Rabu, 06 April 2011

Makalah Media dan Teknologi Pendidikan (Smt 2)

PEMANFAATAN MEDIA AUDIO DALAM PEMBELAJARAN
(Karakteristik, Fungsi Dan Peran Pengembangan Media Audio
Dalam Praktek Pembelajaran)



I. PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami revolusi yang sangat cepat, hal ini berdampak signifikan terhadap kemajuan pola pikir masyarakat secara makro. Dalam bidang pendidikan, perubahan-perubahan ini telah memberikan pengalaman baru sekaligus merupakan tantangan bagi para praktisi untuk memanfaatkan perubahan tersebut menjadi salah satu modal penting penyelenggaraan kegiatan pendidikan yang lebih efisien dan efektif. Dalam hal ini, pendekatan teknologis menjadi bagian yang penting dan tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Pendekatan teknologis diperlukan untuk membantu proses pembelajaran guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu menjadi manusia yang berpengetahuan dan berbudi luhur. Di samping itu, kegiatan pembelajaran bertujuan sebagai wahana pelestarian nilai-nilai dan kebudayaan, sehingga setiap individu berkewajiban untuk dapat berperan aktif dalam transformasi nilai demi kemajuan bangsa dan negara. Oleh karenanya, untuk mewujudkan kegiatan pembelajaran yang aktif dan berkualitas, salah satu unsur utama adalah keberadaan guru yang berkualitas pula. Guru yang berkualitas adalah guru yang memilki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional seperti yang tersirat dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Seorang guru, di dalam melaksanakan kompetesi pedagogik dituntut untuk memiliki kemampuan secara metodologis dalam hal perancangan dan pelaksanaan pembelajaran. Termasuk di dalamnya penguasaan, pemanfaatan dan penciptaan media pembelajaran yang sesuai. Penggunaan media pembelajaran disadari akan sangat membantu aktivitas pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa di dalam implementasinya, tidak banyak guru yang mampu merancang, mencipta atau mempergunakan media pembelajaran secara optimal. Di sisi lain, keterbatasan alat-alat teknologi juga menjadi penyebab kurang maksimalnya usaha guru dalam memanfaatkan keberadaan media pembelajaran.
Dengan menggunakan media segala hal yang sulit dalam pembelajaran akan terasa lebih mudah jika menggunakan media. Setiap media tidak bisa digunakan dalam satu studi maka dari itu perlu kiranya kita mengetahui kapan dan bila suatu media dapat dipakai. Untuk dapat menggunakan media tersebut kita terlebih dahulu harus mengetahui dan paham karakteristik dari setiap media. Berangkat dari hal itu, kiranya suatu materi akan lebih efektif disampaikan bila menggunakan media dan waktu penyampaian akan lebih efesien.
Terkait dengan semakin beragamnya media pengajaran, pemilihan media hendaknya memperhatikan beberapa prinsip. Pertama, kejelasan maksud dan tujuan pemilihan media; apakah untuk keperluan hiburan, informasi umum, pembelajaran dan sebagainya. Kedua, familiaritas media, yang melibatkan pengetahuan akan sifat dan ciri-ciri media yang akan dipilih. Ketiga, sejumlah media dapat diperbandingkan karena adanya beberapa pilihan yang kiranya lebih sesuai dengan tujuan pengajaran.
Berkaitan dengan judul makalah yang telah ditugaskan oleh dosen pengampuh, maka pada makalah ini penulis akan menelaah dari aspek pengertian media audio, karakteristik media audio, fungsi dan peran pengembangan media audio dalam praktek pembelajaran.







II. PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN MEDIA AUDIO
Kata “media” berasal dari bahasa Latin “medium” yang berarti “perantara” atau “pengantar”. Lebih lanjut, media merupakan sarana penyalur pesan atau informasi belajar yang hendak disampaikan oleh sumber pesan kepada sasaran atau penerima pesan tersebut. Dalam kegiatan belajar-mengajar, sumber pesan adalah guru dan penerima pesan adalah murid. Sedangkan menurut Gerlach & Ely, bahwa media jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.
Jadi menurut pengertian ini, guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi peserta didik merupakan media. Pengertian ini sejalan dengan batasan yang disampaikan oleh Gagne (1985), yang menyatakan bahwa media merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan peserta didik yang dapat merangsang untuk belajar. Penggunaan media audio dalam pembelajaran sudah cukup lama dilakukan, hal ini disebabkan karena dalam komunikasi sehari-hari pemanfaatan audio menjadi bagian penting. Media audio dapat diartikan sebagai bahan pembelajaran yang disajikan dalam bentuk auditif yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga terjadi proses belajar mengajar. Media Audio (media dengar) adalah media yang isi pesannya hanya diterima melalui indera pendengaran. Dengan kata lain, media jenis ini hanya melibatkan indera dengar dan memanipulasi unsur bunyi atau suara semata.
Suara adalah fenomena fisik yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang berupa sinyal analog dengan amplitude yang berubah secara kontinyu terhadap waktu. Suara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di antaranya berarti bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia, bunyi binatang, ucapan (perkataan), dan bunyi bahasa (bunyi ujar). Dari itu, dilihat dari sifat pesan yang diterima, media audio ini bisa menyampaikan pesan verbal maupun non verbal. Pesan verbal berupa bahasa lisan atau kata-kata, sedangkan pesan non verbal berwujud bunyi-bunyian dan vokalisasi, seperti gerutuan, gumam, musik, dan lain-lain.
Penulis berpendapat berdasarkan batasan-batasan mengenai media seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa media audio dalam pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut SOFTWARE dan HARDWARE yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar kepada (individu atau kelompok), yang disajikan dalam bentuk auditif yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga terjadi proses belajar mengajar (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.

2. KARAKTERISTIK MEDIA AUDIO
Media audio memiliki karakteristik atau ciri setidak sebagai berikut: mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu (mudah dipindahkan dan jangkauannya luas), pesan/program dapat direkam dan diputar kembali sesukanya, dapat mengembangkan daya imajinasi dan merangsang partisipasi aktif pendengarnya, dapat mengatasi masalah kekurangan guru, sifat komunikasinya hanya satu arah, sangat sesuai untuk pengajaran musik dan bahasa, dan pesan/informasi atau program terikat dengan jadwal siaran (pada jenis media radio). Karakteristik dari media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang akan disampaikan dituangkan didalam lambang-lambang auditif, baik verbal (kedalam kata-kata/bahasa lisan) maupun non verbal. Beberapa jenis media audio untuk pembelajaran diantaranya adalah :
A. Radio
Pemancar radio mengubah, atau melakukan modulasi gelombang radio agar dapat menyampaikan informasi. Dalam dunia pendidikan, hingga kini radio masih digunakan sebagai media pembelajaran, khususnya untuk program pembelajaran jarak jauh. Penggunaan radio sebagai media pendidikan tidak perlu diragukan lagi peranannya, hal ini disebabkan karena radio memiliki daya jangkauan yang luas. Radio bersifat penyiaran secara langsung kepada masyarakat luas bahkan sering disebut mass media, memiliki jangkauan luas, memiliki jadwal siaran tetap.
Penggunaan radio untuk pembelajaran sudah lama digunakan terutama untuk pendidikan jarak jauh dan pendidikan terbuka misalnya SMP terbuka. Penggunanya adalah pada jam tertentu yang sudah dijadwalkan, sedangkan informasinya dapat bersifat langsung maupun rekaman disiarkan melalui radio dan peserta didik mendengarkannya dengan seksama yang dilengkapi dengan modul. Media ini cukup efektif untuk menjangkau peserta didik dengan latar geografis yang tersebar dan sulit dijangkau.
Sebagai suatu media, radio mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan media yang lain, tapi juga ada kelemahannya. Secara umum, media audio memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihannya: fleksibel, relatif murah, ringkas, mudah dibawa (portable). Sedangkan keterbatasannya seperti: memerlukan peralatan khusus, memerlukan kemampuan/ketrampilan khusus untuk pemanfaatannya.
Untuk lebih rinci berikut ini diawali dengan kelebihannya terlebih dahulu, antara lain :
1. Harga realtif murah dan program yang variatif
2. Sifatnya mudah dipindahkan (mobile)
3. Jika digunakan dengan alat perekam radio bisa mengatasi problem jadwal
4. Radio mengembangkan daya imajinasi anak
5. Dapat merangsang partisipasi aktif pendengar
6. Peserta didik dapat menyimak pada kata yang digunakan, bunyi dan artinya.
7. Siaran lewat suara terbukti amat tepat/cocok mengajarkan musik dan bahasa.
9. Dapat mengatasi batasan ruang dan waktu.
10. Realistik dan otentik
Adapun kelemahan dari media ini meliputi :
1. Sifat komunikasinya terbatas hanya satu arah (one way communication)
2. Menuntut pemusatan perhatian
2. Biasanya siaran disentalisasikan sehingga guru tidak dapat mengontrolnya.
3. Terikat oleh jadwal sehingga penjadwalan siaran dengan jadwal pelajaran sering menimbulkan masalah.

B. Alat Perekam Pita Magnetik
Alat perekam sekaligus berfungsi untuk memperdengarkan audio (player) pada umumnya menggunakan tape yang menggunakan bahan pita magnetic atau kaset audio. Sesuai perkembangan teknologi, saat ini alat perekam audio sekaligus player menggunakan data dan proses digital, misalnya iPod, MP3 player bahkan handphone yang dilengkapi radio dan audio player. Alat perekam pita magnetik (magnetic tape recording) atau lazimnya orang menyebutnya tape recorder adalah salah satu media penddikan yang tak dapat diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakannya.
Beberapa kelebihan alat perekam adalah sebagai berikut:
1. Berfungsi ganda, merekam, menampilkan rekaman dan menghapusnya.
2. Pita perekam dapat diputar berulang-ulang tanpa mempengaruhi volume.
3. Rekaman dapat dihapus secara otomatis dan pitanya bisa dipakai lagi.
4. Pita rekaman dapat dipakai sesuai dengan jadwal yang ada.
5. Program kaset bisa untuk beberapa kegiatan diantaranya; diskusi, dramatisasi.
6. Program kaset memberiklan efesiensi dalam pengajaran bahasa.
Sedangkan kelemahan program kaset diantaranya adalah:
1. Rekaman hanya memberikan konsumsi suara saja.
2. Pita kaset suara memiliki kekuatan terbatas.
3. Daya jangkauan terbatas (tidak luas).
4. Dari segi biaya, bila untuk sasaran yang banyak jauh lebih mahal.

C. Laboratorium Bahasa
Laboratorium bahasa merupakan alat untuk melatih peserta didik dari aspek mendengar dan berbicara dalam bahasa asing dengan menyajikan materi pelajaran yang disiapkan sebelumnya, adapun media yang dipakai adalah alat perekam. Secara umum dapat dikategorikan bahwa media audio memiliki kelebihan dan keterbatasan atau kekurangannya. Jika dicermati maka kelebihannya antara lain: lebih fleksibel, relatif murah, ringkas, mudah dibawa kemanapun (portable). Sedangkan keterbatasannya antara lain: memerlukan peralatan khusus, memerlukan kemampuan/ketrampilan khusus untuk pemanfaatannya.

3. FUNGSI MEDIA AUDIO
Fungsi media audio menurut Arsyad, beliau mengutip pendapat Sudjana dan Rivai adalah, bahwa media audio berfungsi untuk melatih segala kegiatan pengembangan keterampilan, terutama yang berhubungan langsung dengan aspek – aspek keterampilan pendengaran. Dengan penggunaan media audio maka yang dapat dicapai ialah berupa :
a) Pemusatan perhatian dan mempertahankan perhatian
b) Mengikuti pengarahan
c) Melatih daya analisis
d) Menentukan arti dan konteks
e) Memilah informasi dan gagasan
f) Merangkum, mengingat kembali dan menggali informasi
Fungsi lain dari media audio adalah sebagi alat bantu bagi para pendidik, karena sifatnya hanya sekedar membantu, maka dalam pemamfaatannya memerlukan bantuan metode atau media lain, sehingga pengalaman dan pengetahuan siap dimiliki oleh pendengar yang akan membantu keberhasilan.
Selain itu pemanfaatan fungsi media audio dalam pengajaran digunakan dalam:
a. Pengajaran musik literaty (pembacaan sajak), dan kegiatan dokumentasi.
b. Pengajaran bahasa asing, apakah secara audio ataupun secara audiovisual.
c. Pengajaran melalui radio atau radio pendidikan.
d. Paket-paket belajar untuk berbagai jenis materi, yang memungkinkan peserta didik dapat melatih daya penafsirannya dalam suatu bidang studi.

 Cara Penggunaan Media Audio
Dalam pembuatan atau penggunaan media audio ada beberapa peralatan pokok yang harus diperhatikan diantaranya : mikrofon, alat perekam (recorder ), alat pemutar hasil rekaman ( player), alat penyampur sumber suara (mixer) dan beberapa fasilitas lainnya yang diperlukan. Langkah–langkah untuk mempersiapkan media audio adalah :
a) Mempersiapkan diri
b) Mempersiapkan kesiapan peserta didik
c) Mendiskusikan membahas materi program audio
d) Mendengarkan materi audio yang akan dibahas
Sedangkan menurut Sudjana langkah – langkah yang harus dipersiapkan dalam menggunakan media audio meliputi tiga hal yaitu :
a. Langkah persiapan meliputi : persiapan dalam merencanakan, memberikan pengarahan terhadap siswa mengenai ide – ide yang sulit, menentukan sasaran, periksa peralatan.
b. Langkah penyajian meliputi : menyajikan waktu yang tepat, mengatur situasi ruangan, berikan motivasi untuk peserta didik.
c. Tindak lanjut.

 Teknik penggunaan rekaman menurut Hamalik antara lain :
a)Kelas harus dibawa kearah belajar mendengarkan rekaman secara aktif
b)Guru hendaknya mengenal dan memahami rekaman tersebut
c) Menguasai penggunaan rekaman dalam belajar
d) Kegiatan lanjutan
 Teknik dalam perekaman radio pendidikan, Sudjana mengusulkan hal – hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Pilih subjek atau tema yang menarik dan mengundang perhatian mereka.
b. Tentukan garis-garis besar cerita atau membuat sinopsis.
c.Tentukan pemain, pelaku, penangungjawab dan sebagainya.
d.Adakan latihan diluar studio untuk melatih penjiwaan mereka.
e. Pilih sound effect yang sesuai, kemudian coba rekam dan adakan revisi.

4. PERAN PENGEMBANGAN MEDIA AUDIO DALAM PRAKTEK PEMBELAJARAN

Efektivitas proses belajar mengajar (pembelajaran) sangat dipengaruhi oleh faktor metode dan media pembelajaran yang digunakan. Keduanya saling berkaitan, di mana pemilihan metode tertentu akan berpengaruh terhadap jenis media yang akan digunakan. Dalam arti bahwa harus ada kesesuaian di antara keduanya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Walaupun ada hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan media, seperti: konteks pembelajaran, karakteristik pembelajaran, dan tugas atau respon yang diharapkan dari pembelajaran. Sedangkan menurut Criticos (1996), tujuan pembelajaran, hasil belajar, isi materi ajar, rangkaian dan strategi pembelajaran adalah kriteria untuk seleksi dan produksi media. Dengan demikian, penataan pembelajaran (iklim, kondisi, dan lingkungan belajar) yang dilakukan oleh seorang pengajar dipengaruhi oleh peran media yang digunakan.
Pemanfaatan media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan berpengaruh secara psikologis kepada peserta didik (Hamalik, 1986). Selanjutnya diungkapkan bahwa penggunaan media pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian informasi (pesan dan isi pelajaran) pada saat itu. Kehadiran media dalam pembelajaran juga dikatakan dapat membantu peningkatan pemahaman peserta didik, penyajian data/informasi lebih menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa fungsi media adalah sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar.
Peran media (media pendidikan) secara umum, adalah sebagai berikut: (i) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual; (ii) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misal objek yang terlalu besar untuk dibawa ke kelas dapat diganti dengan gambar, slide, dsb., peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat film, video, fota atau film bingkai; (iii) meningkatkan kegairahan belajar, memungkinkan peserta didik belajar sendiri berdasarkan minat dan kemampuannya, dan mengatasi sikap pasif peserta didik; dan (iv) memberikan rangsangan yang sama, dapat menyamakan pengalaman dan persepsi peserta didik terhadap isi pelajaran.
Dengan menggunakan istilah media pengajaran, Sudjana dan Rivai mengemukakan beberapa manfaat media dalam proses belajar peserta didik, yaitu : (i) dapat menumbuhkan motivasi belajar peserta didik karena pengajaran akan lebih menarik perhatian mereka; (ii) makna bahan pengajaran akan menjadi lebih jelas sehingga dapat dipahami peserta didik dan memungkinkan terjadinya penguasaan serta pencapaian tujuan pengajaran; (iii) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi verbal melalui kata-kata; dan (iv) peserta didik lebih banyak melakukan aktivitas selama kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati, mendemonstrasikan, melakukan langsung, dan memerankan.
Berdasarkan atas beberapa peran media pembelajaran yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera. Terhadap pemahaman isi pelajaran, secara nalar dapat dikemukakan bahwa dengan penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman yang lebih baik pada peserta didik. Pembelajaran dengan cara MENDENGARKAN saja akan berbeda tingkat pemahaman dan lamanya “ingatan” bertahan, dibandingkan dengan pebelajar yang belajar lewat MELIHAT atau sekaligus mendengarkan dan melihat. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pembelajaran ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental. Tentu hal ini berpengaruh terhadap semangat mereka belajar dan kondisi pembelajaran yang lebih hidup, yang nantinya bermuara kepada peningkatan pemahaman belajar terhadap materi ajar.
Miarso, Yusufhadi. dkk. Dalam buku Teknologi Komunikasi Pendidikan menyatakan bahwa hal pertama yang harus dilakukan guru dalam penggunaan media secara efektif adalah mencari, menemukan, dan memilih media yang memenuhi kebutuhan belajar anak, menarik minat anak, sesuai dengan perkembangan kematangan dan pengalamannya serta karakteristik khusus yang ada pada kelompok belajarnya . Karaketristik ini antara lain adalah kematangan anak dan latar belakang pengalamannya serta kondisi mental yang berhubungan dengan usia perkembangannya.
















KESIMPULAN


Kata “media” berasal dari bahasa Latin “medium” yang berarti “perantara” atau “pengantar”. Lebih lanjut, media merupakan sarana penyalur pesan atau informasi belajar yang hendak disampaikan oleh sumber pesan kepada sasaran atau penerima pesan tersebut. Penulis berpendapat berdasarkan batasan-batasan mengenai media, maka dapat dikatakan bahwa media audio dalam pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut SOFTWARE dan HARDWARE yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar kepada (individu atau kelompok), yang disajikan dalam bentuk auditif yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga terjadi proses belajar mengajar (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.
Beberapa jenis media audio untuk pembelajaran diantaranya adalah : Radio, alat perekam pita magnetik (magnetic tape recording) atau lazimnya orang menyebutnya tape recorder, laboratorium Bahasa. Karakteristik dari media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang akan disampaikan dituangkan didalam lambang-lambang auditif, baik verbal (kedalam kata-kata/bahasa lisan) maupun non verbal. Fungsi lain dari media audio adalah sebagi alat bantu bagi para pendidik, karena sifatnya hanya sekedar membantu, maka dalam pemamfaatannya memerlukan bantuan metode atau media lain, sehingga pengalaman dan pengetahuan siap dimiliki oleh pendengar yang akan membantu keberhasilan.
Penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap pemahaman yang lebih baik pada peserta didik. Pembelajaran dengan cara Mendengarkan saja akan berbeda tingkat pemahaman dan lamanya “ingatan” bertahan, dibandingkan dengan pembelajaran yang belajar lewat Melihat atau sekaligus mendengarkan dan melihat. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pembelajaran ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental.

DAFTAR PUSTAKA


Arsyad, A. Media Pembelajaran, Edisi 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
-------------, Media Pembelajaran, Edisi II. (Jakarta:Raja GrafindoPersada, 2003)
Gagne, R. M. The Condition Of Learning And Theory Of Instruction, 4th ed. (New York: CBS College Publishing, 1985)
http://benramt.wordpress.com/2010/01/18/media-audio-dan-video-untuk- pembelajaran/ Di akses 31 Maret 2011
http://fikrinatuna.blogspot.com/2009/04/bab-i-pendahuluan-1. html. Di akses 31 Maret 2011

Hamalik, Oemar, Media Pendidikan, Cetakan Ke-7. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 1994).
Rahardjo, R. Media Pembelajaran. Dalam Miarso, Yusufhadi dkk. Teknologi Komunikasi Pendidikan. (Jakarta: Rajawali. 1986)
Riyana, Cepi, Media Pembelajaran, (Jakarta : Dirjen Pendidikan Islam, Depag RI, 2009)
Sudjana, Nana. dan Rivai, A. Media Pengajaran. (Bandung: Sinar Baru. 1992)
____________, Media Pengajaran, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2005)
Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahadjito. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan Dan Pemanfaatannya, Edisi 1. (Jakarta: Rajawali. 1990)
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1995)
Punaji, Setyosari dan Sihkabuden, Media Pembelajaran. (Malang : Elang Mas. 2005)
Yudhi, Munadi, Media Pembelajaran, Sebuah Pendekatan Baru, (Jakarta: Gaung Persada Press, Ciputat. 2008)
Yusufhadi, Miarso, dkk. Teknologi Komunikasi Pendidikan. (Jakarta: Rajawali. 1986)

Makalah Hadits Tarbawi (Smt 2)

MEMAHAMI HADITS NABI
DARI ASPEK SEJARAH DAN SOSIAL BUDAYA


I. PENDAHULUAN
Diskursus terhadap hadits nampaknya selalu menarik perhatian banyak orang, baik kalangan muslim maupun non muslim. Terbukti hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang menyangkut kritik terhadap otentitasnya, maupun metodologi pemahamannya terus berkembang. Hadits dan sunnah adalah segala yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’lun) atau ketetapan (taqrir) atau sifat khuluqiyyah (sifat akhlak Nabi) atau khalqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk tubuh Nabi) sebelum bi’tsah (diutus menjadi rasul) atau sesudahnya.
Secara Epistimologis, hadits dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Sebab ia merupakan bayan (penjelasan), terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global) ‘am (umum) dan yang mutlak (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadits dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an.
Di samping itu, dalam diskursus ilmu hadits juga dikenal bahwa hadits itu ada yang memiliki asbabul wurud khusus, ada pula yang tidak. Untuk kategori pertama, yakni hadits-hadits yang mempunyai sebab khusus kita dapat menggunakan perangkat ilmu yang disebut asbabul wurud dalam memahami maknanya. Persoalannya adalah bagaimana jika suatu hadits itu tidak memiliki asbabul wurud secara khusus. Di sinilah barangkali relevansi judul yang penulis tawarkan, yakni adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman hadits (fiqhul hadits) dengan pendekatan historis, sosiologis dan budaya (antropologis).
Hal ini berangkat dari asumsi dasar bahwa ketika Rasulullah SAW bersabda pasti beliau tidak lepas dari situasi, kondisi yang ada di masyarakat pada waktu itu. Dengan ungkapan lain, adalah mustahil Rasulullah SAW. berbicara dalam ruangan yang hampa sejarah (vacuum historis). Bagaimanapun sebuah gagasan atau ide termasuk dalam hal ini sabda Rasulullah SAW selalu based on historical problems, yakni terkait dengan problem historis-kultural waktu itu.
Disamping itu, hadits kebanyakan berbicara mengenai soal-soal yang bersifat teknis dan kasuistik, sehingga boleh jadi semangatnya (ruhnya) atau “ideal moralnya” universal- meminjam istilah Fazlur Rahman-namun teksnya bersifat bayan al-waqi’I mengungkap realitas empiris masyarakat waktu itu. Dengan demikian, hadits-hadits Rasulullah Muhammad SAW sebagai mitra al-Qur’an, secara teologis juga diharapkan dapat member inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan al-Hadits.
Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memberikan tawaran baru bagaimana cara melakukan fiqhul Hadits (pemahaman hadits) dengan pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh masing-masing. Wajib penulis sampaikan bahwasannya hadits yang penulis kutip dalam tulisan ini adalah hadits yang dianggap sahih oleh para ulama hadits, paling tidak oleh Imam Bukhari dan Muslim. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini penulis sengaja tidak melakukan takhrij hadits secara mandiri, namun sekedar mengikuti takhrij yang dilakukan oleh al-Bukhari dan Muslim.





II. PEMBAHASAN
Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam lahir dan muncul dari berbagai situasi. Pembukuannya telah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang. Ketika ulama berupaya menangkap maksud kandungannya maka muncul berbagai pemahaman sebagai akibat metode pemahaman yang tidak sama. Di kalangan ulama dikenal dua macam metode pemahaman makna kandungan hadis, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual.

A. Metode Tekstual
Ada dua metode dalam upaya memahami kandungan ajaran yang terdapat dalam hadis Nabi, yaitu tekstual dan kontekstual. Tekstual adalah tipe pemahaman hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam dengan hanya melihat makna harfiah, tanpa memperhatikan latar belakang kemunculan hadis tersebut maupun sejarah pengumpulannya. Tipe pemikiran ini, oleh ilmuan sosial dikategorikan sebagai pemikiran ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadis). Tokoh yang terkenal sangat tekstual harfiyah dalam memahami nash, baik al-Qur’an maupun hadis, adalah Abu Dawud al-Zahiri. Sedangkan ulama yang cenderung juga mendukung aliran ini adalah Imam al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M).
Namun sejalan dengan perubahan sosial yang sangat cepat, maka model pemahaman tekstual sulit dipertahankan, khususnya pemahaman terhadap hadis yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan (mu’amalah). Jika tetap dipahami secara harfiyah, maka akan menimbulkan banyak kesulitan bagi umat Islam dalam mengamalkan ajaran-ajaran hadis Nabi. Di sisi lain, pemahaman tekstual tersebut dapat berdampak banyak ajaran Islam yang tidak lagi cocok diterapkan di dunia moderen. Oleh karena itu, untuk mengatasi kebuntuan pemahaman tersebut maka banyak ulama menempuh metode kontekstual.





B. Metode Kontekstual
1. Pengertian
Pemahaman kontekstual adalah memahami hadis sebagai sumber ajaran Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul hadis (asbab al-wurud) tersebut. Golongan ini pada mulanya tidak populer dan tenggelam dalam tekanan kalangan tekstualis yanag mayoritas, tetapi akhir-akhir ini mendapat sambutan yang lebih luas. Pemahaman kontekstual ini awalnya dikembangkan oleh Abu Hanifah dan kelompok Ahlul Ra’yi, lalu ini diperkuat oleh imam al-Qarafi (w. 694 H) yang menulis kitab al-Furuq, dan imam al-Syathibi dengan kitabnya al-Muwafaqat.
Dalam metode kontekstual, kedudukan Rasulullah saw dibedakan dalam beberapa posisi, yaitu (1) sebagai rasul penetap syari’at; (2) sebagai hakim dan mufti yang memutuskan hukum atau fatwa (3) sebagai pemimpin atau imam. Ulama kontemporer seperti Abu Zahrah menambahkan posisi ke (4) yaitu nabi sebagai manusia biasa. Ajaran atau perintah nabi dari posisinya sebagai Rasul bersifat mengikat selamanya, sedangkan sebagai imam atau mufti atau manusia biasa tidak wajib diikuti.
Sejak zaman Nabi, pemahaman secara tekstual dan kontekstual terhadap hadis Nabi telah mulai dikenal dan dipraktekkan oleh para sahabat-sahabat Nabi. Misalnya suatu ketika Nabi saw pernah memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, beliau berpesan “Agar jangan ada seorangpun yang salat Zuhur kecuali setelah sampai di kampung bani Quraizhah. Karena takut kehabisan waktu zuhur, maka sebagian orang melaksanakan salat di perjalanan sebelum sampai di kampung itu. Sedangkan yang lain tetap mengikuti perintah nabi walaupun akan kehabisan waktu. Ketika persoalan itu disampaikan kepada Nabi, maka beliau tidak menyalahkan pihak manapun”.
Sebagian sahabat yang memahami perintah Nabi secara kontekstual melihat bahwa inti sabda nabi tersebut bukan sebagai larangan tetapi agar bergegas di perjalanan dan perintah itu terkait dengan waktu. Jika waktu memang hampir habis, maka boleh salat zuhur di perjalanan walau belum tiba di tempat tujuan. Sedangkan bagi yang memahaminya secara tekstual berpendapat mereka harus mengikuti apapun yang diperintahkan nabi, yakni hanya boleh shalat zuhur setelah tiba di kampung bani Quraizhah, walaupun waktu zuhur habis. Nabi ternyata mentolerir dua model pemahaman sahabat tersebut.
Dalam kaitannya sebagai sumber pokok ajaran Islam, hadis pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan demikian hadis merupakan interpretasi nabi saw yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadits nabi. Dari sini, maka hadits pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis nabi terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadis nabi merupakan hal yang mendesak, tentu dengan acuan yang dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadis. Realitanya bahwa hadis nabi lebih banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul di kalangan generasi muda Islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak negeri Islam lainnya.
Pendekatan ini terhadap sebahagian hadits Nabi merupakan satu keharusan tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan malah menjadi sesuatu yang kontradiktif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadis Nabi. Karena pemahaman seperti ini maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas menyerang hadits yang tampak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman–meskipun ulama hadits menyatakan bahwa hadits tersebut dilihat dari kaedah-kaedah ilmu hadits yang demikian ketat, validitasnya diakui dan makbul (shahih).
Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadits merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadits yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad, pendekatan kontekstual atas hadits Nabi SAW, belum begitu memperoleh perhatian.

2. Pendekatan
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang sangat cepat, maka hadits dipahami secara tepat dan holistik. Dalam metode kontekstual digunakan beberapa pendekatan keilmuan sebagai upaya untuk menangkap maksud hadits yang sebenarnya. Beberapa pendekatan keilmuan dimaksud adalah:
b. Pendekatan historis
Pendekatan historis di sini ialah memahami hadis dengan memperhatikan suasana dan peristiwa sejarah yang menyebabkan atau mengiringi munculya suatu hadis. Misalnya hadis tentang larangan menyerupai suatu kaum sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan tentang macam-macam ilmu hadis. Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi masa lalu untuk diambil hikmahnya sebagai acuan dalam menentukan masa sekarang dan akan datang.
Mempelajari sejarah perkembangan hadits adalah mencari objek materi dari berbagai macam ilmu yang disertai dengan menganalisa peristiwa yang terjadi pada masa dahulu. Adapun objek penelitian sejarah hadits adalah membahas tentang periode perkembangan hadits itu sendiri; mengupas tentang karakteristik dari setiap periodesasi hadits; memperhatikan aspek kondisi, sikap masyarakat Islam, tujuan makna teks hadits serta tempat berkembangnya Hadits.
c. Pendekatan sosiologis
Yaitu pemahaman dangan memperhatikan keterkaitan berbagai faktor sosial kemasyarakatan, baik yang bersifat struktur maupun relasi, yang mempengaruhi atau menyebabkan muncuinya suatu hadis. Pendekatan ini dapat digunakan antara lain dalam mengkaji makna kandungan hadis tentang persyaratan keturunan Ouraisy bagi seorang kepala negara yang berbunyi:
عنَ ابْنُ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَ َمَ لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمُ اثْنَانِ
Berangkat dari pemahaman tekstual atas hadis ini, maka al Mawardi, ibn Hazm, al-Ourthubi, Ibn Hajar a[ Asqaiiani, bahkan Rasyid Ridha, sepakat menyatakan keturunan Quraisy merupakan persyaratan mutlak untuk dapat menduduki jabatan tertinggi sebagai kepala negara. Dengan pemahaman sosiologis kontekstual, maka Ibn Khaidun mengemukakan pendapat berbeda. Menurutnya, kepemimpinan politik dalam hadis ini diberikan kepada Quraisy karena pada saat itu memang merekel yang memenuhi persyaratan dan memiliki kekuatan yang dapat dipatuhi masyarakat.
Hak kepernimpinan sebenarnya bukan pada Quraisy nya melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Implikasinya, jika pada suatu saat ada orang dari kalangan non Quraisy yang memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka dia berhak menjadi kepala negara. Dangan demikian Sunnah Nabi yang menjadi substansi dari hadis ini adalah ajaran bahwa kepala pemenntahan atau pemegang kekuasean harus orang yang benar benar memiliki kemampuan dan kecakapan. Hadits lain yang juga dapat dipahami serupa adalah tentang larangan perempuan menjadi kepala Negara.
d. Pendekatan Sosio Historis
Yaitu memahami hadits dangan memperhatikan latar belakang situasi sejarah sosial kemasyarakatan yang menyebabkan kemunculan suatu keputusan atau tindakan dari Nabi SAW. Dangan meneliti berbagai faktor ini akan diketahui lingkup pemberlakuan suatu hadis, apakah situasional atau universal.
Sebagai contoh adalah hadis tentang larangan berpergian bagi perempuan tanpa disertai mahram yang berbunyi:

عَنِ النَّبِيُّ صَ َمَ قَالَ لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Larangan Nabi ini muncul dilatarbelakangi suatu ‘illat atau sebab khusus berupa kekhawatiran atas keselamatan wanita yang bepergian sendirian tanpa di'sertai suami atau mahramnya, palagi pada waktu itu pedalanan harus menembus padang pasir luas hampir tidak ada manusia dangan hanya berkendaraan unta, kuda atau keledai, sehingga jika terjadi sesuatu maka akan dapat mengancam jiwa dan kehormatannya. Implikasinya, jika Illat kondisinya sudah jauh berubah seperti saat ini di mana pedalanan dapat dilakukan dangan aman menggunakan pesawat atau kereta api, maka larangan bepergian sendirian bagi kaum wanita sudah tidak berfaku lagi.
e. Pendekatan Antropologis
Yaitu memahami hadis dangan memperhatikan tradisi dan budaya, termasuk model keyakinan, yang berkembang dalam masyarakat dan menjadi faktor latar belakang munculnya tadi. Misalnya beberapa hadits tentang larangan melukis makhluk bernyawa, bahkan ada yang menyatakan bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada lukisan makhluk hidup. Hadis dimaksud berbunyi:

عَنْ النَّبِيَّ صَل َمَ يَقُولُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

Jika dicermati secara antropologis, hadis ini muncul terkait dangan budaya kepercayaan dalam masyarakat saat itu yang belum terlepas dari kepercayaan animisme dan politeisme, berupa penyembahan kepada patung dan semisainya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, maka Nabi SAW berusaha keras agar masyarakat Islam terlepas dari kemusyrikan atau praktek praktek yang dapat menyesatkan. Dalam situasi demikian, salah satu cara yang ditempuhnya ialah melarang pembuatan atau pemajangan lukisan makhiuk hidup karena dikhawatirkan dapat menyeret umat Islam saat itu kepada kemusyrikan.
Jadi Sunnah yang terkandung dalam hadis ini mengajarkan agar umat Islam membangun tauاid dan mencegah perbuatan yang dapat merusaknya. Jadi larangan melukis makhiuk hidup hanya berlaku temporal dalam masyarakat yang mengalami transisi dari model kepercayaan politeisme kepada monoteisme. Di sini 'illat atau sebab larangan ialah kekhawatiran akan kembalinya umat Islam saat itu kepada kemusyrikan. Jika 'illat tersebut sudah tidak ada lagi, maka larangan itu juga berakhir. Contoh hadis lain yang dapat didekati secara antropologis ialah perintah mematikan lampu pada waktu tidur, dan perintah nabi agar memanjangkan jenggot dan mencukur kumis.










KESIMPULAN


Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan pada bagian pembahasan maka dapat dibuat kesimpulan bahwa ada dua macam metode pemahaman makna kandungan hadits, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual. Tekstual adalah tipe pemahaman hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam dengan hanya melihat makna harfiah, tanpa memperhatikan latar belakang kemunculan hadis tersebut maupun sejarah pengumpulannya. Pemahaman kontekstual adalah memahami hadis sebagai sumber ajaran Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul hadis (asbab al-wurud) tersebut. Baik kontekstual maupun tekstual telah ada dan telah digunakan sejak masa awal Islam.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang sangat cepat, maka hadis dipahami secara tepat dan holistik. Dalam metode kontekstual digunakan beberapa pendekatan keilmuan sebagai upaya untuk menangkap maksud hadits yang sebenarnya.
Beberapa pendekatan keilmuan dimaksud adalah: Pendekatan historis: Pendekatan historis di sini ialah memahami hadis dengan memperhatikan suasana dan peristiwa sejarah yang menyebabkan atau mengiringi munculya suatu hadits. Pendekatan sosiologis: Pemahaman dangan memperhatikan keterkaitan berbagai faktor sosial kemasyarakatan, baik yang bersifat struktur maupun relasi, yang mempengaruhi atau menyebabkan muncuinya suatu hadits. Pendekatan Sosio Historis: memahami hadis dangan memperhatikan latar belakang situasi sejarah sosial kemasyarakatan yang menyebabkan kemunculan suatu keputusan atau tindakan dari Nabi SAW. Dangan meneliti berbagai faktor ini akan diketahui lingkup pemberlakuan suatu hadis, apakah situasional atau universal. Pendekatan Antropologis : memahami hadits dangan memperhatikan tradisi dan budaya, termasuk model keyakinan, yang berkembang dalam masyarakat dan menjadi faktor latar belakang munculnya tadi.


DAFTAR PUSTAKA


Alamsyah, dkk. Ilmu-ilmu Hadits, Lampung: Pusikamla Fakultas Ushuluddin, 2009.

a] Ajkam ai <h£mi)wh ~t: Dara A Filw, tt) h. 4 5, al Asqallani, AA al Bari Syah al Bu~ (Beirut: Dar al Fikr wa Maktabah Salaflyah, tt) juz Vi, h. 526 536, Rasyid Ridha, al Khilafah (ttp: al Zahra li Aiam a] 'Arabi, i922).

al Qardhawi, Yusuf, KaifaNata'nialma'aal Sunnabal Nabawiyah (Virginia: al Ma' hadal 'Alilial Fikial Islanii, 1990).

http://maizuddin.wordpress.com/2010/03/20/pemahaman-kontekstual-atas-hadits- nabi/ Di akses 25 Maret 2011.

http://alkadri-sambas.blogspot.com/2009/11/sejarah-hadits.html. Di akses 25 Maret 2011.

Husin Munawwar, Said Agil, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.

Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta : Gema Insani Press, 1995.

Muhammad, Afif, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi SAW, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992.
MEMAHAMI HADITS NABI
DARI ASPEK SEJARAH DAN SOSIAL BUDAYA


I. PENDAHULUAN
Diskursus terhadap hadits nampaknya selalu menarik perhatian banyak orang, baik kalangan muslim maupun non muslim. Terbukti hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang menyangkut kritik terhadap otentitasnya, maupun metodologi pemahamannya terus berkembang. Hadits dan sunnah adalah segala yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’lun) atau ketetapan (taqrir) atau sifat khuluqiyyah (sifat akhlak Nabi) atau khalqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk tubuh Nabi) sebelum bi’tsah (diutus menjadi rasul) atau sesudahnya.
Secara Epistimologis, hadits dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Sebab ia merupakan bayan (penjelasan), terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global) ‘am (umum) dan yang mutlak (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadits dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an.
Di samping itu, dalam diskursus ilmu hadits juga dikenal bahwa hadits itu ada yang memiliki asbabul wurud khusus, ada pula yang tidak. Untuk kategori pertama, yakni hadits-hadits yang mempunyai sebab khusus kita dapat menggunakan perangkat ilmu yang disebut asbabul wurud dalam memahami maknanya. Persoalannya adalah bagaimana jika suatu hadits itu tidak memiliki asbabul wurud secara khusus. Di sinilah barangkali relevansi judul yang penulis tawarkan, yakni adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman hadits (fiqhul hadits) dengan pendekatan historis, sosiologis dan budaya (antropologis).
Hal ini berangkat dari asumsi dasar bahwa ketika Rasulullah SAW bersabda pasti beliau tidak lepas dari situasi, kondisi yang ada di masyarakat pada waktu itu. Dengan ungkapan lain, adalah mustahil Rasulullah SAW. berbicara dalam ruangan yang hampa sejarah (vacuum historis). Bagaimanapun sebuah gagasan atau ide termasuk dalam hal ini sabda Rasulullah SAW selalu based on historical problems, yakni terkait dengan problem historis-kultural waktu itu.
Disamping itu, hadits kebanyakan berbicara mengenai soal-soal yang bersifat teknis dan kasuistik, sehingga boleh jadi semangatnya (ruhnya) atau “ideal moralnya” universal- meminjam istilah Fazlur Rahman-namun teksnya bersifat bayan al-waqi’I mengungkap realitas empiris masyarakat waktu itu. Dengan demikian, hadits-hadits Rasulullah Muhammad SAW sebagai mitra al-Qur’an, secara teologis juga diharapkan dapat member inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan al-Hadits.
Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memberikan tawaran baru bagaimana cara melakukan fiqhul Hadits (pemahaman hadits) dengan pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh masing-masing. Wajib penulis sampaikan bahwasannya hadits yang penulis kutip dalam tulisan ini adalah hadits yang dianggap sahih oleh para ulama hadits, paling tidak oleh Imam Bukhari dan Muslim. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini penulis sengaja tidak melakukan takhrij hadits secara mandiri, namun sekedar mengikuti takhrij yang dilakukan oleh al-Bukhari dan Muslim.





II. PEMBAHASAN
Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam lahir dan muncul dari berbagai situasi. Pembukuannya telah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang. Ketika ulama berupaya menangkap maksud kandungannya maka muncul berbagai pemahaman sebagai akibat metode pemahaman yang tidak sama. Di kalangan ulama dikenal dua macam metode pemahaman makna kandungan hadis, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual.

A. Metode Tekstual
Ada dua metode dalam upaya memahami kandungan ajaran yang terdapat dalam hadis Nabi, yaitu tekstual dan kontekstual. Tekstual adalah tipe pemahaman hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam dengan hanya melihat makna harfiah, tanpa memperhatikan latar belakang kemunculan hadis tersebut maupun sejarah pengumpulannya. Tipe pemikiran ini, oleh ilmuan sosial dikategorikan sebagai pemikiran ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadis). Tokoh yang terkenal sangat tekstual harfiyah dalam memahami nash, baik al-Qur’an maupun hadis, adalah Abu Dawud al-Zahiri. Sedangkan ulama yang cenderung juga mendukung aliran ini adalah Imam al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M).
Namun sejalan dengan perubahan sosial yang sangat cepat, maka model pemahaman tekstual sulit dipertahankan, khususnya pemahaman terhadap hadis yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan (mu’amalah). Jika tetap dipahami secara harfiyah, maka akan menimbulkan banyak kesulitan bagi umat Islam dalam mengamalkan ajaran-ajaran hadis Nabi. Di sisi lain, pemahaman tekstual tersebut dapat berdampak banyak ajaran Islam yang tidak lagi cocok diterapkan di dunia moderen. Oleh karena itu, untuk mengatasi kebuntuan pemahaman tersebut maka banyak ulama menempuh metode kontekstual.





B. Metode Kontekstual
1. Pengertian
Pemahaman kontekstual adalah memahami hadis sebagai sumber ajaran Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul hadis (asbab al-wurud) tersebut. Golongan ini pada mulanya tidak populer dan tenggelam dalam tekanan kalangan tekstualis yanag mayoritas, tetapi akhir-akhir ini mendapat sambutan yang lebih luas. Pemahaman kontekstual ini awalnya dikembangkan oleh Abu Hanifah dan kelompok Ahlul Ra’yi, lalu ini diperkuat oleh imam al-Qarafi (w. 694 H) yang menulis kitab al-Furuq, dan imam al-Syathibi dengan kitabnya al-Muwafaqat.
Dalam metode kontekstual, kedudukan Rasulullah saw dibedakan dalam beberapa posisi, yaitu (1) sebagai rasul penetap syari’at; (2) sebagai hakim dan mufti yang memutuskan hukum atau fatwa (3) sebagai pemimpin atau imam. Ulama kontemporer seperti Abu Zahrah menambahkan posisi ke (4) yaitu nabi sebagai manusia biasa. Ajaran atau perintah nabi dari posisinya sebagai Rasul bersifat mengikat selamanya, sedangkan sebagai imam atau mufti atau manusia biasa tidak wajib diikuti.
Sejak zaman Nabi, pemahaman secara tekstual dan kontekstual terhadap hadis Nabi telah mulai dikenal dan dipraktekkan oleh para sahabat-sahabat Nabi. Misalnya suatu ketika Nabi saw pernah memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, beliau berpesan “Agar jangan ada seorangpun yang salat Zuhur kecuali setelah sampai di kampung bani Quraizhah. Karena takut kehabisan waktu zuhur, maka sebagian orang melaksanakan salat di perjalanan sebelum sampai di kampung itu. Sedangkan yang lain tetap mengikuti perintah nabi walaupun akan kehabisan waktu. Ketika persoalan itu disampaikan kepada Nabi, maka beliau tidak menyalahkan pihak manapun”.
Sebagian sahabat yang memahami perintah Nabi secara kontekstual melihat bahwa inti sabda nabi tersebut bukan sebagai larangan tetapi agar bergegas di perjalanan dan perintah itu terkait dengan waktu. Jika waktu memang hampir habis, maka boleh salat zuhur di perjalanan walau belum tiba di tempat tujuan. Sedangkan bagi yang memahaminya secara tekstual berpendapat mereka harus mengikuti apapun yang diperintahkan nabi, yakni hanya boleh shalat zuhur setelah tiba di kampung bani Quraizhah, walaupun waktu zuhur habis. Nabi ternyata mentolerir dua model pemahaman sahabat tersebut.
Dalam kaitannya sebagai sumber pokok ajaran Islam, hadis pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan demikian hadis merupakan interpretasi nabi saw yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadits nabi. Dari sini, maka hadits pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis nabi terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadis nabi merupakan hal yang mendesak, tentu dengan acuan yang dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadis. Realitanya bahwa hadis nabi lebih banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul di kalangan generasi muda Islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak negeri Islam lainnya.
Pendekatan ini terhadap sebahagian hadits Nabi merupakan satu keharusan tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan malah menjadi sesuatu yang kontradiktif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadis Nabi. Karena pemahaman seperti ini maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas menyerang hadits yang tampak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman–meskipun ulama hadits menyatakan bahwa hadits tersebut dilihat dari kaedah-kaedah ilmu hadits yang demikian ketat, validitasnya diakui dan makbul (shahih).
Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadits merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadits yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad, pendekatan kontekstual atas hadits Nabi SAW, belum begitu memperoleh perhatian.

2. Pendekatan
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang sangat cepat, maka hadits dipahami secara tepat dan holistik. Dalam metode kontekstual digunakan beberapa pendekatan keilmuan sebagai upaya untuk menangkap maksud hadits yang sebenarnya. Beberapa pendekatan keilmuan dimaksud adalah:
b. Pendekatan historis
Pendekatan historis di sini ialah memahami hadis dengan memperhatikan suasana dan peristiwa sejarah yang menyebabkan atau mengiringi munculya suatu hadis. Misalnya hadis tentang larangan menyerupai suatu kaum sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan tentang macam-macam ilmu hadis. Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi masa lalu untuk diambil hikmahnya sebagai acuan dalam menentukan masa sekarang dan akan datang.
Mempelajari sejarah perkembangan hadits adalah mencari objek materi dari berbagai macam ilmu yang disertai dengan menganalisa peristiwa yang terjadi pada masa dahulu. Adapun objek penelitian sejarah hadits adalah membahas tentang periode perkembangan hadits itu sendiri; mengupas tentang karakteristik dari setiap periodesasi hadits; memperhatikan aspek kondisi, sikap masyarakat Islam, tujuan makna teks hadits serta tempat berkembangnya Hadits.
c. Pendekatan sosiologis
Yaitu pemahaman dangan memperhatikan keterkaitan berbagai faktor sosial kemasyarakatan, baik yang bersifat struktur maupun relasi, yang mempengaruhi atau menyebabkan muncuinya suatu hadis. Pendekatan ini dapat digunakan antara lain dalam mengkaji makna kandungan hadis tentang persyaratan keturunan Ouraisy bagi seorang kepala negara yang berbunyi:
عنَ ابْنُ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَ َمَ لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمُ اثْنَانِ
Berangkat dari pemahaman tekstual atas hadis ini, maka al Mawardi, ibn Hazm, al-Ourthubi, Ibn Hajar a[ Asqaiiani, bahkan Rasyid Ridha, sepakat menyatakan keturunan Quraisy merupakan persyaratan mutlak untuk dapat menduduki jabatan tertinggi sebagai kepala negara. Dengan pemahaman sosiologis kontekstual, maka Ibn Khaidun mengemukakan pendapat berbeda. Menurutnya, kepemimpinan politik dalam hadis ini diberikan kepada Quraisy karena pada saat itu memang merekel yang memenuhi persyaratan dan memiliki kekuatan yang dapat dipatuhi masyarakat.
Hak kepernimpinan sebenarnya bukan pada Quraisy nya melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Implikasinya, jika pada suatu saat ada orang dari kalangan non Quraisy yang memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka dia berhak menjadi kepala negara. Dangan demikian Sunnah Nabi yang menjadi substansi dari hadis ini adalah ajaran bahwa kepala pemenntahan atau pemegang kekuasean harus orang yang benar benar memiliki kemampuan dan kecakapan. Hadits lain yang juga dapat dipahami serupa adalah tentang larangan perempuan menjadi kepala Negara.
d. Pendekatan Sosio Historis
Yaitu memahami hadits dangan memperhatikan latar belakang situasi sejarah sosial kemasyarakatan yang menyebabkan kemunculan suatu keputusan atau tindakan dari Nabi SAW. Dangan meneliti berbagai faktor ini akan diketahui lingkup pemberlakuan suatu hadis, apakah situasional atau universal.
Sebagai contoh adalah hadis tentang larangan berpergian bagi perempuan tanpa disertai mahram yang berbunyi:

عَنِ النَّبِيُّ صَ َمَ قَالَ لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Larangan Nabi ini muncul dilatarbelakangi suatu ‘illat atau sebab khusus berupa kekhawatiran atas keselamatan wanita yang bepergian sendirian tanpa di'sertai suami atau mahramnya, palagi pada waktu itu pedalanan harus menembus padang pasir luas hampir tidak ada manusia dangan hanya berkendaraan unta, kuda atau keledai, sehingga jika terjadi sesuatu maka akan dapat mengancam jiwa dan kehormatannya. Implikasinya, jika Illat kondisinya sudah jauh berubah seperti saat ini di mana pedalanan dapat dilakukan dangan aman menggunakan pesawat atau kereta api, maka larangan bepergian sendirian bagi kaum wanita sudah tidak berfaku lagi.
e. Pendekatan Antropologis
Yaitu memahami hadis dangan memperhatikan tradisi dan budaya, termasuk model keyakinan, yang berkembang dalam masyarakat dan menjadi faktor latar belakang munculnya tadi. Misalnya beberapa hadits tentang larangan melukis makhluk bernyawa, bahkan ada yang menyatakan bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada lukisan makhluk hidup. Hadis dimaksud berbunyi:

عَنْ النَّبِيَّ صَل َمَ يَقُولُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

Jika dicermati secara antropologis, hadis ini muncul terkait dangan budaya kepercayaan dalam masyarakat saat itu yang belum terlepas dari kepercayaan animisme dan politeisme, berupa penyembahan kepada patung dan semisainya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, maka Nabi SAW berusaha keras agar masyarakat Islam terlepas dari kemusyrikan atau praktek praktek yang dapat menyesatkan. Dalam situasi demikian, salah satu cara yang ditempuhnya ialah melarang pembuatan atau pemajangan lukisan makhiuk hidup karena dikhawatirkan dapat menyeret umat Islam saat itu kepada kemusyrikan.
Jadi Sunnah yang terkandung dalam hadis ini mengajarkan agar umat Islam membangun tauاid dan mencegah perbuatan yang dapat merusaknya. Jadi larangan melukis makhiuk hidup hanya berlaku temporal dalam masyarakat yang mengalami transisi dari model kepercayaan politeisme kepada monoteisme. Di sini 'illat atau sebab larangan ialah kekhawatiran akan kembalinya umat Islam saat itu kepada kemusyrikan. Jika 'illat tersebut sudah tidak ada lagi, maka larangan itu juga berakhir. Contoh hadis lain yang dapat didekati secara antropologis ialah perintah mematikan lampu pada waktu tidur, dan perintah nabi agar memanjangkan jenggot dan mencukur kumis.










KESIMPULAN


Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan pada bagian pembahasan maka dapat dibuat kesimpulan bahwa ada dua macam metode pemahaman makna kandungan hadits, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual. Tekstual adalah tipe pemahaman hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam dengan hanya melihat makna harfiah, tanpa memperhatikan latar belakang kemunculan hadis tersebut maupun sejarah pengumpulannya. Pemahaman kontekstual adalah memahami hadis sebagai sumber ajaran Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul hadis (asbab al-wurud) tersebut. Baik kontekstual maupun tekstual telah ada dan telah digunakan sejak masa awal Islam.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang sangat cepat, maka hadis dipahami secara tepat dan holistik. Dalam metode kontekstual digunakan beberapa pendekatan keilmuan sebagai upaya untuk menangkap maksud hadits yang sebenarnya.
Beberapa pendekatan keilmuan dimaksud adalah: Pendekatan historis: Pendekatan historis di sini ialah memahami hadis dengan memperhatikan suasana dan peristiwa sejarah yang menyebabkan atau mengiringi munculya suatu hadits. Pendekatan sosiologis: Pemahaman dangan memperhatikan keterkaitan berbagai faktor sosial kemasyarakatan, baik yang bersifat struktur maupun relasi, yang mempengaruhi atau menyebabkan muncuinya suatu hadits. Pendekatan Sosio Historis: memahami hadis dangan memperhatikan latar belakang situasi sejarah sosial kemasyarakatan yang menyebabkan kemunculan suatu keputusan atau tindakan dari Nabi SAW. Dangan meneliti berbagai faktor ini akan diketahui lingkup pemberlakuan suatu hadis, apakah situasional atau universal. Pendekatan Antropologis : memahami hadits dangan memperhatikan tradisi dan budaya, termasuk model keyakinan, yang berkembang dalam masyarakat dan menjadi faktor latar belakang munculnya tadi.


DAFTAR PUSTAKA


Alamsyah, dkk. Ilmu-ilmu Hadits, Lampung: Pusikamla Fakultas Ushuluddin, 2009.

a] Ajkam ai <h£mi)wh ~t: Dara A Filw, tt) h. 4 5, al Asqallani, AA al Bari Syah al Bu~ (Beirut: Dar al Fikr wa Maktabah Salaflyah, tt) juz Vi, h. 526 536, Rasyid Ridha, al Khilafah (ttp: al Zahra li Aiam a] 'Arabi, i922).

al Qardhawi, Yusuf, KaifaNata'nialma'aal Sunnabal Nabawiyah (Virginia: al Ma' hadal 'Alilial Fikial Islanii, 1990).

http://maizuddin.wordpress.com/2010/03/20/pemahaman-kontekstual-atas-hadits- nabi/ Di akses 25 Maret 2011.

http://alkadri-sambas.blogspot.com/2009/11/sejarah-hadits.html. Di akses 25 Maret 2011.

Husin Munawwar, Said Agil, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.

Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta : Gema Insani Press, 1995.

Muhammad, Afif, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi SAW, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992.

Senin, 14 Maret 2011

Makalah : PROSES MENCARI ILMU DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

PROSES MENCARI ILMU
DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
Oleh : Imadi (NPM. 2010.40.051)



A.PENDAHULUAN
Islam membangunkan akal dari tidurnya dan menyaringkan suaranya untuk menentang prasangka-prasangka orang yang bodoh, sembari menegaskan bahwa manusia tidak dicipta untuk dibelenggu tetapi secara fitri dia harus membimbing dirinya sendiri dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan, yaitu ilmu tentang alam semesta dan pengetahuan tentang hal-hal yang sudah berlalu.
Islam menjauhkan kita dari keterikatan secara eksklusif kepada segala sesuatu. Ia menunjukkan kepada kita bahwa kenyataan yang ada, dari segi waktunya, lebih dulu sampai kepada kita tidak merupakan bukti pengetahuan atau ketinggian akal fikiran, bahwa para nenek moyang dan keturunannya memiliki kemampuan intelektual dan kemampuan-kemampuan alami yang sama. Jadi ia melepaskan diri dari semua rantai yang mengikatnya, membebaskannya dari taqlid buta yang telah memperbudaknya, dan mengembalikan kewenangan kepadanya untuk mengambil keputusan sendiri sesuai dengan penilaian dan kebijakannya sendiri, namun demikian, ia wajib berkhidmat dihadapan Allah sendiri dan berhenti pada batas-batas yang ditetapkan agama; tetapi dalam batas-batas ini tidak ada penghalang bagi kegiatannya dan juga tidak ada pembatasan terhadap berbagai macam spekulasi yang dapat dikemukakan atas tanggung jawabnya.
Dalam Al Qur’an disebutkan tentang perlunya ilmu pengetahuan seperti :
Artinya:
”1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589], 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca. Banyak pula hadis Nabi saw., yang mengungkapkan perintah wajibnya mencari ilmu, seperti: 1)”Mencari ilmu wajib bagi setiap orang mukmin laki-laki maupun mukmin perempuan”. 2)”Carilah ilmu meski ke negeri Cina”., 3)”Carilah ilmu dari kandungan hingga liang lahat”.

B. AL QUR’AN MENGAJAK MENGUNAKAN AKAL
Salah satu dari tiang – tiang ajaran Islam yang penting ialah: mrnghargai akal manusia dan melindunginya daripada tindakan – tindakan yang mungkin dilakukan orang atas nikmat Allah yang tak ternilai itu. Junjungan kita meletakkan akal pada tempat yang terhormat, menjadikan akal itu sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan. Bertebaran di dalam Al-Qur’an beberapa pertanyaan – pertanyaan untuk memikat perhatian menyuruh mempergunakan pikiran , mendorong manusia supaya menajalankan akalnya. ” Kenapakah mereka tidak berpikir?, Kenapakah mereka tidak ingat?, kenapakah mereka tidak menggunakan akal?, dan demikianlah seterusnya.
Disuruh orang memperhatikan tumbuh – tumbuhan yang hidup dan ditanya, apakah dan siapakah yang menghidupkan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan itu. Disuruh orang memperhatikan api yang menyala, dan ditanya apakah dan siapakah yang menyalakannya. Disuruh memperhatikan air hujan yang turun dari langit dan ditanya siapakah dan apakah yang menurunkannya, apakah manusia atau siapakah.
Demikianlah Al-Qur’an berkata antara lain:
Artinya:
63. Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. 64. Kamukah yang menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya? 65. Kalau kami kehendaki, benar-benar kami jadikan dia hancur dan kering, Maka jadilah kamu heran dan tercengang. 66. (sambil berkata): "Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian", 67. Bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak mendapat hasil apa-apa. 68. Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. 69. Kamukah yang menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya? 70. Kalau kami kehendaki, niscaya kami jadikan dia asin, Maka mengapakah kamu tidak bersyukur? 71. Maka Terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dengan menggosok-gosokkan kayu). 72. Kamukah yang menjadikan kayu itu atau kamikah yang menjadikannya? (QS.Waaqi’ah : 58 – 72)
Oleh karena itu kita umat Islam wajib menggunakan akal untuk memikirkan ayat – ayat Al-Qur’an supaya mengerti akan maksud dan maknanya, lantaran ayat – ayat Al-Qur’an itu diturunkan untuk yang mau berpikir, mau mengambil makna, mau mengetahui, mau bertasbih dan mengambil konklusi. Al-Qur’an mencela orang yang tidak menggunakan akal. Tegasnya agama Islam melarang kita bertaklid buta kepada paham dan i’tikad yang tak berdasar kepada wahyu Ilahi yang nyata. Hanya sekedar menurut paham-paham lama ( pikiran tradisional) yang turun-temurun dengan tidak mengetahui dan memeriksa terlebih dahulu, apakah paham itu berguna dan berfaedah dan suci atau tidak.
Artinya :
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Artinya:
”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".( QS. AlBaqarah: 170)
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang- lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah : 11)

Dalam Al-Mishbah Volume 14 (2002:11), dijelaskan bahwa Surat Al-Mujadalah ini turun pada hari jum’at. Ketika itu Rasul berada di satu tempat yang sempit (Shuffah) dan menjadi kebiasaan bagi beliau memberikan tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Ketika majlis tengah berlangsung datanglah beberapa orang sahabat yang mengikuti perang Badr. Kemudian datang pula yang lainnya. Mereka yang baru datang memberi salam, dan Rasulpun serta sahabat menjawab salam tersebut. Tapi mereka yang telah datang lebih dahulu (yang sudah duduk) tidak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya, sehingga mereka yang baru datang berdiri terus.
Maka Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang lain yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi Muhammad SAW. Perintah Nabi itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini yang digunakan oleh kaum munafik untuk memecah belah dengan berkata : ”Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak.” Nabi yang mendengar kritik itu bersabda: ”Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di ataspun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwasanya sebagai orang yang beriman kita (manusia) harus melapangkan hati demi saudaranya yang lain.

C. Beberapa Pikiran Pokok Ayat
Ada beberapa motivasi yang muncul dari peserta didik dalam hal ini para sahabat Mencari ilmu itu diperuntukkan secara hakiki untuk seluruh umat yang beriman (ditunjukkan dengan mukhatab alladziina aamanuu)Majalis adalah tempat-tempat dimana diselenggarakannya pengajaran dan pembelajaran, sehingga secara luas dapat diartikan sebagai sebuah institusi atau lembaga pendidikan.Dalam majlis ilmi, peserta harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bersama-sama mencari ilmu (ditunjukkan dengan perintah Allah untuk berlapang-lapang dalam belajar).
Dalam majelis ilmu, peserta harus saling menghargai dan menghormati peserta lainnya. Dalam majlis ilmi, peserta harus meyakini bahwa mereka berada disana untuk mencapai tujuan yang akan dicapai. Adanya dorongan atau motivasi para sahabat dalam mencari ilmu yaitu berharap Allah akan mengangkat derajatnya (ditunjukkan oleh ayat yarfaillahu lladzina aamanu minkum). Dalam ayat itu mencari ilmu dibarengi dengan keimanan kepada Allah sebagai syarat untuk ditinggikan derajatnya. Ayat itu menunjukkan adanya kepastian bahwa saling menghargai, menghormati, memberikan kesempatan kepada yang lain dan berlomba dalam mencari ilmu akan memunculkan manusia yang berilmu dan beriman. Adanya saling toleransi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar Saling toleransi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.

1.Pesantren Sebagai Pusat Majelis Keilmuan.
Sebenarnya lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren lahir dari hakikat majlis ilmi atau halaqoh ilmiyyah yang sering diadakan Rasulullah bersama para sahabatnya. Istilah majlis ilmu dalam perspektif pendidikan Islam, berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata yaitu majelis dan ilmu. Majelis bermakna “tempat duduk”, sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia majelis adalah pertemuan, kumpulan, tempat sidang. Sedangkan ilmu bermakna adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Imam Ibnu Katsir dalam Tasfsirnya Al-Qur'an al Azhim, Juz IV, hal 324, mengatakan bahwa Allah SWT dalam ayat ini mendidik kaum muslimin agar bersikap baik satu sama lain di dalam majlis. Janganlah satu sama lain mempersempit tempat duduk, sehingga seolah-olah yang satu menghalangi keberadaan dan kehadiran yang lain dalam majlis. Pesantren sebagai pusat majelis keilmuan, memiliki norma dan nilai sebagai aturan utama dalam pelaksanaan pembelajaran. Banyak norma-norma yang harus ditaati sebagai konsekuwensi kita sebagai peserta didik di sebuah pesantren.
Majelis ilmu juga memberikan kesempatan pada manusia untuk berbaur dengan sesama insan yang juga mencintai ilmu. Ada pula pesantren sebagai institusi pendidikan diambil dari hakikat kata madrasah yang berarti tempat belajar, Abuddin Nata menjelaskan bahwa di dalam al - Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu. Firman Allah QS. al-An’am : 105Artinya :
“Demikianlah kami mengulang-ulangi ayat-ayat kami supaya (orang-orang yang beriman mendapat petunjuk) dan supaya orang-orang musyrik mengatakan: "Kamu Telah mempelajari ayat-ayat itu (dari ahli Kitab)", dan supaya kami menjelaskan Al Quran itu kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. al-An’am : 105)
Artinya :
“Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al- An’am: 165)
Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.

2.Motivasi Mencari Ilmu
Dalam mencari ilmu atau belajar di sebuah institusi pendidikan, secara umum semua amalan atau perbuatan itu tidak terlepas dari motiv (haatsah) di belakangnya, seseorang dalam mencari ilmu, dia didorong oleh keinginan yang begitu besar yang dia pikirkan. Para santri yang sedang menuntut ilmu di pesantren hendaknya memiliki motivasi mulia seperti motivasi yang dimiliki para sahabat Rasulullah yang begitu tinggi dalam menghadiri majlis keilmuan atau dalam pembelajaran, hal itu disebabkan pada benak mereka telah ada keyakinan-keyakinan yang mendorongnya, antara lain :
1.Memiliki keinginan untuk diangkat derajatnya oleh Allah SWT baik di dunia dan di akhirat.
2.Meyakini bahwa syarat diangkat derajat oleh Allah adalah dengan menjadi orang yang beriman dan berilmu.
3.Meyakini bahwa dengan menghadiri majlis ilmu, dia akan menjadi seorang yang beriman disebabkan bertambahnya pengetahuan dan kesadaran tentang keimanan kepada Allah.
4.Meyakini bahwa dengan menghadiri majlis ilmu, dia akan menjadi seorang yang memiliki keluasan pengetahuan yang menjadi bekal dia untuk kehidupan di dunia dan membekali diri untuk kehidupan akhirat.
5.Meyakini bahwa menuntut Ilmu wajib bagi setiap muslim Rasulullah saw bersabda : “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. (No. 224).
Motivasi lainnya sehingga mereka tetap bertahan sampai berhasil dalam mendapatkannya adalah :
1. Menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.
2. Menuntut ilmu akan mendapatkan dan memudahkan jalan menuju surga setiap muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699). dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim)
3. Meyakini bahwa majlis ilmu adalah taman surga Nabi bersabda, "Apabila kalian
berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat ber-tanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” (Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”
4.Meyakini bahwa Rasulullah itu merupakan contoh teladan yang tidak mengenal lelah dalam mencari ilmu, Beliau senantiasa membaca dan menimba ilmu dari alam rasa dan yang semuanya bersumber dari Allah SWT.
5.Meyakini ketika ada suatu majlis keilmuan maka disana akan didapatkan suatu pengetahuan baru yang akan menambah wawasan dan referensi sehingga kita dapat mengaplikasikan apa yang didapatkan. Seperti sahabat Nabi yang pulang dari medan perang. Beliau tetap bergabung dalam majlis ilmu yang dilaksanakan oleh Nabi. Hal-hal yang harus ditaati oleh peserta didik dalam pembelajaran.
Adapun beberapa hal yang bisa diperoleh dari QS. al-Mujadalah : 11 ini antara lain :
1.Berilah izin salam atau mintalah izin kepada orang-orang yang di dalam majlis ketika masuk dan keluar dari majlis tersebut. Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak baginya duduk, maka hendaklah ia duduk. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah salam yang pertama lebih utama daripada yang kedua.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).
2.Duduklah di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah ra menuturkan, “Apabila kami datang kepada Nabi SAW, maka masing-masing dari kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
3.Jangan menyuruh orang lain untuk pindah dari tempat duduknya kemudian anda mendudukinya, akan tetapi berlapang-lapanglah di dalam majlis. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang tidak boleh memerintah-kan orang lain pindah dari tempat duduknya lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan perluaslah.” (Muttafaq ’alaih).
4.Jangan duduk di tengah-tengah (lingkaran majlis) halaqah.
5.Jangan duduk di antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seseorang memisah di antara dua orang kecuali seizin keduanya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
6.Jangan menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu keperluan. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali, maka ia lebih berhak menempatinya.” (HR. Muslim).
7.Jangan berbisik berduaan dengan tidak melibatkan orang ke tiga.
Nabi bersabda, “Apabila kalian sedang bertiga, maka yang dua orang tidak boleh berbisik tanpa melibatkan yang ketiga sehingga kalian berbaur dengan orang banyak, karena dapat membuatnya sedih.” (Muttafaq ’alaih).
8.Jangan banyak tertawa. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
9. Jagalah pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis). Rasulullah bersabda, “Apabila seseorang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian ia, maka itu adalah amanat.” (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani) Amanah bagi yang ditoleh.
10.Jangan melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan orang lain, seperti menguap, membuang ingus atau bersendawa di dalam majlis.
11.Jangan memata-matai.Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu mencari-cari atau memata-matai orang.” (Muttafaq ’alaih).
12.Tutuplah majlis dengan do`a kaffarah majlis. bersabda, “Barangsiapa yang duduk di dalam suatu majlis dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu ia berdo’a. Isilah majlis dengan ingat kepada Allah agar tidak bernilai kotor di sisi Allah dan kerugian (HR. Abu Daud)
13.Jagalah kebersihan dan bau harum atau kesegaran ruangan.
14.Hendaknya beradab dalam menuntut ilmu. Bersikap lemah lembut dalam memberikan pendapat, Rasulullah bersabda: “Tidaklah sikap lemah lembut ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut kecuali akan membuatnya menjadi jelek” (Hadits Riwayat. Muslim 2584, Abu Dawud (2477) Urgensi Mencari Ilmu dan Tafaqquh Fiddin. Salah satu kunci sukses generasi terbaik binaan Rasulullah SAW; para sahabat RA, sehingga mereka mampu melakukan perubahan dalam peradaban dunia dan mendatangkan banyak kemenangan, kemajuan dan ke kajayaan di semua aspek kehidupan, termasuk keberhasilan dalam memenej rumah tangga mereka, adalah semangat membara mereka dalam mencari ilmu dan tafaqquh fiddin.

Ayat di atas merupakan salah satu dari sekian banyak ayat Al Qur'an yang menegaskan urgensi mencari ilmu dan tafaqquh fiddin. Bahkan, begitu amat pentingnya ilmu sampai-sampai lafazh 'ilmu dan kata jadiannya disebut dalam Al Qur'an sekita 427 kali, mengalahkan penyebutan lafazh shalat, zakat dan lainnya. Di antara kiat sukses para sahabat Nabi SAW dalam tafaqquh fiddin, terlihat dalam bentuk dan fenomena berikut:
a.Semangat mereka untuk hadir dalam majlis Rasulullah SAW di tengah kesibukan mereka dalam menggembala, berdangang, bertani dll. Jika sebagian mereka berhalangan, maka mereka bersepakat dengan kawannya untuk saling bergiliran seperti yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khattab RA dengan tetangganya dari kaum Anshar (Lihat HR Bukhari 1/33 dan Muslim II/ 1108-1110 no. 31).
b.Mendengarkan dengan khusyu' (Inshaat) dan konsentrasi penuh agar mereka tidak ketinggalan sedikit pun dari ilmu yang Nabi SAW sampaikan (Lihat HR At Tirmidzi dalam Asy Syamaa-il Al Muhammadiyah hal. 375).
c.Bertanya terhadap apa yang tidak mereka fahami.
d.Mendengarkan dari teman-teman sebayanya yang lebih hafal.
Faktor terpenting lagi dalam proses pendidikan adalah peserta didik. Prinsip yang paling penting dalam pendidikan bahwa anak merupakan individu yang selalu tumbuh dan berkembang. Sehubungan dengan hal itu, agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif maka pendidik perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat peserta didik sehingga ia mudah untuk melaksanakan pendidikan, menimbulkan rasa cinta kepada peserta didik, dan menghindarkan diri dari banyak kesulitan dan kesalahan dalam praktek pendidikan.
Agar pendidik mampu menjalankan tugas mendidiknya dengan baik maka ia harus memahami hakikat peserta didik. Peserta didik secara hakikat adalah pribadi yang sedang berkembang, bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri dengan wawasan pendidikan seumur hidup, pribadi yang mempunyai potensi ( baik fisik maupun psikis) yang berbeda sehingga masing-masing merupakan insan yang unik, memerlukan pembinaan individual dan perlakuan yang manusiawi dan merupakan insan yang aktif menghadapi lingkungannya.
Istilah murid bermakna ”yang mempunyai kehendak”. Dalam dunia sufi, sumber pengambilannya berasal dari kata al-iradah ( kehendak). Adapun jalan iradah di sini adalah untuk menetapkan mengetahui yang dikehendaki, yaitu Allah ( al-murad). Adapun keberadaan iradah tersebut adalah kehendak yang dikehendaki oleh Allah dengan cara mengikuti perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Inilah yang disebut dengan makna tauhid. Karenanya untuk mencari ilmu, seorang murid haruslah mengetahui sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah.
Utamanya perilaku seorang murid dalam mencari ilmu menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jailani yang dikutip oleh al-Hifni dalam Kitab al-Mausuat al-Shufiyyah (1992), seorang mukmin harus memiliki tiga komponen dalam berperilaku, pertama, mampu melaksanakan perintah-perintah-Nya, kedua, menjauhi segala larangan-nya, dan ketiga meridhai atas segala ketetapan-Nya.
Ada beberapa hal yang harus dimiliki dan dipersiapkan oleh setiap murid yang sedang belajar sebagai adab dan tugasnya selaku murid (yang dapat juga disebut sebagai sifat-sifat murid) seperti yang dikemukakan Said Hawwa, sebagai berikut :
1.Murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum lainnya.
2.Murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawi.
3.Tidak sombong terhadap orang yang berilmu
4.Hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya dan ketekunan darinya.
Untuk menjaga hubungan yang begitu urgen yakni intensitas, interaktif, komunikatif, dan produktif antara seorang murid dengan gurunya, maka posisi murid secara fungsional dan proporsional memiliki kriteria-kriteria menyangkut hak dan kewajiban, etika dan tatakrama, adab dan tatalaku yang menceriminkan perilaku.

Cara memperoleh ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan:
1.Pendekatan Induktif :
Yaitu Suatu cara penganalisaan ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus menuju hal-hal yang bersifat umum. Metode ini dikembangkan melalui observasi, klasifikasi dan informasi.
Artinya:
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Artinya:
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan ? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan ?
Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”

2.Pendekatan Deduktif :
Yaitu pendekatan yang bergerak dari hal-hal yang umum kemudian atas dasar itu diterapkan hal-hal yang bersifat khusus. Metode ini dapat diterapkan dalam bentuk silogisme yang menarik konklusi berdasarkan atas dua premis,yaitu premis mayor dan premis minor.

3.Pendekatan Gabungan antara Induktif dan Deduktif :
Tujuan pendekatan ini untuk menemukan pemahaman.dengan pemahaman itu kita mendapatkan rahmat allah yang berbentuk sarana dan proses alamiah untuk kebahagiaan hidup manusia dan untuk mengembangkan teori-teori yang lebih maju.
Artinya:
“Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”


KESIMPULAN

Islam membuka cakrawala pemikiran manusia untuk senantias mengetahui keesan Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akherat dengan institusi pendidikan. Di dalamnya terdiri atas pendidik dan peserta didik yang ditopang oleh berbagai lingkungan; sekolah / institusi, keluarga dan masyarakat.
Mencari dan menuntut ilmu adalah penting bagi manusia dalm hidup dan kehidupan. Menjadi kewajiban yang tidak boleh tidak harus dilakukan dari semenjak lahir sampai akhir hayat dengan disertai modal kemauan,semangat dan kesungguhan serta adab.
Islam telah mengangkat derajat yang tinggi bagi para penuntut ilmu,dan menorehkan tinta emas peradaban manusia yang tinggi dengan usaha para penuntut ilmu. Penghargaan yang Allah SWT berikan begitu besar dan tinggi kepada ilmu dan para penuntut ilmu.















DAFTAR PUSTAKA



Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, Terj. B.Michel dan Mustafa Abdul Raziq Paris, t.t.p. 1925.

Muhammad, Hasyim, Tafsir al-qur’an dan Masyarakat, Yogyakarta, Teras, 2007.

Natsir, M., Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Girimukti Pasaka, 1988.

Muhaimin dan Abdul Mujib,Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Trigenda karya, 1993.

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, 2002 .

Zuhri, Mohammad, Terjemah Juz ‘Amma, Jakarta, Pustaka Amani, 1994.

Makalah : Model Pengembangan Kurikulum Grass Roots

MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
GRASS ROOTS
Oleh: Imadi (NPM. 2010 – 40 - 051)



I.PENDAHULUAN
Model atau rancangan bahkan model dalam kurikulum adalah komponen yang sangat menentukan keberhasilan sebuah proses pendidikan. Mendesain kurikulum bukanlah pekerjaan yang ringan. Ia membutuhkan kajian yang komprehensif dalam rangka mendapatkan hasil yang dapat mengakomodir tuntutan dan perubahan zaman. Mendesain kurikulum berarti menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum, sama seperti arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkonstruksi bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan dibangun.
Para ahli kurikulum berupaya merumuskan macam-macam desain kurikulum. Eisner dan Vallance (1974) menyebutnya menjadi lima jenis, yaitu model pengembangan proses kognitif, kurikulum sebagai teknologi, kurikulum sebagai aktualisasi diri, kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, dan kurikulum rasionalisasi akademis. Mc Neil (1977) membagi desain kurikulum menjadi empat model, yaitu model kurikulum humanistis, kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum teknologi, dan kurikulum subjek akademik.
Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) membagi desain kurikulum menjadi kurikulum subject matter disiplin, kompetensi yang barsifat spesifik atau kurikulum teknologi, kurikulum sebagai proses, kurikulum sebagai fungsi sosial, dan kurikulum yang berdasarkan minat individu. Sedangkan Shane (1993) membagi desain kurikulum menjadi empat desain, yaitu desain kurikulum yang berorientasi pada masyarakat, desain kurikulum yang berorientasi pada anak, desain kurikulum yang berorientasi pada pengetahuan, dan desain kurikulum yang bersifat eklektik.
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial.
Ada beberapa model pengembangan kurikulum :
1. Admistrative Model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi.
2. Grass Root Model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass root karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah.
Mencermati hal diatas maka penulis tidak dalam upaya untuk menyajikan kurikulum dari asfek model-modelnya secara keseluruhan. Namun akan lebih mencermati sekaligus mengkaji kurikulum sesuai dengan judul yang ditugaskan kepada penulis, yaitu model pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan Grass Roots.

II.PEMBAHASAN
Dilihat dari cakupan pengembangannya ada dua pendekatan yang dapat diterapkan. Pertama, pendekatan top down atau pendekatan administrative, yaitu pendekatan dengan sistem komando dari atas ke bawah; dan kedua adalah pendekatan grass root, atau pengembangan kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah lalu disebarluaskan pada tingkat atau skala yang lebih luas, dengan istilah singkat sering dinamakan pengembangan kurikulum dari bawah ke atas.
Kalau pada pendekatan administratif inisiatif pengembangan kurikulum berasal dari para pemegang kebijakan kemudian turun ke stafnya atau dari atas ke bawah, maka dalam model grass roots, inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari lapangan atau dari guru-guru sebagai implementator, kemudian menyebar pada lingkungan yang lebih luas, makanya pendekatan ini dinamakan juga pengembangan kurikulum dari bawah ke atas. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curriculum improvement), walaupun dalam skala yang terbatas mungkin juga digunakan dalam pengembangan kurikulum baru (curriculum construction).
Dalam kondisi yang bagaimana kiri-kira guru dapat berinisiatif memperbarui dan / atau menyempurnakan kurikulum dengan pendekatan semacam ini ? Ya, minimal ada syarat sebagai kondisi yang memungkinkan pendekatan grass roots dapat berlangsung. Pertama, manakala kurikulum itu benar-benar bersifat lentur sehingga memberikan kesempatan kepada setiap guru secara lebih terbuka untuk memperbarui atau menyempurnakan kurikulum yang sedang diberlakukan. Kurikulum yang bersifat kaku, yang hanya mengandung petunjuk dan persyaratan teknis sangat sulit dilakukan pengembangannya dengan pendekatan ini.
Kedua, pendekatan grass roots hanya mungkin terjadi manakala guru memiliki sikap professional yang tinggi disertai kemampuan yang memadai. Sikap professional itu biasanya ditandai dengan keinginan untuk mencoba dan mencoba sesuatu yang baru dalam upaya untuk meningkatkan kinerjanya. Seorang professional itu akan selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya dengan menggali sumber-sumber pengetahuan. Ia juga akan selalu mencoba dan mencoba untuk mencapai kesempurnaan. Ia tidak akan puas dengan hasil yang minimal. Ia akan bisa tenang manakala hasil kinerjanya sesuai dengan target maksimalnya. Dalam kondisi yang demikianlah grass roots akan terjadi.
Kemudian bagaimana dengan kenyataan di Indonesia ? banyakkah guru-guru yang mempunyai kemauan dan kemampuan seperti ini ? Baiklah sekarang jangan terlalu hiraukan keadaan itu secara berlebihan, yang terpenting adalah kita harus mulai memahami bagaimana pelaksanaan pendekatan grass roots ini dilakukan. Ada beberapa langkah penyempurnaan kurikulum yang dapat kita lakukan manakala menggunakan pendekatan grass roots ini.
Pertama, menyadari adanya masalah. Pendekatan grass roots biasanya diawali dari keresahan guru tentang kurikulum yang berlaku. Misalnya dirasakan ketidakcocokan penggunaan strategi pembelajaran, atau kegiatan evaluasi seperti yang diharapkan, atau masalah kurangnya motivasi belajar siswa sehingga kita merasa terganggu, dan lain sebaginya. Pemahaman dan kesadaran guru akan adanya suatu masalah merupakan kunci dalam grass roots. Tanpa adanya kesadaran masalah tidak mungkin grass roots dapat berlangsung. Kedua, mengadakan refleksi. Kalau kita merasakan adanya masalah, maka selanjutnya kita berusaha mencari penyebab munculnya masalah tersebut. Refleksi dilakukan dengan mengkaji literatur yang relevan misalnya dengan membaca buku, jurnal hasil penelitian yang relevan dengan latar belakangnya. Dengan pemahaman tersebut, akan memudahkan bagi guru dalam mendesain lingkungan yang dapat mengaktifkan siswa memperoleh pengalaman belajar.
Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa. Pertama, pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setiap tujuan akan menentukan pengalaman pembelajaran. Kedua, setiap penglaman belajar harus memuaskan siswa. Ketiga, Setiap rancangan pengalaman siswa belajar sebaiknya melibatkan siswa. Keempat, mungkin dalam satu penglaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda. Terdapat beberapa bentuk pengalaman belajar yang dapat dikembangkan, misalkan pengalaman belajar untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa, pengalaman belajar untuk membantu siswa dalam mengumpulkan sejumlah informasi, pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan sikap sosial, dan pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan minat.
Untuk lebih merinci, penulis akan mengulas kembali secara rinci, bahwa inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass roots karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah : Perencana, pelaksana, penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dari beberapa kajian di atas, maka dapat ditemukan ciri-ciri dari grass roots model yaitu :
1.Guru memiliki kemampuan yang professional.
2.Keterlibatan langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan dan penentuan evaluasi.
3.Muncul konsensus tujuan, prinsip – prinsip maupun rencana – rencana diantara para guru.
4.Bersifat desentralisasi dan demokratis.

Pengembang Kurikulum
Perlu disadari bahwa kurikulum itu senantiasa berkembang secara dinamis, atau bahkan bisa juga dilakukan perubahan dalam rangka penyempurnaan kurikulum itu sendiri, tujuannya agar kurikulum yang ada tersebut dapat menjawab persoalan dan perkembangan zaman yang ada diwaktu itu dan masa datang. Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi yaitu administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru dan orang tua murid serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terus menerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum adalah administrator, guru dan orang tua.



1. Peranan para administrator pendidikan :
Para administrator pendidikan terdiri atas :
a.Direktur bidang pendidikan
b.Kepala pusat pengembangan kurikulum
c.Kepala kantor wilayah
d.Kepala kantor kabupaten, kecamatan
e.Kepala Sekolah
Peran para administrator ditingkat pusat (direktur dan kepala pusat) yaitu :
Menyusun dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum. Atas dasar dari peranan para administrator pusat, maka para administrator daerah (kepala kantor wilayah, kabupaten, kecamatan, kepala sekolah) mengembangkan kurikulum sekolah bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Para kepala sekolah ini sesungguhnya yang secara terus-menerus terlibat dalam dalam mengembangkan dan mengimplementasi kurikulum, memberikan dorongan dan bimbingan kepada guru-guru. Walaupun dapat mengembangkan kurikulum sendiri, tetapi dalam pelaksanaannya sering harus didorong dan dibantu oleh para administrator.
Administrator lokal harus bekerja sama dengan kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mengkomunikasikan sistem pendidikan kepada masyarakat, serta mendorong pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di kelas. Peranan kepala sekolah lebih banyak berkenaan dengan implementasi kurikulum di sekolahnya. Pimpinan tertinggi di lingkungan sekolah tidak lain adalah kepala sekolah. Kepala sekolah juga mempunyai peranan kunci dalam menciptakan kondisi untuk pengembangan kurikulum di sekolahnya. Ia merupakan figur kunci di sekolah, kepemimpinan kepala sekolah sangat mempengaruhi suasana sekolah dan pengembangan kurikulum.



2. Peranan para ahli
Mengacu pada kebijaksanaan yang ditetapakan pemerintah, maka peranan para ahli yakni :
a.Memberikan alternatif konsep pendidikan dan model kurikulum yang dipandang paling sesuai dengan keadaan dan tuntuatan di atas.
b.Berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum baik dalam tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, lokal bahkan sekolah seperti:
c.Memilih materi bidang ilmu yang mutakhir dan sesuai dengan pengembangan tuntutan masyarakat.
d.Menyusun materi ajaran dalam sekuens yang sesuai dengan struktur keilmuan, tetapi sangat memudahkan para siswa untuk mempelajarinya.

3. Peranan Guru.
Guru merupakan pihak yang telibat secara langsung dalam implementasi kurikulum di sekolahnya. Oleh karena itu guru memegang peranan yang sangat penting baik di dalam perencanaan maupu pelaksanaan kurikulum. Beberapa peran guru dalam upaya menyukseskan implementasi kurikulum adalah sebagai berikut :
a.Sebagai perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya.
Sebagai penerjemah kurikulum yang datang dari atas.
b.Mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya.
Melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum.
c.Menilai perilaku dan prestasi belajar siswa si kelas.
d.Menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih luas.
e.Sebagai seorang komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat belajar, pencoba, penyusunan organisasi, manager sistem pengajaran.
f.Pembimbing baik di sekolah maupun di masyarakat dalam hubungannya dengan pelaksanan pendidikan seumur hidup.
g.Sebagai pelajar dalam masyarakatnya.
h.Menciptakan kegiatan belajar mengajar, situasi belajar yang aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu mendorong kreativitas anak.

4. Peranan orang tua murid.
Peranan orang tua murid dalam pengembangan kurikulum yaitu :
Melalui pengamatan dalam kegiatan belajat di rumah, laporan sekolah, partisipasi dalam kegiatan sekolah dalam bentuk pelaksanaan kegiatan belajar yang sewajarnya, minat yang penuh, usaha yang sungguh-sungguh. Kegiatan –kegiatan tersebut akan memberikan umpan balik bagi penyempurnaan kurikulum yang sedang dilaksanakan.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.






KESIMPULAN


Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah dibahas pada bagian pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi.
Model pengembangan Grass roots ini merupakan inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass roots karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah. Pendekatan grass roots hanya mungkin terjadi manakala guru memiliki sikap professional yang tinggi disertai kemampuan yang memadai. Sikap professional itu biasanya ditandai dengan keinginan untuk mencoba dan mencoba sesuatu yang baru dalam upaya untuk meningkatkan kinerjanya.
Seorang professional itu akan selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya dengan menggali sumber-sumber pengetahuan. Ia juga akan selalu mencoba dan mencoba untuk mencapai kesempurnaan. Ia tidak akan puas dengan hasil yang minimal. Ia akan bisa tenang manakala hasil kinerjanya sesuai dengan target maksimalnya. Dalam kondisi yang demikianlah grass roots akan terjadi.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA



Dacholfany, M Ihsan, Model – Model Pengembangan Kurikulum (Artikel Jurnal), Dosen Univ. Imam Al-Ghozali Yayasan Tunas Islam, Jakarta.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/model-pengembangan- kurikulum, Akses 20 Januari 2011.

Sukmadinata, Nana Syaodih, 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, Bandung, 2002.

Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran, Kencana Prenada media group, Jakarta, 2010.