dan diluar kemampuan sipenerima arahan, sebab jika hal itu terjadi maka jangan berharap isi pengarahan itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh si penerima pengarahan.
Seorang pemimpin harus memiliki nilai kepemimpinan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. dengan cara memotivasi, membimbing, mengarahkan dan memberikan contoh (tauladan) serta menjaga hubungan baik dengan yang diberi pengarahan dalam hal yang sifatnya materil maupun spiritual. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa fungsi pengarahan dalam manajemen pendidikan Islam adalah proses bimbingan yang didasari prinsip-prinsip religius kepada rekan kerja, sehingga orang tersebut mau melaksanakan tugasnya dengan sungguh - sungguh dan bersemangat disertai keikhlasan yang sangat mendalam.

4. Fungsi Pengawasan (Controlling)
Pengawasan adalah keseluruhan upaya pengamatan pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan Didin dan Hendri menyatakan bahwa dalam pandangan Islam pengawasan dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak. Dalam pendidikan Islam pengawasan didefinisikan sebagai proses pemantauan yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil maupun spirituil.
Implementasinya dalam kehidupan adalah dengan memberikan penghargaan/reward bagi yang telah melaksanakan pekerjaan/tugasnya dengan baik dan memberikan sanksi atau hukuman bagi yang tidak mengikuti aturan yang ada dengan segala konsekwensinya, tanpa meninggalkan norma-norma kemanusiaan dan kasih sayang dan menanamkan bahwasanya adasesuatu dzat yang maha kuasa sedang melihat, mendengar dan mengawasi kita dan akan meminta kita untuk mempertanggungjawabkan setiap aktivitas yang kita lakukan
Menurut Ramayulis pengawasan dalam pendidikan Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut: pengawasan bersifat material dan spiritual, monitoring bukan hanya manajer, tetapi juga Allah Swt, menggunakan metode yang manusiawi yang menjunjung martabat manusia. Dengan karakterisrik tersebut dapat dipahami bahwa pelaksana berbagai perencaan yang telah disepakati akan bertanggung jawab kepada manajernya dan Allah sebagai pengawas yang Maha Mengetahui. Di sisi lain pengawasan dalam konsep Islam lebih mengutamakan menggunakan pendekatan manusiawi, pendekatan yang dijiwai oleh nilai-nilai keIslaman.

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Pendidikan Islam adalah proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (ummat Islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras maupun lunak. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.
Banyak sekali para ulama di bidang manajemen yang menyebutkan tentang fungsi-fungsi manajemen diantaranya adalah Mahdi bin Ibrahim, dia mengatakan bahwa fungsi manajemen itu di antaranya adalah fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Bila Para Manajer dalam pendidikan Islam telah bisa melaksanakan tugasnya dengan tepat sesuai dengan fungsi manajemen di atas, terhindar dari semua ungkupan sumir yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam dikelola dengan manajemen yang asal-asalan tanpa tujuan yang tepat. Maka tidak akan ada lagi lembaga pendidikan Islam yang ketinggalan zaman, tidak teroganisir dengan rapi, dan tidak memiliki sistem kontrol yang sesuai.
Semoga tulisan sederhana yang telah pemakalah persembahkan dihadapan anda sebagai bahan diskusi ini semoga bermanfaat adanya. Terima kasih.
Wallahu ‘alam.




DAFTAR PUSTAKA

Hafidudin, Didin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, Jakarta,Gema Insani, 2003.
Ibrahim, Mahdi bin, Amanah dalam Manajemen, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 1997.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, , 2008.
Robbin dan Coulter, Manajemen (edisi kedelapan), Jakarta,PT Indeks, 2007.
Sondang P Siagian, Filsafah Administrasi, Jakarta, CV Masaagung , 1990.
Terry, George R, Prinsip-prinsip Manajemen, Jakarta,Bumi Aksara, 2006.
Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Rineka Cipta, 2004.
UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.

Makalah Tafsir Tarbawi

KAJIAN KRITIS KITAB-KITAB TAFSIR
Oleh : Imadi ( NPM. 2010-40-051)

A. Latar Belakang
Pada garis besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat metode, yaitu: metode Ijmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik). Lahirnya metode-metode tafsir tersebut merupakan implementasi dan respon atas tuntutan perkembangan zaman yang selalu dinamis. Pada umumnya orang yang hidup pada masa Nabi Saw dan sahabat, adalah ahli dalam bahasa arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbab al-Nuzul), serta mengalami langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya Islam di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan ilmu tafsir. Akibatnya, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan umat yang semakin beragam, dari sinilah lahir istilah tafsir modern.
Salah satu yang mendorong lahirnya tafsir modern adalah semakin melebar, meluas, dan mendalamnya perkembangan aneka ilmu, dan semakin kompleksnya persoalan yang memerlukan bimbingan al-Qur’an. Disisi lain, kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia bagi peminat tuntunya itu semakin menuntut gerak cepat untuk meraih informasi dan bimbingan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas, ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode Maudhu’i (tematik). Dalam makalah ini akan mengkaji tafsir klasik, meliputi : Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Ibn Jarir at-Tabari, Mafatihul Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Qur’anil ‘Azim (tafsir Ibnu Kasir) oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Tafsir Modern, meliputi : Tafsir al-Manar oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida, Fi Zilalil Qur’an oleh asy-Syahid Sayid Qutub, Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi dan Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Shihab.
B. Pembahasan
1. TAFSIR KLASIK
A. Al- Thabari
Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far at-Tabariat-Tabari. Beliau dipandang sebagai salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan ke-Islaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan popularitas luas melalui dua buah karyanya, Tarikhul Umam wal Muluk tentang sejarah dan Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an tentang tafsir. Kedua buku tersebut termasuk di antara sekian banyak rujukan ilmiah paling penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufsir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bil-ma’sur.
Tafsir Ibn Jarir ini terdiri atas tiga puluh jilid, masing-masing berukuran tebal. Pada mulanya tafsir ini pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkannya muncul kembali ketika didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang amir yang telah mengundurkan diri, Amir Hamud bin ‘Abdur Rasyid, salah seorang penguasa Nejd. Tidak lama kemudian kitab tafsir tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai di tangan kita, menjadi sebuah ensiklopedi yang kaya tentang tafsir bil-ma’sur.
Ia merupakan sebuah tafsir bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh setiap orang yang mempelajari tafsir. As-Suyuti menjelaskan, “Kitab tafsir Muhammad bin Jarir at-Tabari adalah tafsir paling besar dan luas. Di dalamnya mengemukakan berbagai pendapat dan mempertimbangkan mana yang paling kuat, serta membahas i’rab dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” Imam Nawawi berkata, “ Umat telah sepakat bahwa belum pernah disusun sebuah tafsirpun yang sama dengan tafsir at-Tabari. Tafsir at-Tabari adalah kitab tafsir yang paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap.
Metode yang diikuti Ibn Jarir dalam tafsirnya ialah, apabila hendak menafsirkan suatu ayat Qur’an ia berkata : Pendapat mengenai ta’wil (tafsir) firman Allah ini adalah begini dan begitu”. Kemudian ia menafsirkan ayat tersebut dengan mendasarkan pada pendapat para sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan dengan sanad lengkap, yakni tafsir bil-ma’sur berasal dari mereka. Ia memaparkan segala riwayat yang berkenaan dengan ayat, namun tidak hanya sekedar memaparkannya semata melainkan ia juga mengkonfrontir pendapat-pendapat (riwayat-riwayat) tersebut satu dengan yang lain lalu mentarjihkan salah satunya.
Terkadang pula ia mengkritik sanad, tak ubah seperti kritikus sanad berpengalaman. Maka ia ta’dil-kan (menetapkan sebagai orang adil) beberapa perawi, men-tarjih-kan (menetapkan sebagai orang tercela) perawi lain yang memang cacat dan menolak riwayat yang tidak dijamin kesahihannya. Ibn Jarir menaruh perhatian besar terhadap masalah qira’at dengan menyebutkan bermacam-macam qira’at dan menghubungkan masing-masing qira’at dengan makna yang berbeda-beda. Dikatakan bahwa ia telah menulis sebuah karangan khusus mengenai qira’ah.
Sekalipun meriwayatkan berita-berita yang diambil dari kisah Isra’iliyat tetapi berita-berita tersebut ia susul dengan pembahasan dan kritikan. Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan, di samping riwayat-riwayat hadits yang dinukil, berpedoman pada syair-syair Arab kuno, memperhatikan mazhab-mazhab ilmu nahwu dan berpijak pada penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal luas. Kecuali itu ia juga sebagai mujtahid, ia banyak membicarakan hukum fiqih, maka ia sebutkan berbagai pendapat para ulama dan mazhabnya kemudian ia menyatakan pendapat sendiri sebagai pendapat yang dipilihnya dan dipandang kuat. Adakalanya ia mengetengahkan masalah akidah dan mendiskusikannya dengan cermat. Dalam hal ini ia sering menyanggah pendapat beberapa golongan dan mazhab ahli kalam serta menyokong Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa tafsir yang paling sahih yang telah berkembang dalam masyarakat Islam ialah tafsir Muhammad Ibnu Jarir ath-Thabary. Beliau menyebut segala pendapat salaf dengan cukup sanadnya dan tidak ada di dalamnya faham bid’ah dan ia tidak menukilkan riwayat dari orang yang tertuduh dusta, misalnya Muqathil ibn Sulaiman al-Khalby. Adapun Tafsir Zamarkhsyary, di dalamnya terdapat banyak bid’ah (faham Mu’tazilah). Tafsir Al Qurtuby lebih baik daripada Tafsir Zamarkhsyary.

B. Al- Razi
Mafatihul Gaib oleh Muhammad bin Umar bin al-Hasan at-Tamimi al-Bakri at-Tabaristani ar-Razi Fakhruddin, beliau adalah ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu dan sangat menonjol dalam ilmu-ilmu naqli dan ‘aqli. Ia memperoleh popularitas besar di segala penjuru dunia, dan mempunyai cukup banyak karya. Di antaranya yang paling penting ialah tafsir Mafatihul Gaib. Tafsir ini terdiri dari delapan jilid besar. Namun berbagai pendapat yang ada menunjukkan bahwa ar-Razi tidak sempat menyelesaikannya. Pendapat-pendapat itu tidak sepakat mengenai sampai sejauh mana ia menyelesaikan tafsirnya dan siapa pula yang menyelesaikannya. Mengenai hal ini Syaikh Muhammad az-Zahabi memberikan catatan sebagai berikut :
Yang dapat saya katakan sebagai pemecahan terhadap silang pendapat ini ialah, bahwa Imam Fakhruddin telah menyelesaikan tafsirnya sampai dengan surat al-Anbiya’. Selanjutnya Syihabuddin al-Khaubi menyempurnakan kekurangan tersebut namun ia juga tidak dapat menyelesaikannya sampai tuntas. Dan setelah itu tampil lagi Najamuddin al-Qamuli menyelesaikan sisanya. Tetapi dapat juga dikatakan bahwa al-Khaubi telah menyempurnakannya hingga selesai, sedang al-Qamuli menulis penyempurnaan lain, bukan yang telah ditulis al-Khaubi. Inilah pendapat yang jelas dari ungkapan penulis Kasyfuz Zunun.
Sekalipun demikian, pembaca tafsir ini tidak akan mendapatkan perbedaan dan metoda dan alur pembahasan dalam penulisannya sehingga ia tidak dapat membedakan antara yang asli dengan yang penyempurnaan. Ar-Razi telah mencurahkan perhatian untuk menerangkan korelasi (munasabah) antar ayat dan surah Qur’an satu dengan yang lain, serta banyak menguraikan ilmu eksakta, fisika, falak, filsafat dan kajian ketuhanan menurut metoda dan argumentasi para filosof yang rasional, disamping juga mengemukakan mazhab-mazhab fiqih. Namun sebenarnya sebagian besar uraian tersebut tidak diperlukan dalam ilmu tafsir. Dengan demikian kitab tafsir ini menjadi ensiklopedia ilmiah tentang ilmu kalam, kosmologi dan fisika, sehingga ia kehilangan relevansinya sebagai tafsir Qur’an.

C. Ibnu Kasir
Tafsir Qur’anil ‘Azim oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Beliau adalah seorang imam besar dan seorang hafiz. Ia belajar kepada Ibn Taimiyah dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya. Para ulama mengakui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadits dan sejarah. Kitab sejarahnya al-Bidayah wan Nihayah merupakan rujukan utama sejarah Islam. Kitab tafsirnya, Tafsir Qur’anil ‘Azim merupakan tafsir paling terkenal di antara sekian banyak tafsir bil ma’sur yang pernah ditulis orang dan menduduki peringkat kedua sesudah kitab Ibn Jarir at-Tabari. Ibn Kasir menafsirkan kalamullah dengan hadits asar yang disandarkan kepada pemiliknya, serta membicarakan pula masalah jahr dan ta’dil yang diperlukan, mentarjihkan sebagian pendapat atas yang lain, menetapkan “lemah” pada sebagian riwayat dan menyatakan “sahih” pada riwayat yang lain.
Keistimewaan Ibn Kasir terletak pada seringnya ia memperingtkan akan riwayat-riwayat Isra’iliyat munkar (tertolak) yang terdapat dalam tafsir bil-ma’sur. Juga pada pengungkapan berbagai pendapat ulama tentang hukum fiqih yang kadang-kadang disertai pendiskusian atas mazhab dan dalil yang dikemukakan mereka masing-masing. Tafsir Ibn Kasir ini diterbitkan bersama (digabung) dengan Ma’alimut Tanzil, karya al-Bagawi. Juga diterbitkan secara terpisah dalam empat jilid berukuran besar. Syaikh Ahmad Syakir menangani pula penerbitannya, sesaat sebelum wafat, sesudah sanad-sanadnya yang lemah dibuang.

2. TAFSIR MODERN
A. Al- Manar
Tafsir al-Manar, oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida. Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi. Syaikh Muhammad Abduh merintis kebangkitan ilmiah. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin al-afgani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru.
Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Rasyid Rida adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, makadapatlah dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akan hal ini nampak jelas dalam tafsirnya al-Manar, nisbah kepada majalah al-Manar yang diterbitkannya. Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha). Beliau hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal. Sehingga muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh dalam setiap penuangan pikiran tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an. Salah satu ide pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya disebabkan adanya kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat Islam juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam Islam. Misalnya, anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.
Beliau memulai tafsirnya dari awal Qur’an dan berakhir pada firman Allah QS. Yusuf : 101
                       
Artinya:
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.”
Tafsir al-Manar adalah sebuah tafsir yang penuh dengan pendapat para pendahulu umat ini, sahabat dan tabi’in dan penuh pula dengan uslub-uslub bahasa Arab dan penjelasan tentang sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan manusia. Ayat-ayat Qur’an ditafsirkan dengan gaya bahasa yang menarik, makna-makna diungkapkan dengan redaksi yang mudah dipahami, berbagai persoalan dijelaskan secara tuntas, tuduhan dan kesalahpahaman pihak musuh yang dilontarkan terhadap Islam dibantah dengan tegas dan penyakit masyarakat ditangani dan diobati dengan petunjuk qur’ani. Syaikh Rasyid Rida menjelaskan bahwa tujuan pokok tafsirnya ialah “untuk memahami kitabullah sebagai sumber ajaran agama yang membimbing umat manusia kearah kebahagiaan hidup di dunia dan hidup di akhirat.”
Kemudian beliau wafat sebelum sempat menyelesaikan penulisan tafsir Qur’an. Bagian tafsir yang telah diselesaikan ini dicetak dalam dua belas jilid berukuran besar.

B. Fi Zilal al- Qur’an
Tafsir Fi Zilal al- Qur’an oleh Sayid Qutub. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh asy-Syahid Hasan al-Bana dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini, tanpa diragukan. Tidak seorangpun dari lawan-lawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam. Maka dengan gerakan ini ditumpahkanlah segala potensi pemuda Islam untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syari’atNya, meninggikan kalimahNya, membangun kejayaannya dan mengembalikan kekuasaannya. Apapun yang dikatakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi atas jama’ah ini namun pengharuh intelektualitasnya tidak dapat diingkari oleh siapapun juga.
Di antara tokoh jama’ah ini yang paling menonjol adalah seorang alim yang sulit dicari bandingannya dan pemikir cemerlang, asy-Syahid Sayid Qutub, yang telah memfilsafatkan pemikiran Islam dan menyingkapkan ajaran-ajarannya yang benar dengan jelas dan gamblang. Tokoh yang menemui Tuhannya sebagai syahid dalam membela akidah ini telah meninggalkan warisan pemikiran sangat bermutu, terutama kitabnya tentang tafsir yang diberi nama Fi Zilalil Qur’an.
Kitab tersebut merupakan sebuah tafsir sempurna tentang kehidupan di bawah sinar Qur’an dan petunjuk Islam. Pengarangnya hidup dibawah naungan Qur’an yang bijaksana sebagaimana dapat dipahami dari penamaan kitabnya. Ia meresapi keindahan Qur’an dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia dewasa ini sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai paham dan aliran yang merusak dan pertarungan berdarah yang tiada hentinya.
Situasi seperti ini, tiada jalan keselamatan lain selain dengan Islam. Dalam pendahuluan tafsirnya ia mengatakan : “Telah saya rasakan masa kehidupan di bawah naungan Qur’an hingga sampai pada keyakinan pasti, bahwa tidak akan ada kebaikan bagi bumi ini, tidak ada ketenangan bagi kemanusiaan, tidak ada ketenteraman bagi umat manusia serta tidak aka nada kemajuan, keberkatan dan kesucian, juga tidak ada keharmonisan dengan hukum-hukum alam dan fitrah kehidupan, kecuali kembali kepada Allah.
Kembali kepada Allah sebagaimana tampak di bawah naungan Qur’an, hanya mempunyai satu bentuk dan satu jalan, hanya satu tanpa yang lain. Yaitu mengembalikan persoalan hidup dengan segala aspeknya kepada system Allah yang telah digariskan bagi umat manusia di dalam kitabNya yang mulia. Yakni berhukum, berpedoman, dan mengikuti hanya pada kitab tersebut dalam kehidupan dengan segala persoalannya. Jika tidak, maka itu berarti kerusakan di muka bumi, kerusakan bagi umat manusia, kemunduran ke dalam lumpur dan budaya jahiliyah yang menyembah hawa nafsu, bukan menyembah Allah. QS. Al-Qasas : 50
                         
Artinya :
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Berhukum kepada sistem atau undang-undang Allah dalam kitabNya bukanlah perbuatan sunnah, sukarela atau pilihan, tetapi itu adalah keimanan. Bagaimana hal tersebut bukan keimanan, padahal Allah berfirman :
         •             •   
Artinya :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Ahzab : 36)

      •        •        •         
Artinya :
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Jasiyah : 18-19)

Bertitik tolak dari pandangan inilah Sayid Qutub menempuh metode tertentu bagi penulisan tafsirnya. Pertama - tama beliau datangkan satu“naungan”dalam mukaddimah setiap surah untuk mengaitkan atau mempertemukan antara bagian-bagiannya dan untuk menjelaskan tujuan serta maksudnya. Sesudah itu barulah ia menafsirkan ayat dengan mengetengahkan asar-asar sahih, lalu mengemukakan sebuah paragrap tentang kajian-kajian kebahasaan secara singkat. Kemudian ia beralih ke soal lain, yaitu membangkitkan kesadaran, membetulkan pemahaman dan mengaitkan Islam dengan kehidupan. Kitab ini terdiri atas delapan jilid besar dan telah mengalami cetak ulang beberapa kali hanya dalam beberapa tahun saja, karena mendapat sambutan baik dari orang-orang terpelajar. Kitab tersebut merupakan kekayaan intelektual sosial besar yang diperlukan oleh setiap muslim masa kini.

C. Al- Maraghi
Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Lahir pada tahun 1300 H/1883 M di kota Maraghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 kilometer di sebelah selatan kota Kairo. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah madrasah di desanya, tempat ia mempelajari al-Qur’an, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya sehingga sebelum menginjak usia 13 tahun, ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur’an. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain.
Dari segi metodologi, al-Maraghi telah mengembangkan metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufasir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara ‘uraian global’ dan ‘uraian perincian’. Sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu Ma’na Ijma-li dan Ma’na Tahlili. Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dhaif) dan susah diterima akal, atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah.
Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufasir untuk melibatkan dua sumber penafsiran, aql (akal) dan naql (nas al-Qur’an dan hadits). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan mengandalkan riwayat semata. Sebab, selain jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan terhadap penyimpangan.
Tidak dapat dimungkiri, tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama tafsir al-Manar. Hal ini wajar, mengingat dua penulis tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun sistematika dan langkah-langkah yang digunakan dalam Tafsir al-Maraghi adalah sebagai berikut:
Pertama, Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas.
Kedua, Penjelasan kosa kata (Syarh al-Mufradat). Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
Ketiga, Makna ayat sacara umum (Ma’na al-Ijmali). Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.
Keempat, Penjabaran (al-Idhah). Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan Asbab an-Nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-Ithnab), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
Penulisan tafsir al-Maraghi tidak terlepas dari rasa tanggung jawab dan tuntutan ilmiah seorang penulis sebagai salah seorang ulama tafsir, dalam mengatasi problema masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan secara cepat dan tepat. Karena alasan itulah tafsir al-Maraghi tampil dengan gaya modern, yakni tafsir yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju. Al-Maraghi berhasil menggabungkan dari beberapa metode tafsir yang ada, melalui kitab tafsirnya, al-Maraghi juga mengembangkan salah satu unsur penafsiran baru, yakni memisahkan antara penjelasan global (ijmali) dan penjelasan rincian (tahlili).

D. Al- Misbah
Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Shihab, beliau lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia merupakan putra dari salah seorang wirausahawan dan juga seorang guru besar dalam bidang tafsir yaitu Prof. KH. Abdurrahma Shihab. Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali pendidikannya dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i al-Qur’an al-Karim.
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun waktu dua tahun ia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah” (suatu kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar Karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syarafal Ula. Adapun karya-karya beliau yang lain adalah: Tafsir al-Amanah, Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an Tafsir al-Qur’an Al-Karim. al-Asma Al-Husna. Mukjizat al-Qur’an.
Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan menggunakan metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam tafsir al-Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan ilmu al-Munâsabât yang tercermin dalam enam hal:
1. Keserasian kata demi kata dalam satu surah;
2. Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
3. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
4. Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya;
5. Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
6. Keserasian tema surah dengan nama surah.
Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish Shihab mengemukakan bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudhu’i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode tahlili, Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode maudhu’i. Dengan demikian, metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode yaitu metode Tahlili dengan metode Maudhu’i. Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah corak Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat. Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
1. Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
2. Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
3. Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
4. Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengana ayat yang sedang dibahas.
Adapun sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan hasil ijtihad semata , hal ini diakui oleh penulisnya dalam kata pengantar mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan mereka banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain.
Latar belakang penulisan tafsir al-Misbah ini diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “tafsir al-Qur’an al-Karim” pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya ia tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman dan lain-lain merujuk kepada hadits dhoif, misalnya bahwa membaca surah al-Waqi’ah mengandung kehadiran rizki. Dalam tafsir al-Misbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekililing ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.










KESIMPULAN


Demikianlah gambaran umum makalah ini yang secara global mengkaji tafsir klasik, meliputi : Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Ibn Jarir at-Tabari, Mafatihul Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Qur’anil ‘Azim (tafsir Ibnu Kasir) oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Tafsir Modern, meliputi : Tafsir al-Manar, oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida, Fi Zilalil Qur’an oleh asy-Syahid Sayid Qutub, Tafsir al-Maraghi Oleh Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi dan Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Sihab. Secara singkat dan sederhana dapat disimpulkan bahwa baik tafsir klasik maupun tafsir modern tersebut pada dasarnya ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi berbagai problema umat manusia. Oleh karena itu, diskursus tafsir klasik dan modern diwarnai oleh usaha-usaha untuk membumikan al-Qur’an ditengah-tengah kehidupan umat Islam. Para mufassir ingin membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar bersifat universal yang dapat menjawab problematika umat.
Apa yang dilakukan oleh mufassir modern sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya cocok dengan sosio-kultural setempat, dan tidak cocok dengan sosio-kultural yang lain. Oleh karena itu, dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup kemungkinan munculnya mufassir-mufassir modern di tempat lain bahkan diantara kita. Aamiin!









DAFTAR PUSTAKA


A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional alam Tafsir al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006.

Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz 1.

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Tengku, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Anwar, Rosihan, Samudera al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.

Asy’ari Ulama’i, Hasan, Membedah Kitab Tafsir Hadis; Dari Iman Ibn Jarir al- Thobari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, Semarang: Walisongo Press.

Baidan, Nashruddin, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,
2000.

Faiz , Fachruddin, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta: Qalam, cet. Ke-II, 2002.

Khalil, al-Qattan Manna, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2009.

Ichwan, Mohammad Nur, Belajar al-Qur’an; Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al- Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang: Rasail.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.

----------------------, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas berbagai Persoalan Umat, Bandung: Penerbit Mizan, 1998.

----------------------, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006.

makalah studi pemikiran islam prof. Damrah

ISLAM DILIHAT DARI ASPEK EKONOMI
Oleh : Imadi (NPM. 2010.40.051)


I. Latar Belakang
Persoalan yang dihadapi umat manusia sekarang ialah munculnya suatu pandangan yang menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi nilai pada posisi yang dominan. Pandangan hidup yang berpijak pada ideologi materialisme inilah yang kemudian mendorong perilaku manusia menjadi pelaku ekonomi yang hedonistik, sekularistik dan materialistik. Dampak yang ditimbulkan dari cara pandang inilah yang kemudian membawa malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup, disparitas pendapatan dan kekayaan antar golongan dalam masyarakat dan antar negara di dunia. Lunturnya sikap kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit sosial, timbulnya revolusi sosial yang anarkis dan sebagainya. Sistem ekonomi kapitalis telah gagal menyelesaikan persoalan kemanusiaan dan sosial ekonomi.
Memang kapitalis mampu mensejahterakan individu atau negara tertentu secara materi. Namun perlu diingat bahwa kesejahteraan dan kemakmuran tersebut dibangun diatas penderitaan orang lain ataupun negara lain. Kapitalis tidak mampu menyelesaikan ketimpangan dan kesenjangan ekonomi bahkan sebaliknya ia menciptakan dan melanggengkan kesenjangan tersebut untuk mempertahankan eksistensinya. Disinilah Islam melontarkan kritik tajam terhadap sistem ekonomi kapitalis yang bertanggung jawab terhadap perubahan arah, pola dan struktur perekonomian dunia sekarang ini.
Perhatian Islam dari aspek ekonomi mengajarkan kepada umatnya untuk mengembangkan sistem ekonomi yang lebih humanistik dengan menggali inspirasi nilai-nilai yang terkandung dalam Al qur’an, hadits dan sunnah, serta khasanah pemikiran para cendikiawan muslim . Seiring dengan kenyataan bahwa telah terjadinya ketimpangan ekonomi kapitalis yang mengedepankan sistem riba’nya, maka ekonomi Islam semakin dipercaya dan diyakini oleh umatnya sendiri maupun selain orang Islam. Sistem ekonomi Islam mulai dilirik sebagai suatu alternatif dan diharapkan mampu menjawab tantangan dunia di masa yang akan datang.
Sesuai dengan judul yang diberikan kepada penulis, makalah ini akan memaparkan tentang Islam dilihat dari aspek ekonomi, dengan inspirasi yang diberikan oleh ayat-ayat di dalam Al qur’an maupun sunah yang berkaitan dengan penerapan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
II. Pembahasan
Tidak terbantahkan lagi bagi setiap umat Islam di seluruh dunia bahwa Islam telah memuat isyarat yang lengkap tentang segala aspek hidup manusia, termasuk di dalamnya adalah aspek ekonomi. Al Qur’an telah memberikan beberapa contoh tegas mengenai masalah-masalah ekonomi, seperti firman Allah dalam QS. Asy Syu’araa’ : 177 - 183
177. Ketika Syu'aib Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa?,178. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu.179. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku;180. Dan Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.181. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang yang merugikan;182. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.183. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;

1. Konsep Ekonomi Islam
Dilihat dari struktur kalimat, sistem ekonomi Islam terdiri dari tiga suku kata, yakni sistem, ekonomi dan Islam. Sistem atau system berarti : metode, cara yang teratur untuk melakukan sesuatu, susunan, cara. Ekonomi berarti : segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya. Islam artinya : damai, tenteram; agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan kitab suci yang disebut dengan Al qur’an.
Ahli ekonomi Islam ada juga yang menyebut ekonomi Islam dengan ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai divine economics (Ilahi ekonomi). Cerminan watak “Ketuhanan”ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonominya, sebab pelakunya pasti manusia, tetapi pada aspek aturan atau system yang harus dipedomani. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepada-Nya (kepada aturan-Nya) dikembalikan segala urusan sesuai firman Allah QS. Ali Imran : 109
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan”.
Jadi sistem ekonomi Islam ialah segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara teratur, berdasarkan pandangan Islam. Sistem ekonomi Islam dibangun di atas landasan yang kokoh yang merupakan warisan yang tak ternilai sebagai wasiat utama bagi umat Islam yang tidak mungkin manusia akan tersesat selamanya selama berpegang kepada dua wasiat itu yaitu Al - qur’an dan sunah rasul.
Aspek muamalat dalam hukum Islam termasuk aspek yang luas ruang lingkupnya. Pada dasarnya, pembahasan aspek hukum Islam yang bukan termasuk kategori aspek ibadah seperti shalat, puasa dan haji, bisa disebut sebagai aspek muamalat. Karena itu, masalah perdata, pidana pada umumnya dapat digolongkan pada bidang muamalat. Dalam perkembangannya, aspek muamalat dalam hukum Islam, dibagi lagi manjadi munakahat (pernikahan), jinayah (pidana) dan muamalat dalam arti khusus, yaitu aspek ekonomi dalam Islam.
Dengan demikian, pada akhirnya materi fiqih muamalat hanya terbatas pada aspek ekonomi dan hubungan kerja (bisnis) yang lazim dilakukan seperti jual beli, sewa menyewa dan lain-lain. Keterangan di atas mempertegas bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam merupakan salah satu bagian dari muamalat. Aktivitas antar manusia termasuk aktivitas ekonomi terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan muamalat (interaksi). Pedoman konsep ekonomi Islam berpedoman pada Al – qur’an, dalam hal ini muamalat keuangan atau aktifitas ekonomi sebagai berikut :
• Larangan untuk berlaku curang QS. Al Baqarah : 188
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”.
• Manusia sebagai makhluk pengemban amanat QS. Al Ahzab : 72”Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
• Untuk memakmurkan kehidupan di bumi QS. Hud : 61
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.
• Tentang kedudukan terhormat sebagai khalifah di bumi QS. Al Baqarah : 30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dengan demikian pedoman ekonomi Islam dapat diperjelas bahwa konsep ekonomi Islam senantiasa akan berlandaskan pada nilai-nilai yang di jelaskan dari Al qur’an, yakni tidak boleh berlaku curang QS. Al Baqarah : 188, Manusia sebagai makhluk pengemban amanat QS. Al Ahzab : 72, tentang kedudukan terhormat sebagai khalifah di bumi QS. Al Baqarah : 30
2. Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam
Kerangka teori sistem ekonomi Islam dibangun atas landasan nilai-nilai dasar Ketauhidan (Tauhid) dimana internalisasi nilai-nilai Ketuhanan mampu memberikan dorongan yang kuat untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tataran sosial kemanusiaan. Artinya bahwa ekonomi Islam itu berangkat dari falsafah: Kepemilikan mutlak adalah Allah, totalitas pengabdian, dan ketersambungan hubungan antara duniawi dan ukhrawi. Sedangkan nilai dasar sistem ekonomi Islam merupakan implikasi dari falsafah ekonomi Islam itu sendiri yakni: Kepemilikan sementara, keseimbangan, dan keadilan. Sedangkan nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam terdiri dari : zakat, pelarangan riba, kerjasama ekonomi, dan jaminan sosial.
Sedangkan prinsip-prinsip muamalah (ekonomi) dalam Islam meliputi: kemaslahatan, toleransi, dan keadilan. Adapun derivasinya meliputi : asas suka sama suka, asas keadilan, saling menguntungkan, tolong-menolong dan saling membantu. Sedangkan Prinsip-prinsip dasar ekonomi menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut :
a. Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan.
b. Prinsip Khalifah. Manusia dibekali oleh Allah SWT dengan perangkat jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini ialah : (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3) gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.
c. Prinsip Keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini ialah : (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, (3) distribusi pendapatan dan kekayaan yng merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.
3. Harta dan Ekonomi dalam Persfektif Islam
Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pemilikan terletak pada pemilikan kemanfaatannya dan bukan menguasai secara mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi. Seorang muslim yang tidak memproduksi manfaat dari sumber-sumber yang diamanatkan Allah kepadanya akan kehilangan hak atas sumber-sumber tersebut, seperti berlaku terhadap pemilikan lahan atau tanah.
b. Harta sebagi amanah (titipan, as a trust) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi, yang mampu manusia lakukan ialah mengubah dari satu bentuk energy ke bentuk energi lain. Pencipta awal segalanya adalah Allah SWT.
c. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan.
d. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkannya dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. (QS. Al Anfal : 28)
“Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
e. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan mu’amalah di antara sesama manusia melalui kegiatan zakat, infaq dan shadaqah. (QS. At Taubah : 41, 60)
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (QS. At Taubah : 41).
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At Taubah : 60)
f. Dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang dapat:
a). Melupakan kematian (QS. At Takatsur : 1-2)
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur”.
b). Melupakan shalat dan zakat (QS. An Nur : 37)
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”.
c). Memusatkan kekayaan hanya sekelompok orang saja. (QS. Al Hasyr : 7)
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.

g. Dilarang menempuh usaha yang haram seperti:
1). Kegiatan riba’ (QS. Al Baqarah : 275-279)
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. 277.Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
2). Perjudian, jual beli yang dilarang atau haram. (QS. Al Maidah : 90-91)
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. 91. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
3). Curang dalam takaran dan timbangan (QS. Al Muthafiffin : 1-6)
1. Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, 2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. 4. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, 5. Pada suatu hari yang besar, 6. (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?


4). Cara-cara yang bathil dan merugikan (QS. Al Baqarah : 188)“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”.
Islam memandang bahwa kehidupan dilakukan manusia adalah kehidupan yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Nabi Muhammad SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mubarak yang artinya : “Bukanlah termasuk orang yang baik di antara kamu adalah orang yang meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang meninggalkan akhirat karena mengejar kehidupan dunia”. Orang yang baik adalah orang yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, dan jangan dibalik yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.
Dalam aspek ekonomi sekalipun nilai-nilai keimanan harus tetap menjadi aturan yang mengikat bagi setiap pelaku ekonomi itu sendiri. Dengan mengacu kepada aturan ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara vertical merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal member manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.




KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah pemakalah sampaikan pada bagian pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam sering pula disebut dengan ekonomi Tauhid, Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai divine economics (Ilahi ekonomi). Cerminan watak “Ketuhanan”ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonominya, sebab pelakunya pasti manusia, tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepada-Nya (kepada aturan-Nya) dikembalikan segala urusan sesuai firman Allah QS. Ali Imran : 109.
Jadi sistem ekonomi Islam ialah segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara teratur, berdasarkan pandangan Islam. Dengan demikian pedoman ekonomi Islam dapat diperjelas bahwa konsep ekonomi Islam senantiasa akan berlandaskan pada nilai-nilai yang di jelaskan dari Al qur’an, yakni tidak boleh berlaku curang QS. Al Baqarah : 188, Manusia sebagai makhluk pengemban amanat QS. Al Ahzab : 72, tentang kedudukan terhormat sebagai khalifah di bumi QS. Al Baqarah : 30
Ekonomi Islam itu berangkat dari falsafah: Kepemilikan mutlak adalah Allah, totalitas pengabdian, dan ketersambungan hubungan antara duniawi dan ukhrawi. Sedangkan nilai dasar sistem ekonomi Islam merupakan implikasi dari falsafah ekonomi Islam itu sendiri yakni: Kepemilikan sementara, keseimbangan, dan keadilan. Sedangkan nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam terdiri dari : zakat, pelarangan riba, kerjasama ekonomi, dan jaminan sosial. Sedangkan prinsip-prinsip muamalah (ekonomi) dalam Islam meliputi: kemaslahatan, toleransi, dan keadilan. Adapun derivasinya meliputi : asas suka sama suka, asas keadilan, saling menguntungkan, tolong-menolong dan saling membantu.

Dengan demikian dalam konteks ekonomi sekalipun Islam memandang bahwa kehidupan manusia adalah kehidupan yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat dan kehidupan akhir dicapai dengan dunia.
Semoga tulisan sederhana yang telah pemakalah persentasikan dalam seminar Mata Kuliah Metode Studi Islam ini bermanfaat adanya. Terima kasih.
Wallahu ‘alam.













DAFTAR PUSTAKA


A Partanto, Pius, dkk: Kamus Ilmiah Populer, 1994.
Chapra, Umar, Sistem Moneter Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2000.
Dumairy, Pengamat Ekonomi Islam, UII, Artikel, Edisi 1998.
Edwin Nasution, Mustafa, et al. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.

Kholis, Nur, Masa depan ekonomi Islam dalam arus tend ekonomi era global, Artikel Jurnal UNISIA, Universitas Islam Indonesia, 2009.

Muhammad Iswandi, Ekonomi Islam, http : // www. daneprairie. com, Akses 24 November 2010.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, RajaGrafindo persada, Jakarta, 2010.
Sihahab, Muhammad Quraish, Ketika Bagi Hasil Tiba Perjalanan 10 Tahun Bank Muamalat, 2002.

_______, Wawasan Al Qur’an, 1988.
Saefuddin, AM, Kedudukan harta dan ekonomi dalam Islam : 1984.

Selasa, 23 November 2010

Makalah manajemen pendidikan islam dan implementasinya

*      MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA
*     
I.    Latar Belakang
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan.[1] Mulai dari urusan terkecil seperti mengatur urusan rumah tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah Negara, semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang, dan bentuk yang ada seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), jenjang pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Alyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi, Institut  dan Universitas.
Pada jalur pendidikan non formal seperti Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA), Majelis Ta’lim, Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jalur Pendidikan Informal seperti pendidikan yang diselenggarakan di dalam keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau manajemen yang sebaik-baiknya, sebab jika tidak bukan hanya gambaran negatif tentang pendidikan Islam yang ada pada masyarakat akan tetap melekat dan sulit dihilangkan bahkan mungkin Pendidikan Islam yang hak itu akan hancur oleh kebathilan yang dikelola dan tersusun rapi yang berada di sekelilingnya, sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib :”kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”.
Makalah sederhana ini akan membahas tentang manajemen pendidikan Islam dan implementasinya, disampaikan dalam diskusi Mata Kuliah Manajemen Pendidikan di PPs. IAIN Raden Intan Lampung.
II.   Pembahasan
a.   Pengertian Manajemen Pendidikan Islam.
Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata management yang berarti pengelolaan, ketata laksanaan, atau tata pimpinan. Sementara dalam kamus Inggris Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadily (1995 : 372) management berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan.
Ramayulis  menyatakan bahwa pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan).[2] Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam Al Qur’an seperti firman Allah SWT :
يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (Al Sajdah : 05).
Dari isi kandungan ayat di atas dapatlah diketahui bahwa Allah swt adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah swt dalam mengelola alam ini. Namun, karena manusia yang diciptakan Allah SWT telah dijadikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini. Sementara manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain.[3]
 Sedangkan Sondang P Siagian (1980 : 5) mengartikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain.[4]
Bila kita perhatikan dari kedua pengertian manajemen di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa manajemen merupakan sebuah proses pemanfaatan semua sumber daya melalui bantuan orang lain dan bekerjasama dengannya, agar tujuan bersama bisa dicapai secara efektif, efesien, dan produktif. Sedangkan Pendidikan Islam merupakan proses transinternalisasi nilai-nilai Islam kepada peserta didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
  1. Analisis Manajemen Pendidikan Islam
Dalam rangka untuk lebih mudah dalam memahami tentang implementasi manajemen Pendidikan Islam, maka penulis berupaya untuk memasukkan muatan implementasinya melalui fungsi – fungsi. Sehingga implementasinya akan menjadi lebih mudah diterapkan. Manajemen pendidikan Islam tidaklah bisa terlepas dari fungsi manajemen secara umum seperti yang dikemukakan Henry Fayol seorang industriawan Prancis, dia mengatakan bahwa fungsi-fungsi manajemen itu adalah merancang, mengorganisasikan, memerintah, mengkoordinasi, dan mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang.
Sementara itu Robbin dan Coulter mengatakan bahwa fungsi dasar manajemen yang paling penting adalah merencanakan, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan. Senada dengan itu Mahdi bin Ibrahim (1997:61) menyatakan bahwa fungsi manajemen atau tugas kepemimpinan dalam pelaksanaannya meliputi berbagai hal, yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.[5]
Untuk mempermudah pembahasan mengenai manajemen pendidikan Islam dan implementasinya, maka kami (kelompok 3) akan memulai dengan  fungsi manajemen pendidikan Islam sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh Robbin dan Coulter yang pendapatnya senada dengan Mahdi bin Ibrahim yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/kepemimpinan, dan pengawasan.
1. Fungsi Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah sebuah proses perdana ketika hendak melakukan pekerjaan baik dalam bentuk pemikiran maupun kerangka kerja agar tujuan yang hendak dicapai mendapatkan hasil yang optimal. Demikian pula halnya dalam pendidikan Islam perencanaan harus dijadikan langkah pertama yang benar-benar diperhatikan oleh para manajer dan para pengelola pendidikan Islam. Sebab perencanaan merupakan bagian penting dari sebuah kesuksesan, kesalahan dalam menentukan perencanaan pendidikan Islam akan berakibat sangat patal bagi keberlangsungan pendidikan Islam. Bahkan Allah memberikan arahan kepada setiap orang yang beriman untuk mendesain sebuah rencana apa yang akan dilakukan dikemudian hari, sebagaimana Firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Al Hasyr : 18 yang berbunyi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketika menyusun sebuah perencanaan dalam pendidikan Islam tidaklah dilakukan hanya untuk mencapai tujuan dunia semata, tapi harus jauh lebih dari itu melampaui batas-batas target kehidupan duniawi. Arahkanlah perencanaan itu juga untuk mencapai target kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga kedua-duanya bisa dicapai secara seimbang.
Mahdi bin Ibrahim (l997:63) mengemukakan bahwa ada lima perkara penting untuk diperhatikan demi keberhasilan sebuah perencanaan, yaitu :
  1. Ketelitian dan kejelasan dalam membentuk tujuan
  2. Ketepatan waktu dengan tujuan yang hendak dicapai
  3. Keterkaitan antara fase-fase operasional rencana dengan penanggung jawab operasional, agar mereka mengetahui fase-fase tersebut dengan tujuan yang hendak dicapai
  4. Perhatian terhadap aspek-aspek amaliah ditinjau dari sisi penerimaan masyarakat, mempertimbangkan perencanaan, kesesuaian perencanaan dengan tim yang bertanggung jawab terhadap operasionalnya atau dengan mitra kerjanya, kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicapai, dan kesiapan perencanaan melakukan evaluasi secara terus menerus dalam merealisasikan tujuan.
  5. Kemampuan organisatoris penanggung jawab operasional.[6]
Sementara itu menurut Ramayulis (2008:271) mengatakan bahwa dalam Manajemen pendidikan Islam perencanaan itu meliputi :
  1. Penentuan prioritas agar pelaksanaan pendidikan berjalan efektif, prioritas kebutuhan agar melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, masyarakat dan bahkan murid.
  2. Penetapan tujuan sebagai garis pengarahan dan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan
  3. Formulasi prosedur sebagai tahap-tahap rencana tindakan.
  4. Penyerahan tanggung jawab kepada individu dan kelompok-kelompok kerja.[7]
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam Manajeman Pendidikan Islam perencanaan merupakan kunci utama untuk menentukan aktivitas berikutnya. Tanpa perencanaan yang matang aktivitas lainnya tidaklah akan berjalan dengan baik bahkan mungkin akan gagal. Oleh karena itu buatlah perencanaan sematang mungkin agar menemui kesuksesan yang memuaskan.
Implementasi manajemen Pendidikan Islam dalam rangka untuk mencapai tujuan yang baik bagi diri, masyarakat,bangsa  dan negara dengan menanamkan nilai-nilai yang positif guna mendapatkan keridhoan dari Allah swt.  Baik di dunia maupun di akherat yang dilandasi dengan keimanan, keyakinan dan keikhlasan serta kasih-sayang  dengan niat perbaikan  diri dan umat manusia baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
2. Fungsi Pengorganisasian (organizing)
Ajaran Islam senantiasa mendorong para pemeluknya untuk melakukan segala sesuatu secara terorganisir dengan rapi, sebab bisa jadi suatu kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dengan mudah bisa diluluhlantakan oleh kebathilan yang tersusun rapi.
Menurut Terry (2003:73) pengorganisasian merupakan kegiatan dasar dari manajemen yang dilaksanakan untuk mengatur seluruh sumber-sumber yang dibutuhkan termasuk unsur manusia, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan sukses.[8] Organisasi dalam pandangan Islam bukan semata-mata wadah, melainkan lebih menekankan pada bagaimana sebuah pekerjaan dilakukan secara rapi. Organisasi lebih menekankan pada pengaturan mekanisme kerja. Dalam sebuah organisasi tentu ada pemimpin dan bawahan.[9] (Didin dan Hendri, 2003:101). Sementara itu Ramayulis (2008:272) menyatakan bahwa pengorganisasian dalam pendidikan Islam adalah proses penentuan struktur, aktivitas, interaksi, koordinasi, desain struktur, wewenang, tugas secara transparan, dan jelas. Dalam lembaga pendidikan Islam, baik yang bersifat individual, kelompok, maupun kelembagaan.[10]
Sebuah organisasi dalam manajemen pendidikan Islam akan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan jika konsisten dengan prinsip-prinsip yang mendesain perjalanan organisasi yaitu Kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Jika kesemua prinsip ini dapat diaplikasikan secara konsisten dalam proses pengelolaan lembaga pendidikan islam, maka akan sangat membantu bagi para manajer pendidikan Islam.
            Implementasi manajemen Pendidikan Islam dengan mengelola sumber daya manusia dan menempatkan pada tempat yang sesuai dengan kemampuannya. Menempatkan seseorang sesuai dengan kredibilitasnya yang tentunya tidak lepas dari nilai-nilai keyakinan (keimanan), bahwasanya kemampuan dari Allah SWT. bila ada kemauan dan semangat yang tinggi serta senantiasa ada hubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengorganisasian merupakan fase kedua setelah perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Pengorganisasian terjadi karena pekerjaan yang perlu dilaksanakan itu terlalu berat untuk ditangani oleh satu orang saja. Dengan demikian diperlukan tenaga-tenaga bantuan dan terbentuklah suatu kelompok kerja yang efektif. Banyak pikiran, tangan, dan keterampilan dihimpun menjadi satu yang harus dikoordinasi bukan saja untuk diselesaikan tugas-tugas yang bersangkutan, tetapi juga untuk menciptakan kegunaan bagi masing-masing anggota kelompok tersebut terhadap keinginan keterampilan dan pengetahuan.
3. Fungsi Pengarahan (directing).
Pengarahan adalah proses memberikan bimbingan kepada rekan kerja sehingga mereka menjadi pegawai yang berpengetahuan dan akan bekerja efektif menuju sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Di dalam fungsi pengarahan terdapat empat komponen, yaitu pengarah, yang diberi pengarahan, isi pengarahan, dan metode pengarahan. Pengarah adalah orang yang memberikan pengarahan berupa perintah, larangan, dan bimbingan. Yang diberi pengarahan adalah orang yang diinginkan dapat merealisasikan pengarahan.
Isi pengarahan adalah sesuatu yang disampaikan pengarah baik berupa perintah, larangan, maupun bimbingan. Sedangkan metode pengarahan adalah sistem komunikasi antara pengarah dan yang diberi pengarahan. Dalam manajemen pendidikan Islam, agar isi pengarahan yang diberikan kepada orang yang diberi pengarahan dapat dilaksanakan dengan baik maka seorang pengarah setidaknya harus memperhatikan beberapa prinsip berikut, yaitu : Keteladanan, konsistensi, keterbukaan, kelembutan, dan kebijakan. Isi pengarahan baik yang berupa perintah, larangan, maupun bimbingan hendaknya tidak memberatkan dan diluar kemampuan sipenerima arahan, sebab jika hal itu terjadi maka jangan berharap isi pengarahan itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh si penerima pengarahan.
Seorang pengarah atau pemimpin harus memiliki nilai kepemimpinan sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, dengan cara memotivasi, membimbing, mengarahkan dan memberikan contoh (memberi tauladan) serta menjaga hubungan baik dengan yang diberi pengarahan dalam hal yang sifatnya materil maupun spiritual. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa fungsi pengarahan dalam manajemen pendidikan Islam adalah proses bimbingan yang didasari prinsip-prinsip religius kepada rekan kerja, sehingga orang tersebut mau melaksanakan tugasnya dengan sungguh- sungguh dan bersemangat disertai keikhlasan yang sangat mendalam.
4. Fungsi Pengawasan (Controlling)
Pengawasan adalah keseluruhan upaya pengamatan pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan Didin dan Hendri (2003:156) menyatakan bahwa dalam pandangan Islam pengawasan dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak.[11] Dalam pendidikan Islam pengawasan didefinisikan sebagai proses pemantauan yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil maupun spirituil.
Implementasinya dalam kehidupan adalah dengan memberikan penghargaan/reward bagi yang telah melaksanakan pekerjaan/tugasnya dengan baik dan memberikan sanksi atau hukuman bagi yang tidak mengikuti aturan yang ada dengan segala konsekwensinya, tanpa meninggalkan norma-norma kemanusiaan dan kasih sayang dan menanamkan bahwasanya adasesuatu dzat yang maha kuasa  sedang melihat, mendengar dan mengawasi kita dan akan meminta kita untuk mempertanggungjawabkan setiap aktivitas yang kita lakukan
Menurut Ramayulis (2008:274) pengawasan dalam pendidikan Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut: pengawasan bersifat material dan spiritual, monitoring bukan hanya manajer, tetapi juga Allah Swt, menggunakan metode yang manusiawi yang menjunjung martabat manusia. Dengan karakterisrik tersebut dapat dipahami bahwa pelaksana berbagai perencaan yang telah disepakati akan bertanggung jawab kepada manajernya dan Allah sebagai pengawas yang Maha Mengetahui. Di sisi lain pengawasan dalam konsep Islam lebih mengutamakan menggunakan pendekatan manusiawi, pendekatan yang dijiwai oleh nilai-nilai keislaman.[12]







KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Pendidikan Islam adalah proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (ummat Islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras maupun lunak. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.
Banyak sekali para ulama di bidang manajemen yang menyebutkan tentang fungsi-fungsi manajemen diantaranya adalah Mahdi bin Ibrahim, dia mengatakan bahwa fungsi manajemen itu di antaranya adalah fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Bila Para Manajer dalam pendidikan Islam telah bisa melaksanakan tugasnya dengan tepat sesuai dengan fungsi manajemen di atas, terhindar dari semua ungkupan sumir yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam dikelola dengan manajemen yang asal-asalan tanpa tujuan yang tepat. Maka tidak akan ada lagi lembaga pendidikan Islam yang ketinggalan zaman, tidak teroganisir dengan rapi, dan tidak memiliki sistem kontrol yang sesuai.
Tulisan sederhana yang telah kami (kelompoK 3) persembahkan dihadapan anda sebagai bahan diskusi ini semoga bermanfaat adanya. Terima kasih
Wallahu ‘alam.





DAFTAR PUSTAKA

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, , 2008
Sondang P Siagian, Filsafah Administrasi, Jakarta, CV Masaagung , 1990
Hafidudin, Didin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Prkatik, Jakarta,Gema Insani, 2003.


[1] Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2003., h. 1

[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2008.,
[3] Robbin dan Coulter, Manajemen (edisi kedelapan), PT Indeks, Jakarta, 2007.,
[4] Sondang P Siagian, Filsafah Administrasi, CV Masaagung, Jakarta, 1990.,
[5] Mahdi bin Ibrahim, Amanah dalam Manajemen, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1997

[6] Mahdi bin Ibrohim, Op.Cit.,63
[7] Ramayulis, Op.Cit., 271
[8] George R Terry, Prinsip-prinsip Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta, 2006
[9] Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung, Op.Cit., 101
[10] Ramayulis, Op.Cit., 272
[11] Didin dan hendri  Op.Cit., 156
[12] Ramayulis Op.Cit., 274