Senin, 14 Maret 2011

Makalah : PROSES MENCARI ILMU DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

PROSES MENCARI ILMU
DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
Oleh : Imadi (NPM. 2010.40.051)



A.PENDAHULUAN
Islam membangunkan akal dari tidurnya dan menyaringkan suaranya untuk menentang prasangka-prasangka orang yang bodoh, sembari menegaskan bahwa manusia tidak dicipta untuk dibelenggu tetapi secara fitri dia harus membimbing dirinya sendiri dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan, yaitu ilmu tentang alam semesta dan pengetahuan tentang hal-hal yang sudah berlalu.
Islam menjauhkan kita dari keterikatan secara eksklusif kepada segala sesuatu. Ia menunjukkan kepada kita bahwa kenyataan yang ada, dari segi waktunya, lebih dulu sampai kepada kita tidak merupakan bukti pengetahuan atau ketinggian akal fikiran, bahwa para nenek moyang dan keturunannya memiliki kemampuan intelektual dan kemampuan-kemampuan alami yang sama. Jadi ia melepaskan diri dari semua rantai yang mengikatnya, membebaskannya dari taqlid buta yang telah memperbudaknya, dan mengembalikan kewenangan kepadanya untuk mengambil keputusan sendiri sesuai dengan penilaian dan kebijakannya sendiri, namun demikian, ia wajib berkhidmat dihadapan Allah sendiri dan berhenti pada batas-batas yang ditetapkan agama; tetapi dalam batas-batas ini tidak ada penghalang bagi kegiatannya dan juga tidak ada pembatasan terhadap berbagai macam spekulasi yang dapat dikemukakan atas tanggung jawabnya.
Dalam Al Qur’an disebutkan tentang perlunya ilmu pengetahuan seperti :
Artinya:
”1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589], 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca. Banyak pula hadis Nabi saw., yang mengungkapkan perintah wajibnya mencari ilmu, seperti: 1)”Mencari ilmu wajib bagi setiap orang mukmin laki-laki maupun mukmin perempuan”. 2)”Carilah ilmu meski ke negeri Cina”., 3)”Carilah ilmu dari kandungan hingga liang lahat”.

B. AL QUR’AN MENGAJAK MENGUNAKAN AKAL
Salah satu dari tiang – tiang ajaran Islam yang penting ialah: mrnghargai akal manusia dan melindunginya daripada tindakan – tindakan yang mungkin dilakukan orang atas nikmat Allah yang tak ternilai itu. Junjungan kita meletakkan akal pada tempat yang terhormat, menjadikan akal itu sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan. Bertebaran di dalam Al-Qur’an beberapa pertanyaan – pertanyaan untuk memikat perhatian menyuruh mempergunakan pikiran , mendorong manusia supaya menajalankan akalnya. ” Kenapakah mereka tidak berpikir?, Kenapakah mereka tidak ingat?, kenapakah mereka tidak menggunakan akal?, dan demikianlah seterusnya.
Disuruh orang memperhatikan tumbuh – tumbuhan yang hidup dan ditanya, apakah dan siapakah yang menghidupkan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan itu. Disuruh orang memperhatikan api yang menyala, dan ditanya apakah dan siapakah yang menyalakannya. Disuruh memperhatikan air hujan yang turun dari langit dan ditanya siapakah dan apakah yang menurunkannya, apakah manusia atau siapakah.
Demikianlah Al-Qur’an berkata antara lain:
Artinya:
63. Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. 64. Kamukah yang menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya? 65. Kalau kami kehendaki, benar-benar kami jadikan dia hancur dan kering, Maka jadilah kamu heran dan tercengang. 66. (sambil berkata): "Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian", 67. Bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak mendapat hasil apa-apa. 68. Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. 69. Kamukah yang menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya? 70. Kalau kami kehendaki, niscaya kami jadikan dia asin, Maka mengapakah kamu tidak bersyukur? 71. Maka Terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dengan menggosok-gosokkan kayu). 72. Kamukah yang menjadikan kayu itu atau kamikah yang menjadikannya? (QS.Waaqi’ah : 58 – 72)
Oleh karena itu kita umat Islam wajib menggunakan akal untuk memikirkan ayat – ayat Al-Qur’an supaya mengerti akan maksud dan maknanya, lantaran ayat – ayat Al-Qur’an itu diturunkan untuk yang mau berpikir, mau mengambil makna, mau mengetahui, mau bertasbih dan mengambil konklusi. Al-Qur’an mencela orang yang tidak menggunakan akal. Tegasnya agama Islam melarang kita bertaklid buta kepada paham dan i’tikad yang tak berdasar kepada wahyu Ilahi yang nyata. Hanya sekedar menurut paham-paham lama ( pikiran tradisional) yang turun-temurun dengan tidak mengetahui dan memeriksa terlebih dahulu, apakah paham itu berguna dan berfaedah dan suci atau tidak.
Artinya :
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Artinya:
”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".( QS. AlBaqarah: 170)
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang- lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah : 11)

Dalam Al-Mishbah Volume 14 (2002:11), dijelaskan bahwa Surat Al-Mujadalah ini turun pada hari jum’at. Ketika itu Rasul berada di satu tempat yang sempit (Shuffah) dan menjadi kebiasaan bagi beliau memberikan tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Ketika majlis tengah berlangsung datanglah beberapa orang sahabat yang mengikuti perang Badr. Kemudian datang pula yang lainnya. Mereka yang baru datang memberi salam, dan Rasulpun serta sahabat menjawab salam tersebut. Tapi mereka yang telah datang lebih dahulu (yang sudah duduk) tidak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya, sehingga mereka yang baru datang berdiri terus.
Maka Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang lain yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi Muhammad SAW. Perintah Nabi itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini yang digunakan oleh kaum munafik untuk memecah belah dengan berkata : ”Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak.” Nabi yang mendengar kritik itu bersabda: ”Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di ataspun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwasanya sebagai orang yang beriman kita (manusia) harus melapangkan hati demi saudaranya yang lain.

C. Beberapa Pikiran Pokok Ayat
Ada beberapa motivasi yang muncul dari peserta didik dalam hal ini para sahabat Mencari ilmu itu diperuntukkan secara hakiki untuk seluruh umat yang beriman (ditunjukkan dengan mukhatab alladziina aamanuu)Majalis adalah tempat-tempat dimana diselenggarakannya pengajaran dan pembelajaran, sehingga secara luas dapat diartikan sebagai sebuah institusi atau lembaga pendidikan.Dalam majlis ilmi, peserta harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bersama-sama mencari ilmu (ditunjukkan dengan perintah Allah untuk berlapang-lapang dalam belajar).
Dalam majelis ilmu, peserta harus saling menghargai dan menghormati peserta lainnya. Dalam majlis ilmi, peserta harus meyakini bahwa mereka berada disana untuk mencapai tujuan yang akan dicapai. Adanya dorongan atau motivasi para sahabat dalam mencari ilmu yaitu berharap Allah akan mengangkat derajatnya (ditunjukkan oleh ayat yarfaillahu lladzina aamanu minkum). Dalam ayat itu mencari ilmu dibarengi dengan keimanan kepada Allah sebagai syarat untuk ditinggikan derajatnya. Ayat itu menunjukkan adanya kepastian bahwa saling menghargai, menghormati, memberikan kesempatan kepada yang lain dan berlomba dalam mencari ilmu akan memunculkan manusia yang berilmu dan beriman. Adanya saling toleransi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar Saling toleransi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.

1.Pesantren Sebagai Pusat Majelis Keilmuan.
Sebenarnya lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren lahir dari hakikat majlis ilmi atau halaqoh ilmiyyah yang sering diadakan Rasulullah bersama para sahabatnya. Istilah majlis ilmu dalam perspektif pendidikan Islam, berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata yaitu majelis dan ilmu. Majelis bermakna “tempat duduk”, sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia majelis adalah pertemuan, kumpulan, tempat sidang. Sedangkan ilmu bermakna adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Imam Ibnu Katsir dalam Tasfsirnya Al-Qur'an al Azhim, Juz IV, hal 324, mengatakan bahwa Allah SWT dalam ayat ini mendidik kaum muslimin agar bersikap baik satu sama lain di dalam majlis. Janganlah satu sama lain mempersempit tempat duduk, sehingga seolah-olah yang satu menghalangi keberadaan dan kehadiran yang lain dalam majlis. Pesantren sebagai pusat majelis keilmuan, memiliki norma dan nilai sebagai aturan utama dalam pelaksanaan pembelajaran. Banyak norma-norma yang harus ditaati sebagai konsekuwensi kita sebagai peserta didik di sebuah pesantren.
Majelis ilmu juga memberikan kesempatan pada manusia untuk berbaur dengan sesama insan yang juga mencintai ilmu. Ada pula pesantren sebagai institusi pendidikan diambil dari hakikat kata madrasah yang berarti tempat belajar, Abuddin Nata menjelaskan bahwa di dalam al - Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu. Firman Allah QS. al-An’am : 105Artinya :
“Demikianlah kami mengulang-ulangi ayat-ayat kami supaya (orang-orang yang beriman mendapat petunjuk) dan supaya orang-orang musyrik mengatakan: "Kamu Telah mempelajari ayat-ayat itu (dari ahli Kitab)", dan supaya kami menjelaskan Al Quran itu kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. al-An’am : 105)
Artinya :
“Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al- An’am: 165)
Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.

2.Motivasi Mencari Ilmu
Dalam mencari ilmu atau belajar di sebuah institusi pendidikan, secara umum semua amalan atau perbuatan itu tidak terlepas dari motiv (haatsah) di belakangnya, seseorang dalam mencari ilmu, dia didorong oleh keinginan yang begitu besar yang dia pikirkan. Para santri yang sedang menuntut ilmu di pesantren hendaknya memiliki motivasi mulia seperti motivasi yang dimiliki para sahabat Rasulullah yang begitu tinggi dalam menghadiri majlis keilmuan atau dalam pembelajaran, hal itu disebabkan pada benak mereka telah ada keyakinan-keyakinan yang mendorongnya, antara lain :
1.Memiliki keinginan untuk diangkat derajatnya oleh Allah SWT baik di dunia dan di akhirat.
2.Meyakini bahwa syarat diangkat derajat oleh Allah adalah dengan menjadi orang yang beriman dan berilmu.
3.Meyakini bahwa dengan menghadiri majlis ilmu, dia akan menjadi seorang yang beriman disebabkan bertambahnya pengetahuan dan kesadaran tentang keimanan kepada Allah.
4.Meyakini bahwa dengan menghadiri majlis ilmu, dia akan menjadi seorang yang memiliki keluasan pengetahuan yang menjadi bekal dia untuk kehidupan di dunia dan membekali diri untuk kehidupan akhirat.
5.Meyakini bahwa menuntut Ilmu wajib bagi setiap muslim Rasulullah saw bersabda : “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. (No. 224).
Motivasi lainnya sehingga mereka tetap bertahan sampai berhasil dalam mendapatkannya adalah :
1. Menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.
2. Menuntut ilmu akan mendapatkan dan memudahkan jalan menuju surga setiap muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699). dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim)
3. Meyakini bahwa majlis ilmu adalah taman surga Nabi bersabda, "Apabila kalian
berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat ber-tanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” (Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”
4.Meyakini bahwa Rasulullah itu merupakan contoh teladan yang tidak mengenal lelah dalam mencari ilmu, Beliau senantiasa membaca dan menimba ilmu dari alam rasa dan yang semuanya bersumber dari Allah SWT.
5.Meyakini ketika ada suatu majlis keilmuan maka disana akan didapatkan suatu pengetahuan baru yang akan menambah wawasan dan referensi sehingga kita dapat mengaplikasikan apa yang didapatkan. Seperti sahabat Nabi yang pulang dari medan perang. Beliau tetap bergabung dalam majlis ilmu yang dilaksanakan oleh Nabi. Hal-hal yang harus ditaati oleh peserta didik dalam pembelajaran.
Adapun beberapa hal yang bisa diperoleh dari QS. al-Mujadalah : 11 ini antara lain :
1.Berilah izin salam atau mintalah izin kepada orang-orang yang di dalam majlis ketika masuk dan keluar dari majlis tersebut. Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak baginya duduk, maka hendaklah ia duduk. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah salam yang pertama lebih utama daripada yang kedua.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).
2.Duduklah di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah ra menuturkan, “Apabila kami datang kepada Nabi SAW, maka masing-masing dari kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
3.Jangan menyuruh orang lain untuk pindah dari tempat duduknya kemudian anda mendudukinya, akan tetapi berlapang-lapanglah di dalam majlis. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang tidak boleh memerintah-kan orang lain pindah dari tempat duduknya lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan perluaslah.” (Muttafaq ’alaih).
4.Jangan duduk di tengah-tengah (lingkaran majlis) halaqah.
5.Jangan duduk di antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seseorang memisah di antara dua orang kecuali seizin keduanya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
6.Jangan menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu keperluan. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali, maka ia lebih berhak menempatinya.” (HR. Muslim).
7.Jangan berbisik berduaan dengan tidak melibatkan orang ke tiga.
Nabi bersabda, “Apabila kalian sedang bertiga, maka yang dua orang tidak boleh berbisik tanpa melibatkan yang ketiga sehingga kalian berbaur dengan orang banyak, karena dapat membuatnya sedih.” (Muttafaq ’alaih).
8.Jangan banyak tertawa. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
9. Jagalah pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis). Rasulullah bersabda, “Apabila seseorang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian ia, maka itu adalah amanat.” (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani) Amanah bagi yang ditoleh.
10.Jangan melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan orang lain, seperti menguap, membuang ingus atau bersendawa di dalam majlis.
11.Jangan memata-matai.Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu mencari-cari atau memata-matai orang.” (Muttafaq ’alaih).
12.Tutuplah majlis dengan do`a kaffarah majlis. bersabda, “Barangsiapa yang duduk di dalam suatu majlis dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu ia berdo’a. Isilah majlis dengan ingat kepada Allah agar tidak bernilai kotor di sisi Allah dan kerugian (HR. Abu Daud)
13.Jagalah kebersihan dan bau harum atau kesegaran ruangan.
14.Hendaknya beradab dalam menuntut ilmu. Bersikap lemah lembut dalam memberikan pendapat, Rasulullah bersabda: “Tidaklah sikap lemah lembut ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut kecuali akan membuatnya menjadi jelek” (Hadits Riwayat. Muslim 2584, Abu Dawud (2477) Urgensi Mencari Ilmu dan Tafaqquh Fiddin. Salah satu kunci sukses generasi terbaik binaan Rasulullah SAW; para sahabat RA, sehingga mereka mampu melakukan perubahan dalam peradaban dunia dan mendatangkan banyak kemenangan, kemajuan dan ke kajayaan di semua aspek kehidupan, termasuk keberhasilan dalam memenej rumah tangga mereka, adalah semangat membara mereka dalam mencari ilmu dan tafaqquh fiddin.

Ayat di atas merupakan salah satu dari sekian banyak ayat Al Qur'an yang menegaskan urgensi mencari ilmu dan tafaqquh fiddin. Bahkan, begitu amat pentingnya ilmu sampai-sampai lafazh 'ilmu dan kata jadiannya disebut dalam Al Qur'an sekita 427 kali, mengalahkan penyebutan lafazh shalat, zakat dan lainnya. Di antara kiat sukses para sahabat Nabi SAW dalam tafaqquh fiddin, terlihat dalam bentuk dan fenomena berikut:
a.Semangat mereka untuk hadir dalam majlis Rasulullah SAW di tengah kesibukan mereka dalam menggembala, berdangang, bertani dll. Jika sebagian mereka berhalangan, maka mereka bersepakat dengan kawannya untuk saling bergiliran seperti yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khattab RA dengan tetangganya dari kaum Anshar (Lihat HR Bukhari 1/33 dan Muslim II/ 1108-1110 no. 31).
b.Mendengarkan dengan khusyu' (Inshaat) dan konsentrasi penuh agar mereka tidak ketinggalan sedikit pun dari ilmu yang Nabi SAW sampaikan (Lihat HR At Tirmidzi dalam Asy Syamaa-il Al Muhammadiyah hal. 375).
c.Bertanya terhadap apa yang tidak mereka fahami.
d.Mendengarkan dari teman-teman sebayanya yang lebih hafal.
Faktor terpenting lagi dalam proses pendidikan adalah peserta didik. Prinsip yang paling penting dalam pendidikan bahwa anak merupakan individu yang selalu tumbuh dan berkembang. Sehubungan dengan hal itu, agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif maka pendidik perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat peserta didik sehingga ia mudah untuk melaksanakan pendidikan, menimbulkan rasa cinta kepada peserta didik, dan menghindarkan diri dari banyak kesulitan dan kesalahan dalam praktek pendidikan.
Agar pendidik mampu menjalankan tugas mendidiknya dengan baik maka ia harus memahami hakikat peserta didik. Peserta didik secara hakikat adalah pribadi yang sedang berkembang, bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri dengan wawasan pendidikan seumur hidup, pribadi yang mempunyai potensi ( baik fisik maupun psikis) yang berbeda sehingga masing-masing merupakan insan yang unik, memerlukan pembinaan individual dan perlakuan yang manusiawi dan merupakan insan yang aktif menghadapi lingkungannya.
Istilah murid bermakna ”yang mempunyai kehendak”. Dalam dunia sufi, sumber pengambilannya berasal dari kata al-iradah ( kehendak). Adapun jalan iradah di sini adalah untuk menetapkan mengetahui yang dikehendaki, yaitu Allah ( al-murad). Adapun keberadaan iradah tersebut adalah kehendak yang dikehendaki oleh Allah dengan cara mengikuti perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Inilah yang disebut dengan makna tauhid. Karenanya untuk mencari ilmu, seorang murid haruslah mengetahui sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah.
Utamanya perilaku seorang murid dalam mencari ilmu menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jailani yang dikutip oleh al-Hifni dalam Kitab al-Mausuat al-Shufiyyah (1992), seorang mukmin harus memiliki tiga komponen dalam berperilaku, pertama, mampu melaksanakan perintah-perintah-Nya, kedua, menjauhi segala larangan-nya, dan ketiga meridhai atas segala ketetapan-Nya.
Ada beberapa hal yang harus dimiliki dan dipersiapkan oleh setiap murid yang sedang belajar sebagai adab dan tugasnya selaku murid (yang dapat juga disebut sebagai sifat-sifat murid) seperti yang dikemukakan Said Hawwa, sebagai berikut :
1.Murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum lainnya.
2.Murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawi.
3.Tidak sombong terhadap orang yang berilmu
4.Hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya dan ketekunan darinya.
Untuk menjaga hubungan yang begitu urgen yakni intensitas, interaktif, komunikatif, dan produktif antara seorang murid dengan gurunya, maka posisi murid secara fungsional dan proporsional memiliki kriteria-kriteria menyangkut hak dan kewajiban, etika dan tatakrama, adab dan tatalaku yang menceriminkan perilaku.

Cara memperoleh ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan:
1.Pendekatan Induktif :
Yaitu Suatu cara penganalisaan ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus menuju hal-hal yang bersifat umum. Metode ini dikembangkan melalui observasi, klasifikasi dan informasi.
Artinya:
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Artinya:
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan ? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan ?
Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”

2.Pendekatan Deduktif :
Yaitu pendekatan yang bergerak dari hal-hal yang umum kemudian atas dasar itu diterapkan hal-hal yang bersifat khusus. Metode ini dapat diterapkan dalam bentuk silogisme yang menarik konklusi berdasarkan atas dua premis,yaitu premis mayor dan premis minor.

3.Pendekatan Gabungan antara Induktif dan Deduktif :
Tujuan pendekatan ini untuk menemukan pemahaman.dengan pemahaman itu kita mendapatkan rahmat allah yang berbentuk sarana dan proses alamiah untuk kebahagiaan hidup manusia dan untuk mengembangkan teori-teori yang lebih maju.
Artinya:
“Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”


KESIMPULAN

Islam membuka cakrawala pemikiran manusia untuk senantias mengetahui keesan Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akherat dengan institusi pendidikan. Di dalamnya terdiri atas pendidik dan peserta didik yang ditopang oleh berbagai lingkungan; sekolah / institusi, keluarga dan masyarakat.
Mencari dan menuntut ilmu adalah penting bagi manusia dalm hidup dan kehidupan. Menjadi kewajiban yang tidak boleh tidak harus dilakukan dari semenjak lahir sampai akhir hayat dengan disertai modal kemauan,semangat dan kesungguhan serta adab.
Islam telah mengangkat derajat yang tinggi bagi para penuntut ilmu,dan menorehkan tinta emas peradaban manusia yang tinggi dengan usaha para penuntut ilmu. Penghargaan yang Allah SWT berikan begitu besar dan tinggi kepada ilmu dan para penuntut ilmu.















DAFTAR PUSTAKA



Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, Terj. B.Michel dan Mustafa Abdul Raziq Paris, t.t.p. 1925.

Muhammad, Hasyim, Tafsir al-qur’an dan Masyarakat, Yogyakarta, Teras, 2007.

Natsir, M., Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Girimukti Pasaka, 1988.

Muhaimin dan Abdul Mujib,Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Trigenda karya, 1993.

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, 2002 .

Zuhri, Mohammad, Terjemah Juz ‘Amma, Jakarta, Pustaka Amani, 1994.

Makalah : Model Pengembangan Kurikulum Grass Roots

MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
GRASS ROOTS
Oleh: Imadi (NPM. 2010 – 40 - 051)



I.PENDAHULUAN
Model atau rancangan bahkan model dalam kurikulum adalah komponen yang sangat menentukan keberhasilan sebuah proses pendidikan. Mendesain kurikulum bukanlah pekerjaan yang ringan. Ia membutuhkan kajian yang komprehensif dalam rangka mendapatkan hasil yang dapat mengakomodir tuntutan dan perubahan zaman. Mendesain kurikulum berarti menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum, sama seperti arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkonstruksi bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan dibangun.
Para ahli kurikulum berupaya merumuskan macam-macam desain kurikulum. Eisner dan Vallance (1974) menyebutnya menjadi lima jenis, yaitu model pengembangan proses kognitif, kurikulum sebagai teknologi, kurikulum sebagai aktualisasi diri, kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, dan kurikulum rasionalisasi akademis. Mc Neil (1977) membagi desain kurikulum menjadi empat model, yaitu model kurikulum humanistis, kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum teknologi, dan kurikulum subjek akademik.
Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) membagi desain kurikulum menjadi kurikulum subject matter disiplin, kompetensi yang barsifat spesifik atau kurikulum teknologi, kurikulum sebagai proses, kurikulum sebagai fungsi sosial, dan kurikulum yang berdasarkan minat individu. Sedangkan Shane (1993) membagi desain kurikulum menjadi empat desain, yaitu desain kurikulum yang berorientasi pada masyarakat, desain kurikulum yang berorientasi pada anak, desain kurikulum yang berorientasi pada pengetahuan, dan desain kurikulum yang bersifat eklektik.
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial.
Ada beberapa model pengembangan kurikulum :
1. Admistrative Model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi.
2. Grass Root Model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass root karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah.
Mencermati hal diatas maka penulis tidak dalam upaya untuk menyajikan kurikulum dari asfek model-modelnya secara keseluruhan. Namun akan lebih mencermati sekaligus mengkaji kurikulum sesuai dengan judul yang ditugaskan kepada penulis, yaitu model pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan Grass Roots.

II.PEMBAHASAN
Dilihat dari cakupan pengembangannya ada dua pendekatan yang dapat diterapkan. Pertama, pendekatan top down atau pendekatan administrative, yaitu pendekatan dengan sistem komando dari atas ke bawah; dan kedua adalah pendekatan grass root, atau pengembangan kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah lalu disebarluaskan pada tingkat atau skala yang lebih luas, dengan istilah singkat sering dinamakan pengembangan kurikulum dari bawah ke atas.
Kalau pada pendekatan administratif inisiatif pengembangan kurikulum berasal dari para pemegang kebijakan kemudian turun ke stafnya atau dari atas ke bawah, maka dalam model grass roots, inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari lapangan atau dari guru-guru sebagai implementator, kemudian menyebar pada lingkungan yang lebih luas, makanya pendekatan ini dinamakan juga pengembangan kurikulum dari bawah ke atas. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curriculum improvement), walaupun dalam skala yang terbatas mungkin juga digunakan dalam pengembangan kurikulum baru (curriculum construction).
Dalam kondisi yang bagaimana kiri-kira guru dapat berinisiatif memperbarui dan / atau menyempurnakan kurikulum dengan pendekatan semacam ini ? Ya, minimal ada syarat sebagai kondisi yang memungkinkan pendekatan grass roots dapat berlangsung. Pertama, manakala kurikulum itu benar-benar bersifat lentur sehingga memberikan kesempatan kepada setiap guru secara lebih terbuka untuk memperbarui atau menyempurnakan kurikulum yang sedang diberlakukan. Kurikulum yang bersifat kaku, yang hanya mengandung petunjuk dan persyaratan teknis sangat sulit dilakukan pengembangannya dengan pendekatan ini.
Kedua, pendekatan grass roots hanya mungkin terjadi manakala guru memiliki sikap professional yang tinggi disertai kemampuan yang memadai. Sikap professional itu biasanya ditandai dengan keinginan untuk mencoba dan mencoba sesuatu yang baru dalam upaya untuk meningkatkan kinerjanya. Seorang professional itu akan selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya dengan menggali sumber-sumber pengetahuan. Ia juga akan selalu mencoba dan mencoba untuk mencapai kesempurnaan. Ia tidak akan puas dengan hasil yang minimal. Ia akan bisa tenang manakala hasil kinerjanya sesuai dengan target maksimalnya. Dalam kondisi yang demikianlah grass roots akan terjadi.
Kemudian bagaimana dengan kenyataan di Indonesia ? banyakkah guru-guru yang mempunyai kemauan dan kemampuan seperti ini ? Baiklah sekarang jangan terlalu hiraukan keadaan itu secara berlebihan, yang terpenting adalah kita harus mulai memahami bagaimana pelaksanaan pendekatan grass roots ini dilakukan. Ada beberapa langkah penyempurnaan kurikulum yang dapat kita lakukan manakala menggunakan pendekatan grass roots ini.
Pertama, menyadari adanya masalah. Pendekatan grass roots biasanya diawali dari keresahan guru tentang kurikulum yang berlaku. Misalnya dirasakan ketidakcocokan penggunaan strategi pembelajaran, atau kegiatan evaluasi seperti yang diharapkan, atau masalah kurangnya motivasi belajar siswa sehingga kita merasa terganggu, dan lain sebaginya. Pemahaman dan kesadaran guru akan adanya suatu masalah merupakan kunci dalam grass roots. Tanpa adanya kesadaran masalah tidak mungkin grass roots dapat berlangsung. Kedua, mengadakan refleksi. Kalau kita merasakan adanya masalah, maka selanjutnya kita berusaha mencari penyebab munculnya masalah tersebut. Refleksi dilakukan dengan mengkaji literatur yang relevan misalnya dengan membaca buku, jurnal hasil penelitian yang relevan dengan latar belakangnya. Dengan pemahaman tersebut, akan memudahkan bagi guru dalam mendesain lingkungan yang dapat mengaktifkan siswa memperoleh pengalaman belajar.
Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa. Pertama, pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setiap tujuan akan menentukan pengalaman pembelajaran. Kedua, setiap penglaman belajar harus memuaskan siswa. Ketiga, Setiap rancangan pengalaman siswa belajar sebaiknya melibatkan siswa. Keempat, mungkin dalam satu penglaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda. Terdapat beberapa bentuk pengalaman belajar yang dapat dikembangkan, misalkan pengalaman belajar untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa, pengalaman belajar untuk membantu siswa dalam mengumpulkan sejumlah informasi, pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan sikap sosial, dan pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan minat.
Untuk lebih merinci, penulis akan mengulas kembali secara rinci, bahwa inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass roots karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah : Perencana, pelaksana, penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dari beberapa kajian di atas, maka dapat ditemukan ciri-ciri dari grass roots model yaitu :
1.Guru memiliki kemampuan yang professional.
2.Keterlibatan langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan dan penentuan evaluasi.
3.Muncul konsensus tujuan, prinsip – prinsip maupun rencana – rencana diantara para guru.
4.Bersifat desentralisasi dan demokratis.

Pengembang Kurikulum
Perlu disadari bahwa kurikulum itu senantiasa berkembang secara dinamis, atau bahkan bisa juga dilakukan perubahan dalam rangka penyempurnaan kurikulum itu sendiri, tujuannya agar kurikulum yang ada tersebut dapat menjawab persoalan dan perkembangan zaman yang ada diwaktu itu dan masa datang. Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi yaitu administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru dan orang tua murid serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terus menerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum adalah administrator, guru dan orang tua.



1. Peranan para administrator pendidikan :
Para administrator pendidikan terdiri atas :
a.Direktur bidang pendidikan
b.Kepala pusat pengembangan kurikulum
c.Kepala kantor wilayah
d.Kepala kantor kabupaten, kecamatan
e.Kepala Sekolah
Peran para administrator ditingkat pusat (direktur dan kepala pusat) yaitu :
Menyusun dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum. Atas dasar dari peranan para administrator pusat, maka para administrator daerah (kepala kantor wilayah, kabupaten, kecamatan, kepala sekolah) mengembangkan kurikulum sekolah bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Para kepala sekolah ini sesungguhnya yang secara terus-menerus terlibat dalam dalam mengembangkan dan mengimplementasi kurikulum, memberikan dorongan dan bimbingan kepada guru-guru. Walaupun dapat mengembangkan kurikulum sendiri, tetapi dalam pelaksanaannya sering harus didorong dan dibantu oleh para administrator.
Administrator lokal harus bekerja sama dengan kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mengkomunikasikan sistem pendidikan kepada masyarakat, serta mendorong pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di kelas. Peranan kepala sekolah lebih banyak berkenaan dengan implementasi kurikulum di sekolahnya. Pimpinan tertinggi di lingkungan sekolah tidak lain adalah kepala sekolah. Kepala sekolah juga mempunyai peranan kunci dalam menciptakan kondisi untuk pengembangan kurikulum di sekolahnya. Ia merupakan figur kunci di sekolah, kepemimpinan kepala sekolah sangat mempengaruhi suasana sekolah dan pengembangan kurikulum.



2. Peranan para ahli
Mengacu pada kebijaksanaan yang ditetapakan pemerintah, maka peranan para ahli yakni :
a.Memberikan alternatif konsep pendidikan dan model kurikulum yang dipandang paling sesuai dengan keadaan dan tuntuatan di atas.
b.Berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum baik dalam tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, lokal bahkan sekolah seperti:
c.Memilih materi bidang ilmu yang mutakhir dan sesuai dengan pengembangan tuntutan masyarakat.
d.Menyusun materi ajaran dalam sekuens yang sesuai dengan struktur keilmuan, tetapi sangat memudahkan para siswa untuk mempelajarinya.

3. Peranan Guru.
Guru merupakan pihak yang telibat secara langsung dalam implementasi kurikulum di sekolahnya. Oleh karena itu guru memegang peranan yang sangat penting baik di dalam perencanaan maupu pelaksanaan kurikulum. Beberapa peran guru dalam upaya menyukseskan implementasi kurikulum adalah sebagai berikut :
a.Sebagai perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya.
Sebagai penerjemah kurikulum yang datang dari atas.
b.Mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya.
Melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum.
c.Menilai perilaku dan prestasi belajar siswa si kelas.
d.Menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih luas.
e.Sebagai seorang komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat belajar, pencoba, penyusunan organisasi, manager sistem pengajaran.
f.Pembimbing baik di sekolah maupun di masyarakat dalam hubungannya dengan pelaksanan pendidikan seumur hidup.
g.Sebagai pelajar dalam masyarakatnya.
h.Menciptakan kegiatan belajar mengajar, situasi belajar yang aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu mendorong kreativitas anak.

4. Peranan orang tua murid.
Peranan orang tua murid dalam pengembangan kurikulum yaitu :
Melalui pengamatan dalam kegiatan belajat di rumah, laporan sekolah, partisipasi dalam kegiatan sekolah dalam bentuk pelaksanaan kegiatan belajar yang sewajarnya, minat yang penuh, usaha yang sungguh-sungguh. Kegiatan –kegiatan tersebut akan memberikan umpan balik bagi penyempurnaan kurikulum yang sedang dilaksanakan.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.






KESIMPULAN


Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah dibahas pada bagian pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi.
Model pengembangan Grass roots ini merupakan inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass roots karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah. Pendekatan grass roots hanya mungkin terjadi manakala guru memiliki sikap professional yang tinggi disertai kemampuan yang memadai. Sikap professional itu biasanya ditandai dengan keinginan untuk mencoba dan mencoba sesuatu yang baru dalam upaya untuk meningkatkan kinerjanya.
Seorang professional itu akan selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya dengan menggali sumber-sumber pengetahuan. Ia juga akan selalu mencoba dan mencoba untuk mencapai kesempurnaan. Ia tidak akan puas dengan hasil yang minimal. Ia akan bisa tenang manakala hasil kinerjanya sesuai dengan target maksimalnya. Dalam kondisi yang demikianlah grass roots akan terjadi.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA



Dacholfany, M Ihsan, Model – Model Pengembangan Kurikulum (Artikel Jurnal), Dosen Univ. Imam Al-Ghozali Yayasan Tunas Islam, Jakarta.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/model-pengembangan- kurikulum, Akses 20 Januari 2011.

Sukmadinata, Nana Syaodih, 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, Bandung, 2002.

Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran, Kencana Prenada media group, Jakarta, 2010.

Makaalah: Konsep Islam Tentang Etika Profesional dalam Pendidikan

KONSEP ISLAM TENTANG
ETIKA PROFESIONAL DALAM PENDIDIKAN
Oleh: Imadi (NPM. 2010 – 40 – 051)



I. PENDAHULUAN
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manusia itu sendiri menggunakan dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Sekaitan dengan hal di atas dalam dunia pendidikan pada dasarnya sebagai suatu instrument strategis pengembangan potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Potensi yang dikembangkan itu akan diharapkan mampu menjadi karakteristik spiritual manusia. Dengan karakteristik itu manusia harus menjadi makhluk religius. Dalam menggali konsep pendidik yang ditawarkan oleh ulama muslim dan/atau ilmuwan Barat, perlu dipertimbangkan adalah muatan moral dan rasionalnya. Mengadopsi konsep apa pun (termasuk pendidik) yang hanya bermuatan moral, akan berimbas pada tumpulnya sebuah daya kreativitas rasional dalam pendidikan (Islam). Begitu juga sebaliknya, mengadopsi pemikiran yang hanya bermuatan rasional tanpa mempertimbangkan muatan moralnya, akan berimplikasi pada keringnya perilaku bermoral, dan ini akan berefek pada krisis sosial.
Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan (balancing) antara keputusan moral, etika dan rasional dalam pendidikan (Islam). Dari situ, menarik untuk menelaah konsep (pendidik) dalam pendidikan Islam yang memang secara esensial mempertimbangkan aspek moral, etika dan rasional. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik merupakan orang tua; pewaris para Nabi; pembimbing; figur sentral; motivator (pendorong); orang yang semestinya memahami tingkat kognisi (intelektual) peserta didik, dan teladan bagi peserta didik. Islam juga memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan, Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life education).
Sehubungan dengan hal di atas, maka pada makalah ini akan penulis menguraikan bagaimana konsep Islam berbicara tentang etika professional dalam pendidikan, sesuai dengan judul makalah yaitu “Konsep Islam Tentang Etika Profesional dalam Pendidikan”

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan dengan sebutan moral, yang juga berasal dari bahasa Yunani, berarti kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral pelaksanaannya dalam kehidupan. Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.


Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami sebagai teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai yang baik dan yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam pada batas tertentu ialah aliran Mu’tazilah.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik jika sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek itu bisa berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy’ariyah. Menurut faham Asy’ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa menusia itu bagaikan ‘anak kecil’ yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
2. Etika Dalam Pandangan Islam
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam Islam. Sedangkan telah disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mu’tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy’ariyah. Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam al-Qur’an pesan etis selalu saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fitrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik. Sekedar sebagai perbandingan Alex Inkeles menyebutkan mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah lampau; rasa ketepatan waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan keyakinan pada keadilan yang biasa diratakan.
Selanjutnya, berkaitan dengan etika (sikap, perilaku, dan tanggung jawab) seorang pendidik profesional dalam menjalankan tugasnya, al-Ghazali mengemukakan beberapa hal yang harus dimiliki dan dilakukan seorang pendidik. Hal ini sebagai landasan etika-moral bagi para pendidik (guru/dosen/seprofesinya). Gagasan al-Ghazali tersebut antara lain sebagai berikut :
(Pertama) Pendidik merupakan Orang Tua bagi Peserta Didik. Seorang pendidik harus memiliki kasih sayang kepada peserta didiknya sebagaimana kasih sayangnya terhadap anaknya sendiri, jika ia ingin berhasil dalam menjalankan tugasnya. Sebuah hadits menyatakan: “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seperti seorang ayah bagi anaknya”. Hadits tersebut menuntut seorang pendidik agar tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi harus bertanggung jawab penuh seperti orang tua kepada anak. Jika setiap orang tua memikirkan masa depan anaknya, bagaimana anaknya besok hidup, maka pendidik pun harus memikirkan masa depan peserta didiknya. Sayangnya, interaksi belajar antara pendidik dan peserta didik saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak. Pendidik sering tidak bisa tampil sebagai figur yang pantas diteladani oleh peserta didik, apalagi sebagai orang tua.
Oleh karena itu, seringkali pendidik dipandang dan dinilai oleh peserta didik sebagai orang lain yang mengajar dan kemudian menerima bayaran. Kalau demikian, bagaimana pendidik akan bisa mengarahkan, membimbing, serta memberi petunjuk kepada peserta didiknya menuju pendewasaan diri dan kehidupan yang mandiri. Dari itu, waspadalah wahai para pendidik, perankanlah profesi anda seperti orang tua yang bertanggung jawab penuh kepada anak, jangan sia-siakan tugas mulia anda dan jangan lengah dalam menanamkan nilai-nilai etik-agamis kepada parapeserta didik. Patut direnungkan apa yang dikatakan al-Ghazali; “Hak guru (pendidik) atas muridnya (peserta didik) lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua sering hanya menjadi penyebab adanya anak sekarang di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal”.
(Kedua) Pendidik sebagai Pewaris Para Nabi. Dalam menjalankan tugasnya, pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi, yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT. dan bukan mengejar materi. Para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan yang kontra dengan al-Ghazali dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul SAW. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah SAW; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas yang bernilai ibadah yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
(Ketiga) Pendidik sebagai pembimbing bagi peserta didik. Di samping dengan rasa ikhlas dan kasih sayang, pendidik harus membimbing peserta didik dengan sabar dan tekun. Pendidik harus memberikan pengarahan kepada peserta didik agar mempelajari ilmu secara sistematis, setahap demi setahap. Hal ini karena manusia tidak bisa merangkum ilmu secara serempak dalam satu masa perkembangan. Di samping itu pendidik jangan lupa memberi nasihat kepada peserta didik bahwa menuntut ilmu itu bukan dengan niat mencari pangkat dan kemewahan dunia, namun menuntut ilmu hakikatnya adalah untuk mengembangkan ilmu itu sendiri, menyebarluaskannya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Hal itu sebagaimana pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya seorang pendidik tidak lupa memberikan nasihat kepada murid (peserta didik), yakni dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat sebelumnya; dan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”
(Keempat) Pendidik sebagai Figur Sentral bagi Peserta Didik. Al-Ghazali memberi nasihat kepada para pendidik agar memposisikan diri sebagai teladan dan pusat perhatian bagi peserta didiknya. Ia harus memiliki kharisma yang tinggi. Ini merupakan faktor penting bagi pendidik untuk membawa peserta didik ke arah yang dikehendaki. Di samping itu, kewibawaan juga menunjang perannya sebagai pembimbing, penuntun, dan penunjuk jalan bagi peserta didik. Disamping pendidik sebagai orang tua peserta didik dan sifat kasih sayang yang dimilikinya, adalah bijaksana apabila pada saat tertentu pendidik juga sebagai teman belajar peserta didik sehingga terjadi proses dialogis. Hal ini dilakukan agar tidak salah arah dalam memberikan bimbingan ke arah terwujudnya cita-cita pendidikan yang dikehendaki.
(Kelima) Pendidik sebagai motivator (pendorong) bagi peserta didik.
Sesuai dengan pandangannya bahwa manusia tidak bisa merangkum pengetahuan sekalaigus dalam satu masa, al-Ghazali menyarankan kepada para pendidik agar bertanggung jawab kepada satu bidang ilmu saja. Walaupun demikian, al-Ghazali mengingatkan agar seorang pendidik tidak mengecilkan, merendahkan dan meremehkan bidang studi lain. Sebaliknya, ia harus memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkaji berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kalaupun harus bertanggung jawab kepada berbagai bidang ilmu pengertahuan, pendidik haruslah cermat dan memperhatikan kemampuan peserta didik, sehingga bisa maju setingkat demi setingkat (steep by steep).
Dengan demikian, saran al-Ghazali agar pendidik selalu memperhatikan kemampuan peserta didik sangat perlu untuk diindahkan. Menurut al-Ghazali, Seorang pendidik sebagai penanggung jawab pada salah satu bidang studi tidak boleh menjelek-jelekkan mata pelajaran atau bidang studi yang lain, sebab hal itu merupakan budi tercela bagi pendidik dan harus dijauhi. Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang pendidik yang bertanggung jawab pada satu bidang studi membuka jalan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mempelajari bidang studi yang lain. Kalau ia bertanggung jawab dalam berbagai bidang studi, hendaklah menjaga kemampuan peserta didik setingkat demi setingkat.
(Keenam) Pendidik seharusnya memahami tingkat kognisi (Intelektual) Peserta Didik. Menurut al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan perkembangan intelektualnya. Anak berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6-9 tahun, anak berusia 6-9 tahun berbeda dengan anak usia 9-12 tahun, dan seterusnya. Atas dasar inilah al-Ghazali mengingatkan agar pendidik dapat menyampaikan ilmu dalam proses belajar mengajar dengan cermat dan sesuai dengan perkembangan tingkat pemahaman peserta didik. Dari itu metode yang digunakan harus tepat dan sesuai. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Pendidik hendaklah menyampaikan bidang studi yang sesuai menurut tenaga pemahaman peserta didik”. Jangan memberikan bidang studi yang belum saatnya untuk diberikan, nanti peserta didik lari atau otaknya tumpul.
(Ketujuh) Pendidik sebagai teladan bagi peserta didik. Dalam rangka mengajak manusia ke jalan yang benar, Rasulullah dibekali oleh Allah akhlak yang mulia sehingga beliau menjadi contoh yang baik (teladan) bagi setiap umat manusia. Apa yang keluar dari lisannya sama denga apa yang ada di dadanya, sehingga perbuatannya pun sama dengan perkataannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik juga harus demikian dalam mengamalkan ilmunya, tindakannya harus sesuai dengan apa yang telah dinasihatkan kepada peserta didik. Ajaran fundamental yang harus diberikan adalah yang berkaitan dengan etika, moral (akhlak), dimana semuanya terhimpun dalam ajaran agama.
Dengan demikian yang disebut dengan etika menurut konsep Islam adalah sebagai perangkat nilai yang berisikan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Allah (iman), manusia dan alam semesta dari sudut pandang historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk mengabdi pada Allah SWT, di sinilah peran orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan damai sebagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).

3. Mengenal Konsep Profesionalisme
Dalam Kamus Besar Indonesia, profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional. Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional. Artinya sebuah term yang menjelaskan bahwa setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya atau profesinya.
Menurut Supriadi, penggunaan istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, ada yang sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya. Konsep profsionalisme, seperti dalam penelitian yang dikembangkan oleh Hall, kata tersebut banyak digunakan peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang profesinya, yang tercermin dari sikap dan perilaku mereka. Konsep profesionalisme dalam penelitian Sumardi, dijelaskan bahwa ia memiliki lima muatan atau prinsip, yaitu:
Pertama, afiliasi komunitas (community affilition) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal atau kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi. Kedua, kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand) merupakan suatu pendangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus.
Ketiga, keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan “orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. Keempat, dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan tetap untuk melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik dipandang berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.
Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan ruhani dan setelah itu baru materi, dan yang kelima, kewajiban sosial (social obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Kelima pengertian di atas merupakan kreteria yang digunakan untuk mengukur derajat sikap profesional seseorang. Berdasarkan defenisi tersebut maka profesionalisme adalah konsepsi yang mengacu pada sikap seseorang atau bahkan bisa kelompok, yang berhasil memenuhi unsur-unsur tersebut secara sempurna.


Selanjutnya akan dibahas mengenai profesional, dalam rangka untuk mengerti hakikat profesional, ada beberapa kata kunci yang disimak yaitu profesi, profesionalsme dan profesional. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak dsiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu.
Profesionalisme adalah jabatan atau pekerjaan yang dilandasi kompetensi dibidangnya, berupa pengetahuan, ketrampilan dan keahlian khusus, sebagai kualitas tindak tanduk yang mencermnkan tenaga profesional. Menurut Ahmad Tafsir profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang yang profesional adalah orang memiliki profesi. Profesional menunjuk pada dua hal, pertama orang yang menyandang suatu profesi, kedua penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berkaitan langsung dengan ketrampilan mengajar, penguasaan terhadap materi pelajaran dan penguasaan penggunaan metodologi pengajaran serta termasuk didalam kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah, inilah keahlian khusus yang harus dimiliki oleh guru yang profesional yang telah menempuh pendidikan khusus keguruan.
Dengan demikian profesional dalam Islam khususnya dibidang pendidikan, seseorang harus benar-benar mempunyai kualitas keilmuan kependidikan dan kenginan yang memadai guna menunjang tugas jabatan profesinya, serta tidak semua orang bisa melakukan tugas dengan baik. Apabila tugas tersebut dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:

إِذَا وُسِدًا ْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَةُ. (رُوَاهُ الْبُخَارِيْ)
”Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”.

Firman Allah SWT QS. al-Isra’: 84

          
Artinya :
“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.

4. Eksplorasi Singkat Tentang Pendidikan (Islam)
Secara sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sementara pendapat lain mengatakan, bahwa pendidikan mencakup berbagai dimensi, antara lain akal, perasaan, kehendak, dan seluruh unsur atas kejiwaan manusia serta bakat-bakat dan kemampuannya. Oleh karena itu pendidikan merupakan usaha pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menuju kesempurnaan.
Bagaimana dengan pendidikan Islam? Menurut Abudin Nata, pendidikan Islam adalah bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh pendidik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, rasa, intuisi, dan sebagainya) serta raga peserta didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.
Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih tehnis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam. Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad SAW. Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”
Paradigma pendidikan Islam tidak pernah memisahkan antara akal dan jiwa. Menurut Malik Fadjar (1995), dalam pendidikan Islam, Islam terkadang ditempatkan sebagai sumber nilai pendidikan, atau terkadang dijadikan bidang studi, dan/atau dijadikan sebagai keduanya; disamping sebagai sumber nilai juga sebagai bidang studi yang dipelajari dalam proses pendidikan. Dengan demikian, maka pendidikan Islam selalu mendasarkan konsep-konsepnya kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits (dan mungkin juga pemikiran para ulama terutama Muslim).
Konsep pendidik yang dirumuskan al-Ghazali ini tampaknya masih relevan untuk diaplikasikan dalam kegiatan proses belajar mengajar di masa sekarang tentunya dengan berbagai pengolahan, karena konsep tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas pendidik dan peserta didik, juga akan mendorong terciptanya akhlak yang mulia di kalangan peserta didik, sebagaimana hal yang demikian itu menjadi cita-cita pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan nasional bahkan dunia umumnya.


Berdasarkan beberapa pengertian diatas, terdapat perbedaan antara pengertian pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Pendidikan secara umum merupakan proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad. Jadi, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-ukuran Islam.






















KESIMPULAN

Berdasarkan uraian sebagaimana telah bahas pada bagian pembahasan makalah ini, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa yang disebut dengan etika menurut konsep Islam adalah sebagai perangkat nilai yang berisikan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Allah (iman), manusia dan alam semesta. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Islam menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk mengabdi pada Allah SWT. Dan membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).
Profesional dalam Islam khususnya dibidang pendidikan, diartikan bahwa seseorang harus benar-benar mempunyai kualitas keilmuan kependidikan dan kenginan yang memadai guna menunjang tugas jabatan profesinya, serta tidak semua orang bisa melakukan tugas dengan baik. Apabila tugas tersebut dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:

إِذَا وُسِدًا ْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَةُ. (رُوَاهُ الْبُخَارِيْ)
Artinya:
”Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”.
Tentang pendidikan secara umum diartikan sebagai proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad. Jadi, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-ukuran Islam.
DAFTAR PUSTAKA



Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003).

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, Wacana Ilmu 1998).

Eddy Wibowo, Mungin, Paradigma Bimbingan dan Konseling, (Semarang; DEPDIKNAS, 2001).

http://www.hardja-sapoetra.co.cc/2010/03/aksiologi-etika-dan-estetika-filsafat. html, (di akses 25 januari 2011).

Hidayat,Qomarudin, Etika Dalam Kitab Suci Dan Relevansinya Dalam Kehidupan
Jurnal Manajemen dan Sistem Informasi, (Semarang : Undip, Vol. 1- 08 - 2002).

Modern Studi Kasus Di Turki, (Jakarta : Paramadina), dalam kumpulan artikel.

Nata, Abuddin, Metode Studi Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010).

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III.

Saefuddin Anshari, Endang, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Usaha Enterprise, Jakarta: 1976.

Supriadi, Dedi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998).
Sri Guntur,Yohanes, et al., Analisis Pengalaman Terhadap Profesionalisme dan Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Hasil Kerja, Jurnal Manajemen dan Sistem Informasi Undip, Semarang, Vol. 1 Agustus 2002.
Sadulloh,Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. (Bandung : Penerbit Alfabeta).

Sairin, Sjafri, Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Tenaga Profesi [LPTP], 2003).

Sumardi, Sumardi, Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme Serta Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja, Tesis, Undip, 2001.

Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta : Sipress 1994).

Yayasan Paramadina, www.paramadina.com, (diakses tanggal 25 Januari 2011).

Artikel "Education For All" Strategi Pemerataan Pendidikan Di Indonesia

“Education For All”
Strategi Pemerataan Pendidikan Indonesia
Penulis: IMADI, S. Ag
(Guru SMPN 2 Cilegon - Mhs. Beasiswa Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung)



Indonesia adalah negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri 13.000 pulau. Kebhinekaan yang terdiri 300 suku bangsa, dengan 200 bahasa yang berbeda. Begitu luas dan kaya negeri ini terhampar, bahkan kesuburan tananhnya bisa dianalogikan kayu dan batu bisa jadi tanaman. Belum lagi hutan dan kekayaan bahari yang melimpah, sampai-sampai kita lengah menjaga dan melindunginya. Namun yang harus diingat adalah bahwa dalam setiap jengkal kekayaan, kedaulatan, kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut terdapat hak yang harus dipenuhi, yaitu pendidikan untuk semua (education for all) Kemanusiaan harus dijunjung, hak asasi dihargai, dan keadilan diwujudkan. Pendidikan mengambil peran penting dalam membangun kehidupan berbangsa saat ini.
Khazanah kebudayaan Indonesia juga memiliki kekayaan ragam dengan corak karakter kebangsaan. Kebudayaan Indonesia ini dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan local yang telah ada sebelum terbentuknya Indonesia pada 1945. Seluruh kebudayaan local yang berasal dari suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia. Simbolisasi tersebut biasanya digambarkan dalam lagu daerah, kerajinan tangan, tarian, dan kekhususan tempat atau lokasi daerah seperti rumah adat dan potensi pariwisata daerah. Kekayaan budaya tersebut harus dilestarikan sebagai jalan menjadi bangsa yang berkarakter.
Oleh karena itu, konsepsi pendidikan selanjutnya harus dikombinasikan dengan bauran budaya. Alasan paling rasional adalah bahwa kebudayaan suatu bangsa tidak pernah statis. Ia senantiasa dinamis dan beradaptasi secara dialektis dan kreatif dengan dinamika masyarakat. Adakalnya ia memengaruhi, juga sebaliknya, dipengaruhi masyarakat. Kebudayaan mengalir dalam gerak saling – pengaruh yang tanpa akhir dalam denyut nadi kehidupan. Terkadang arusnya kecil, terkadang besar, bahkan ia bisa menjadi gelombang besar yang memengaruhi kesadaran dan laku kita. Kalau kini orang berbicara tentang krisis masyarakat yang mendalam, bukankah ia juga berbicara tentang krisis budaya, krisis nilai, krisis kehidupan itu sendiri. Pentingnya pendidikan budaya sama pentingnya seperti membangun karakter kebangsaan.
Disisi lain, salah satu hal yang menjadi ironi dunia pendidikan sekarang adalah masalah pemerataan akses pendidikan di Indonesia yang belum signifikan. Dari laporan UNDP menunjukkan angka Human Development Index (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indicator pemerataan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Angka putus sekolah masih tinggi. Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (KPA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Penambahan jumlah tersebut disebabkan keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk, dan tingkat kemiskinan yang terus bertambah kurang lebih 25 % dari jumlah penduduk Indonesia.
Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat tinggi. Pada 2006 jumlahnya masih sekitar 9,7 juta anak, namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Dapat dibayangkan, gairah belajar dan harapan 12 juta anak Indonesia terpaksa dipadamkan. Angka putus sekolah tersebut merupakan bukti apatis pemerintah terhadap dunia pendidikan. Hal itu sebenarnya dapat diatasi jika pemenuhan anggaran pendidikan 20 % - sebagaimana diamanatkan pasal 31 ayat 4 UUD (Amandemen Keempat)- dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan.
Belum lagi nasib pendidikan di daerah pedalaman. Masih banyaknya sekolah yang tidak memiliki guru dan sarana belajar yang memadai, misalnya akibat runtuhnya bangunan sekolah yang tidak layak, para siswa menjadi trauma untuk duduk dan belajar kembali di sekolah. Fasilitas pendidikan yang dan kualitas guru yang terbatas telah mengubur impian dan cita-cita anak bangsa untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Selain itu masih tertanam anggapan dari lingkungan masyarakat tertentu yang menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Kira-kira tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami dengan realita “Laskar Pelangi”, dengan keterbatasan pendidikan mereka berjuang mewujudkan mimpi mengenyam pendidikan.
Disisi lain, Menurut F.D. Rosevelt bahwa dalam New Deal, sekolah merupakan hak yang menyeluruh. Artinya setiap orang berhak atas pendidikan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Selain itu, pendidikan juga memegang peran yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan : sosial, ekonomi, politik, budaya. Dengan pendidikan sebuah bangsa bisa bermartabat, mandiri, dan kompetitif.
Bila pemerataan akses pendidikan ke berbagai daerah pelosok tidak signifikan, pembangunan manusia dengan karakter budaya tertentu tidak akan menyentuh aspek identitas yang akan mengarahkan kita pada esensi nasionalisme. Lebih dari itu, bangsa kita seperti lupa dan tidak menyadari karakternya sendiri.

Cultural Building of Education
Pendidikan seharusnya memaslahatkan manusia dengan pilar-pilar kompetensi kehidupan. Namun karena aksesnya tidak merata, masih banyak warga masyarakat yang belum termaslahatkan secara ekonomi dan sosial dalam kehidupan bernegara baik sebagai konsepsi politik dan bangsa maupun sebagai konsepsi budaya. Cultural Building of Education dengan basis kedaulatan merupakan suatu strategi akses pemerataan pendidikan yang terkonsentrasi pada daerah terpencil, minim akses, dan sarana pendidikan dengan kekuatan budaya yang dimiliki. Karena pendidikan adalah hak untuk semua dan budaya adalah karakter dari sebuah bangsa. Diharapkan muncul benih-benih generasi yang dapat mengemban masa depan seperti komunitas “Laskar Pelangi” yang penulis analogikan sebagai kebangkitan pendidikan daerah terpencil.
Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting, yaitu equality dan equity. Equality mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan dengan kesempatan yang sama.
Coleman dalam bukunya Equality of Educational Oppurtunity mengemukakan konsep pemerataan, yakni pemerataan aktif dan pemerataan pasif. pemerataan aktif adalah bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid mendaftar agar memperoleh hasi belajar setinggi-tingginya. Sedangkan pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah. Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.
Dengan demikian, dimensi pemeratan pendidikan mencakup equality of access, equality of survival, equality of output, dan equality of outcome. Untuk sebuah perwujudan education for all perlu dilakukan strategi perancangan penguatan (reinforcement) sampai ke tingkat daerah terpencil. Hal ini meliputi : Pertama, otonomi pendidikan. Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan, akses pendidikan akan lebih merata. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 ; “Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, termasuk prioritas pendidikan”.
Dalam otonomi pendidikan yang optimal akan tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) dengan pengembangan infrastruktur sosial yang berangkat dari unsure kekeluargaan di tengah masyarakat. Bentuknya bisa saja informal, dikembalikan kepada kearifan lokal dan budaya yang dimiliki masyarakat setempat, dengan potensi dan motivasi menuju masyarakat edukatif. Selain itu, hal lain yang penting ialah memaksimalkan pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, seperti peningkatan guru di daerah pedalaman dengan beasiswa dan bantuan buku gratis.
Kedua, menerapkan sosiologi pendidikan daerah yang integral. Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosial dan kultural, proses pengembangan kepribadian, dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan. Dengan penerapan sosiologi pendidikan yang integral, dihasilkan suatu iklim yang menempatkan pendidikan sebagai pusat perhatian dalam lapisan masyarakat. Sehingga, kebutuhan masyarakat akan pendidikan dapat tersalurkan.
Selain itu paradigma yang biasanya muncul dari education for all akan berubah menjadi education from all untuk kebudayaan. Karena masyarakat akan mencoba untuk memandirikan dirinya dengan penghidupan yang berbasis dari pendidikan. D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisis aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya, akan lebih maksimal dan berkarakter bila pendidikan kembali pada kekuatan budaya.
Ketiga, merancang arsitek pendidikan pembaruan dengan Dostoyevsky ala Indonesia. Makna Dostoyevsky dikutip dari buku Dostoyevsky, Menggugat manusia modern, karya Henry S. Sabari, adalah memanusiakan manusia dengan cinta kasih, pendidikan harusnya menggunakan hati, yang berbasis dari kebudayaan kita. Aliran ini berasal dari Rusia, yang awalnya menentang hakikat kehidupan manusia yang dijadikan sebagai benda. Di sini ada kesamaan bahwa pendidikan bertujuan memanusiakan manusia. Lebih dari itu, penulis mengorelasikan hal teersebut seperti konsep Paolo Freire dengan pendidikan kritis yang memerdekakan. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan. Lewat jalur ini kita dapat melihat bahwa kebudayaan kita mamanusiakan kita dengan identitas.
Dalam paparan tulisan ini, penulis mengharapkan dari ketiga solusi tadi dapat berjalan seimbang, selaras, dan saling melengkapi. Semoga menjadikan Indonesia lebih bergairah dengan pendidikan, dan mewujudkan pendidikan dari semua (education for all) untuk negeri dan kemandirian bermartabat bangsa dengan mematri kebudayaan dalam pola pikir pembangunan berkelanjutan.

Artikel Pandangan Teologis Terhadap bencana di Negeri Samurai

PANDANGAN TEOLOGI
TERHADAP BENCANA DI NEGERI SAMURAI
Oleh: Imadi, S. Ag (Guru SMP Negeri 2 Cilegon -
Mahasiswa S2 IAIN Raden Intan Lampung)
e-mail: imadiadi@yahoo.com



Tiga bencana berturut-turut menghampiri Jepang negeri yang dalam sejarah terkenal dengan kestaria-kesatria yang menjunjung tinggi jalan samurai, senjata khas ksatria Jepang. Jumat (11/03) gempa dahsyat 8,9 SR yang mengguncang negeri itu ternyata diikuti dengan gelombang tsunami hingga 10 meter tingginya yang menghantam sepanjang bibir pantai wilayah Jepang yang memang berbentuk kepulauan. Seolah belum cukup kini bahaya radiasi nuklir di negeri yang pernah merasakan sejarah dihujani bom atom kekuatan dashyat pada perang Dunia ke II lalu menghantui setelah beberapa reaktor nuklir di PLTN Fukushima mengalami kegagalan pendinginan yang menyebabkan kebocoran bahan radioaktif.
Rentetan bencana itu oleh sebagian besar masyarakat dunia kadang dilihat sebatas bencana. Dalam pengertian, tidak dilihat sebagai konsekuensi dari perbuatan manusia, melainkan atas kehendak Tuhan. Dalam istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai masyarakat agamis yang menggariskan sesuatu berdasarkan paksaan Tuhan (jabariah). Mereka meyakini bahwa Tuhan murka kepada penduduk sebuah negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sangat rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa.
Keyakinan semacam itu jelas berbahaya karena Tuhan akan dipersalahkan sebagai biang dari segala bencana di dunia. Dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 2003: 151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God) karena terjadinya bencana. Padahal, menurut Leibniz, Tuhan tak patut dipersalahkan, bahkan kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan di dunia. Manusialah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).

Pergeseran teologi
Pandangan teologi yang memasrahkan segalanya pada kehendak Tuhan mestinya diubah atau teologi yang lebih menekankan pada kehendak bebas manusia (qadariah) sebetulnya lebih relevan untuk menjelaskan fenomena, seperti bencana alam. Relevan bukan sebatas penjelasannya yang adil dan bijaksana dalam menempatkan kodrat manusia (theodice) yang dihubungkan dengan alam atau lingkungannya, tetapi dengan keberadaan musibah itu sendiri.
Teologi semacam ini juga relevan sebab dapat menghindarkan manusia dari mitologi-mitologi sosial yang biasanya merebak dan akhirnya membawa pada kesesatan dan kegelapan alam pikiran manusia. Teologi itu pada prinsipnya ingin menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya. Dia juga harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang sudah diperbuatnya. Maka itu, jika ada fenomena bencana alam, sebetulnya itu merupakan cermin seakan-akan mempertanyakan sudah berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini.
Berbuat dan bertindak bukan dalam pengertian manusia telah melakukan dosa-dosa, kemudian Tuhan murka dan menimpakan bencana itu. Tapi, lebih karena tindakan dan perbuatan manusia yang dilakukan atas alam dan lingkungan, seperti aktivitas penambangan yang eksploitatif, pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup masif, penggundulan hutan, dan sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan itulah yang kemudian lambat laun akan membuat alam menjadi murka sehingga fenomena bencana alam tak bisa terhindarkan.


Hal itu sesungguhnya sesuai dalam kitab suci yang secara bebas berbunyi, "Kerusakan di darat dan di laut yang tampak disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka, sebagai akibat dari perbuatannya (datanglah bencana) supaya manusia merasakan sebagian dari ulah dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Alquran 30: 41).
Jelaslah bahwa fenomena bencana alam tak lain dan tak bukan karena diakibatkan oleh kita sebagai manusia. Banyak dari kita yang tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan alam dan lingkungan. Berhentilah kita menyalahkan sesuatu yang ada di luar kita, seperti Tuhan. Bahkan, menurut Ignaz Goldziher (1991), karena ulah tangan manusia, manusia pun sesungguhnya dilarang untuk menyalahkan setan sekalipun. Setan menolak dimintai pertanggungjawabannya pada hari akhir nanti karena kesalahan dan dosa perbuatan manusia.

Membangun teologi bencana
Bumi merupakan ciptaan Tuhan yang harus dikelola manusia secara baik dan benar. Tak ada satu pun manusia yang sesungguhnya berhak mengklaim memiliki barang sejengkal pun terhadap bumi karena bumi ini adalah milik-Nya. Oleh karena itu, tak dibenarkan jika manusia menjadi arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi. Arogansi dalam pengertian, misalnya, ketika manusia merasa memiliki jengkal tanah di bumi, lalu dia berbuat seenaknya: mengebor, mengeruk, mengeksploitasi, dan tanpa memikirkan akibatnya. Arogansi lain adalah manusia hidup dengan seenaknya mengotori dan mencemari alam serta lingkungan dengan polusi dan berbagai perbuatan lainnya yang sesungguhnya akan merusak bumi.
Teologi selama ini sangat jarang diperkenalkan oleh para penceramah keagamaan melalui pendekatan yang direlevansikan dengan alam dan lingkungan. Seakan-akan tak ada kaitan antara teologi keagamaan dan alam serta lingkungan. Jarang umat beragama menyentuh persoalan itu. Sesungguhnya, sebagai konsekuensi dari teologi itu, umat beragama semestinya engimplementasikannya ke seluruh aspek dalam kehidupan, tak terkecuali dengan masalah-masalah alam dan lingkungannya (environmentalism).
Jika selama ini kita menganggap diri sebagai kaum beragama, sudah semestinya teologi agama kita tak hanya cukup sampai pada keyakinan. Namun, tak ada aktualisasinya dalam kehidupan. Misalnya, kita mengaku bahwa kita orang beragama, tapi perbuatan kita masih mencemari polusi udara, membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi bumi secara semena-mena, dan sebagainya. Perbuatan dan tindakan itu tidak pantas dilakukan oleh orang beragama. Saatnya kita membumikan teologi agama ini dalam realitas dan praksis kehidupan. Agama yang mengajarkan kebaikan-kebaikan harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya kita akan dapat terhindar dari segala marabahaya.