Rabu, 06 April 2011

Makalah Media dan Teknologi Pendidikan (Smt 2)

PEMANFAATAN MEDIA AUDIO DALAM PEMBELAJARAN
(Karakteristik, Fungsi Dan Peran Pengembangan Media Audio
Dalam Praktek Pembelajaran)



I. PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami revolusi yang sangat cepat, hal ini berdampak signifikan terhadap kemajuan pola pikir masyarakat secara makro. Dalam bidang pendidikan, perubahan-perubahan ini telah memberikan pengalaman baru sekaligus merupakan tantangan bagi para praktisi untuk memanfaatkan perubahan tersebut menjadi salah satu modal penting penyelenggaraan kegiatan pendidikan yang lebih efisien dan efektif. Dalam hal ini, pendekatan teknologis menjadi bagian yang penting dan tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Pendekatan teknologis diperlukan untuk membantu proses pembelajaran guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu menjadi manusia yang berpengetahuan dan berbudi luhur. Di samping itu, kegiatan pembelajaran bertujuan sebagai wahana pelestarian nilai-nilai dan kebudayaan, sehingga setiap individu berkewajiban untuk dapat berperan aktif dalam transformasi nilai demi kemajuan bangsa dan negara. Oleh karenanya, untuk mewujudkan kegiatan pembelajaran yang aktif dan berkualitas, salah satu unsur utama adalah keberadaan guru yang berkualitas pula. Guru yang berkualitas adalah guru yang memilki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional seperti yang tersirat dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Seorang guru, di dalam melaksanakan kompetesi pedagogik dituntut untuk memiliki kemampuan secara metodologis dalam hal perancangan dan pelaksanaan pembelajaran. Termasuk di dalamnya penguasaan, pemanfaatan dan penciptaan media pembelajaran yang sesuai. Penggunaan media pembelajaran disadari akan sangat membantu aktivitas pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa di dalam implementasinya, tidak banyak guru yang mampu merancang, mencipta atau mempergunakan media pembelajaran secara optimal. Di sisi lain, keterbatasan alat-alat teknologi juga menjadi penyebab kurang maksimalnya usaha guru dalam memanfaatkan keberadaan media pembelajaran.
Dengan menggunakan media segala hal yang sulit dalam pembelajaran akan terasa lebih mudah jika menggunakan media. Setiap media tidak bisa digunakan dalam satu studi maka dari itu perlu kiranya kita mengetahui kapan dan bila suatu media dapat dipakai. Untuk dapat menggunakan media tersebut kita terlebih dahulu harus mengetahui dan paham karakteristik dari setiap media. Berangkat dari hal itu, kiranya suatu materi akan lebih efektif disampaikan bila menggunakan media dan waktu penyampaian akan lebih efesien.
Terkait dengan semakin beragamnya media pengajaran, pemilihan media hendaknya memperhatikan beberapa prinsip. Pertama, kejelasan maksud dan tujuan pemilihan media; apakah untuk keperluan hiburan, informasi umum, pembelajaran dan sebagainya. Kedua, familiaritas media, yang melibatkan pengetahuan akan sifat dan ciri-ciri media yang akan dipilih. Ketiga, sejumlah media dapat diperbandingkan karena adanya beberapa pilihan yang kiranya lebih sesuai dengan tujuan pengajaran.
Berkaitan dengan judul makalah yang telah ditugaskan oleh dosen pengampuh, maka pada makalah ini penulis akan menelaah dari aspek pengertian media audio, karakteristik media audio, fungsi dan peran pengembangan media audio dalam praktek pembelajaran.







II. PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN MEDIA AUDIO
Kata “media” berasal dari bahasa Latin “medium” yang berarti “perantara” atau “pengantar”. Lebih lanjut, media merupakan sarana penyalur pesan atau informasi belajar yang hendak disampaikan oleh sumber pesan kepada sasaran atau penerima pesan tersebut. Dalam kegiatan belajar-mengajar, sumber pesan adalah guru dan penerima pesan adalah murid. Sedangkan menurut Gerlach & Ely, bahwa media jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.
Jadi menurut pengertian ini, guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi peserta didik merupakan media. Pengertian ini sejalan dengan batasan yang disampaikan oleh Gagne (1985), yang menyatakan bahwa media merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan peserta didik yang dapat merangsang untuk belajar. Penggunaan media audio dalam pembelajaran sudah cukup lama dilakukan, hal ini disebabkan karena dalam komunikasi sehari-hari pemanfaatan audio menjadi bagian penting. Media audio dapat diartikan sebagai bahan pembelajaran yang disajikan dalam bentuk auditif yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga terjadi proses belajar mengajar. Media Audio (media dengar) adalah media yang isi pesannya hanya diterima melalui indera pendengaran. Dengan kata lain, media jenis ini hanya melibatkan indera dengar dan memanipulasi unsur bunyi atau suara semata.
Suara adalah fenomena fisik yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang berupa sinyal analog dengan amplitude yang berubah secara kontinyu terhadap waktu. Suara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di antaranya berarti bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia, bunyi binatang, ucapan (perkataan), dan bunyi bahasa (bunyi ujar). Dari itu, dilihat dari sifat pesan yang diterima, media audio ini bisa menyampaikan pesan verbal maupun non verbal. Pesan verbal berupa bahasa lisan atau kata-kata, sedangkan pesan non verbal berwujud bunyi-bunyian dan vokalisasi, seperti gerutuan, gumam, musik, dan lain-lain.
Penulis berpendapat berdasarkan batasan-batasan mengenai media seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa media audio dalam pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut SOFTWARE dan HARDWARE yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar kepada (individu atau kelompok), yang disajikan dalam bentuk auditif yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga terjadi proses belajar mengajar (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.

2. KARAKTERISTIK MEDIA AUDIO
Media audio memiliki karakteristik atau ciri setidak sebagai berikut: mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu (mudah dipindahkan dan jangkauannya luas), pesan/program dapat direkam dan diputar kembali sesukanya, dapat mengembangkan daya imajinasi dan merangsang partisipasi aktif pendengarnya, dapat mengatasi masalah kekurangan guru, sifat komunikasinya hanya satu arah, sangat sesuai untuk pengajaran musik dan bahasa, dan pesan/informasi atau program terikat dengan jadwal siaran (pada jenis media radio). Karakteristik dari media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang akan disampaikan dituangkan didalam lambang-lambang auditif, baik verbal (kedalam kata-kata/bahasa lisan) maupun non verbal. Beberapa jenis media audio untuk pembelajaran diantaranya adalah :
A. Radio
Pemancar radio mengubah, atau melakukan modulasi gelombang radio agar dapat menyampaikan informasi. Dalam dunia pendidikan, hingga kini radio masih digunakan sebagai media pembelajaran, khususnya untuk program pembelajaran jarak jauh. Penggunaan radio sebagai media pendidikan tidak perlu diragukan lagi peranannya, hal ini disebabkan karena radio memiliki daya jangkauan yang luas. Radio bersifat penyiaran secara langsung kepada masyarakat luas bahkan sering disebut mass media, memiliki jangkauan luas, memiliki jadwal siaran tetap.
Penggunaan radio untuk pembelajaran sudah lama digunakan terutama untuk pendidikan jarak jauh dan pendidikan terbuka misalnya SMP terbuka. Penggunanya adalah pada jam tertentu yang sudah dijadwalkan, sedangkan informasinya dapat bersifat langsung maupun rekaman disiarkan melalui radio dan peserta didik mendengarkannya dengan seksama yang dilengkapi dengan modul. Media ini cukup efektif untuk menjangkau peserta didik dengan latar geografis yang tersebar dan sulit dijangkau.
Sebagai suatu media, radio mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan media yang lain, tapi juga ada kelemahannya. Secara umum, media audio memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihannya: fleksibel, relatif murah, ringkas, mudah dibawa (portable). Sedangkan keterbatasannya seperti: memerlukan peralatan khusus, memerlukan kemampuan/ketrampilan khusus untuk pemanfaatannya.
Untuk lebih rinci berikut ini diawali dengan kelebihannya terlebih dahulu, antara lain :
1. Harga realtif murah dan program yang variatif
2. Sifatnya mudah dipindahkan (mobile)
3. Jika digunakan dengan alat perekam radio bisa mengatasi problem jadwal
4. Radio mengembangkan daya imajinasi anak
5. Dapat merangsang partisipasi aktif pendengar
6. Peserta didik dapat menyimak pada kata yang digunakan, bunyi dan artinya.
7. Siaran lewat suara terbukti amat tepat/cocok mengajarkan musik dan bahasa.
9. Dapat mengatasi batasan ruang dan waktu.
10. Realistik dan otentik
Adapun kelemahan dari media ini meliputi :
1. Sifat komunikasinya terbatas hanya satu arah (one way communication)
2. Menuntut pemusatan perhatian
2. Biasanya siaran disentalisasikan sehingga guru tidak dapat mengontrolnya.
3. Terikat oleh jadwal sehingga penjadwalan siaran dengan jadwal pelajaran sering menimbulkan masalah.

B. Alat Perekam Pita Magnetik
Alat perekam sekaligus berfungsi untuk memperdengarkan audio (player) pada umumnya menggunakan tape yang menggunakan bahan pita magnetic atau kaset audio. Sesuai perkembangan teknologi, saat ini alat perekam audio sekaligus player menggunakan data dan proses digital, misalnya iPod, MP3 player bahkan handphone yang dilengkapi radio dan audio player. Alat perekam pita magnetik (magnetic tape recording) atau lazimnya orang menyebutnya tape recorder adalah salah satu media penddikan yang tak dapat diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakannya.
Beberapa kelebihan alat perekam adalah sebagai berikut:
1. Berfungsi ganda, merekam, menampilkan rekaman dan menghapusnya.
2. Pita perekam dapat diputar berulang-ulang tanpa mempengaruhi volume.
3. Rekaman dapat dihapus secara otomatis dan pitanya bisa dipakai lagi.
4. Pita rekaman dapat dipakai sesuai dengan jadwal yang ada.
5. Program kaset bisa untuk beberapa kegiatan diantaranya; diskusi, dramatisasi.
6. Program kaset memberiklan efesiensi dalam pengajaran bahasa.
Sedangkan kelemahan program kaset diantaranya adalah:
1. Rekaman hanya memberikan konsumsi suara saja.
2. Pita kaset suara memiliki kekuatan terbatas.
3. Daya jangkauan terbatas (tidak luas).
4. Dari segi biaya, bila untuk sasaran yang banyak jauh lebih mahal.

C. Laboratorium Bahasa
Laboratorium bahasa merupakan alat untuk melatih peserta didik dari aspek mendengar dan berbicara dalam bahasa asing dengan menyajikan materi pelajaran yang disiapkan sebelumnya, adapun media yang dipakai adalah alat perekam. Secara umum dapat dikategorikan bahwa media audio memiliki kelebihan dan keterbatasan atau kekurangannya. Jika dicermati maka kelebihannya antara lain: lebih fleksibel, relatif murah, ringkas, mudah dibawa kemanapun (portable). Sedangkan keterbatasannya antara lain: memerlukan peralatan khusus, memerlukan kemampuan/ketrampilan khusus untuk pemanfaatannya.

3. FUNGSI MEDIA AUDIO
Fungsi media audio menurut Arsyad, beliau mengutip pendapat Sudjana dan Rivai adalah, bahwa media audio berfungsi untuk melatih segala kegiatan pengembangan keterampilan, terutama yang berhubungan langsung dengan aspek – aspek keterampilan pendengaran. Dengan penggunaan media audio maka yang dapat dicapai ialah berupa :
a) Pemusatan perhatian dan mempertahankan perhatian
b) Mengikuti pengarahan
c) Melatih daya analisis
d) Menentukan arti dan konteks
e) Memilah informasi dan gagasan
f) Merangkum, mengingat kembali dan menggali informasi
Fungsi lain dari media audio adalah sebagi alat bantu bagi para pendidik, karena sifatnya hanya sekedar membantu, maka dalam pemamfaatannya memerlukan bantuan metode atau media lain, sehingga pengalaman dan pengetahuan siap dimiliki oleh pendengar yang akan membantu keberhasilan.
Selain itu pemanfaatan fungsi media audio dalam pengajaran digunakan dalam:
a. Pengajaran musik literaty (pembacaan sajak), dan kegiatan dokumentasi.
b. Pengajaran bahasa asing, apakah secara audio ataupun secara audiovisual.
c. Pengajaran melalui radio atau radio pendidikan.
d. Paket-paket belajar untuk berbagai jenis materi, yang memungkinkan peserta didik dapat melatih daya penafsirannya dalam suatu bidang studi.

 Cara Penggunaan Media Audio
Dalam pembuatan atau penggunaan media audio ada beberapa peralatan pokok yang harus diperhatikan diantaranya : mikrofon, alat perekam (recorder ), alat pemutar hasil rekaman ( player), alat penyampur sumber suara (mixer) dan beberapa fasilitas lainnya yang diperlukan. Langkah–langkah untuk mempersiapkan media audio adalah :
a) Mempersiapkan diri
b) Mempersiapkan kesiapan peserta didik
c) Mendiskusikan membahas materi program audio
d) Mendengarkan materi audio yang akan dibahas
Sedangkan menurut Sudjana langkah – langkah yang harus dipersiapkan dalam menggunakan media audio meliputi tiga hal yaitu :
a. Langkah persiapan meliputi : persiapan dalam merencanakan, memberikan pengarahan terhadap siswa mengenai ide – ide yang sulit, menentukan sasaran, periksa peralatan.
b. Langkah penyajian meliputi : menyajikan waktu yang tepat, mengatur situasi ruangan, berikan motivasi untuk peserta didik.
c. Tindak lanjut.

 Teknik penggunaan rekaman menurut Hamalik antara lain :
a)Kelas harus dibawa kearah belajar mendengarkan rekaman secara aktif
b)Guru hendaknya mengenal dan memahami rekaman tersebut
c) Menguasai penggunaan rekaman dalam belajar
d) Kegiatan lanjutan
 Teknik dalam perekaman radio pendidikan, Sudjana mengusulkan hal – hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Pilih subjek atau tema yang menarik dan mengundang perhatian mereka.
b. Tentukan garis-garis besar cerita atau membuat sinopsis.
c.Tentukan pemain, pelaku, penangungjawab dan sebagainya.
d.Adakan latihan diluar studio untuk melatih penjiwaan mereka.
e. Pilih sound effect yang sesuai, kemudian coba rekam dan adakan revisi.

4. PERAN PENGEMBANGAN MEDIA AUDIO DALAM PRAKTEK PEMBELAJARAN

Efektivitas proses belajar mengajar (pembelajaran) sangat dipengaruhi oleh faktor metode dan media pembelajaran yang digunakan. Keduanya saling berkaitan, di mana pemilihan metode tertentu akan berpengaruh terhadap jenis media yang akan digunakan. Dalam arti bahwa harus ada kesesuaian di antara keduanya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Walaupun ada hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan media, seperti: konteks pembelajaran, karakteristik pembelajaran, dan tugas atau respon yang diharapkan dari pembelajaran. Sedangkan menurut Criticos (1996), tujuan pembelajaran, hasil belajar, isi materi ajar, rangkaian dan strategi pembelajaran adalah kriteria untuk seleksi dan produksi media. Dengan demikian, penataan pembelajaran (iklim, kondisi, dan lingkungan belajar) yang dilakukan oleh seorang pengajar dipengaruhi oleh peran media yang digunakan.
Pemanfaatan media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan berpengaruh secara psikologis kepada peserta didik (Hamalik, 1986). Selanjutnya diungkapkan bahwa penggunaan media pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian informasi (pesan dan isi pelajaran) pada saat itu. Kehadiran media dalam pembelajaran juga dikatakan dapat membantu peningkatan pemahaman peserta didik, penyajian data/informasi lebih menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa fungsi media adalah sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar.
Peran media (media pendidikan) secara umum, adalah sebagai berikut: (i) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual; (ii) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misal objek yang terlalu besar untuk dibawa ke kelas dapat diganti dengan gambar, slide, dsb., peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat film, video, fota atau film bingkai; (iii) meningkatkan kegairahan belajar, memungkinkan peserta didik belajar sendiri berdasarkan minat dan kemampuannya, dan mengatasi sikap pasif peserta didik; dan (iv) memberikan rangsangan yang sama, dapat menyamakan pengalaman dan persepsi peserta didik terhadap isi pelajaran.
Dengan menggunakan istilah media pengajaran, Sudjana dan Rivai mengemukakan beberapa manfaat media dalam proses belajar peserta didik, yaitu : (i) dapat menumbuhkan motivasi belajar peserta didik karena pengajaran akan lebih menarik perhatian mereka; (ii) makna bahan pengajaran akan menjadi lebih jelas sehingga dapat dipahami peserta didik dan memungkinkan terjadinya penguasaan serta pencapaian tujuan pengajaran; (iii) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi verbal melalui kata-kata; dan (iv) peserta didik lebih banyak melakukan aktivitas selama kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati, mendemonstrasikan, melakukan langsung, dan memerankan.
Berdasarkan atas beberapa peran media pembelajaran yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera. Terhadap pemahaman isi pelajaran, secara nalar dapat dikemukakan bahwa dengan penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman yang lebih baik pada peserta didik. Pembelajaran dengan cara MENDENGARKAN saja akan berbeda tingkat pemahaman dan lamanya “ingatan” bertahan, dibandingkan dengan pebelajar yang belajar lewat MELIHAT atau sekaligus mendengarkan dan melihat. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pembelajaran ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental. Tentu hal ini berpengaruh terhadap semangat mereka belajar dan kondisi pembelajaran yang lebih hidup, yang nantinya bermuara kepada peningkatan pemahaman belajar terhadap materi ajar.
Miarso, Yusufhadi. dkk. Dalam buku Teknologi Komunikasi Pendidikan menyatakan bahwa hal pertama yang harus dilakukan guru dalam penggunaan media secara efektif adalah mencari, menemukan, dan memilih media yang memenuhi kebutuhan belajar anak, menarik minat anak, sesuai dengan perkembangan kematangan dan pengalamannya serta karakteristik khusus yang ada pada kelompok belajarnya . Karaketristik ini antara lain adalah kematangan anak dan latar belakang pengalamannya serta kondisi mental yang berhubungan dengan usia perkembangannya.
















KESIMPULAN


Kata “media” berasal dari bahasa Latin “medium” yang berarti “perantara” atau “pengantar”. Lebih lanjut, media merupakan sarana penyalur pesan atau informasi belajar yang hendak disampaikan oleh sumber pesan kepada sasaran atau penerima pesan tersebut. Penulis berpendapat berdasarkan batasan-batasan mengenai media, maka dapat dikatakan bahwa media audio dalam pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut SOFTWARE dan HARDWARE yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar kepada (individu atau kelompok), yang disajikan dalam bentuk auditif yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga terjadi proses belajar mengajar (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.
Beberapa jenis media audio untuk pembelajaran diantaranya adalah : Radio, alat perekam pita magnetik (magnetic tape recording) atau lazimnya orang menyebutnya tape recorder, laboratorium Bahasa. Karakteristik dari media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang akan disampaikan dituangkan didalam lambang-lambang auditif, baik verbal (kedalam kata-kata/bahasa lisan) maupun non verbal. Fungsi lain dari media audio adalah sebagi alat bantu bagi para pendidik, karena sifatnya hanya sekedar membantu, maka dalam pemamfaatannya memerlukan bantuan metode atau media lain, sehingga pengalaman dan pengetahuan siap dimiliki oleh pendengar yang akan membantu keberhasilan.
Penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap pemahaman yang lebih baik pada peserta didik. Pembelajaran dengan cara Mendengarkan saja akan berbeda tingkat pemahaman dan lamanya “ingatan” bertahan, dibandingkan dengan pembelajaran yang belajar lewat Melihat atau sekaligus mendengarkan dan melihat. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pembelajaran ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental.

DAFTAR PUSTAKA


Arsyad, A. Media Pembelajaran, Edisi 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
-------------, Media Pembelajaran, Edisi II. (Jakarta:Raja GrafindoPersada, 2003)
Gagne, R. M. The Condition Of Learning And Theory Of Instruction, 4th ed. (New York: CBS College Publishing, 1985)
http://benramt.wordpress.com/2010/01/18/media-audio-dan-video-untuk- pembelajaran/ Di akses 31 Maret 2011
http://fikrinatuna.blogspot.com/2009/04/bab-i-pendahuluan-1. html. Di akses 31 Maret 2011

Hamalik, Oemar, Media Pendidikan, Cetakan Ke-7. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 1994).
Rahardjo, R. Media Pembelajaran. Dalam Miarso, Yusufhadi dkk. Teknologi Komunikasi Pendidikan. (Jakarta: Rajawali. 1986)
Riyana, Cepi, Media Pembelajaran, (Jakarta : Dirjen Pendidikan Islam, Depag RI, 2009)
Sudjana, Nana. dan Rivai, A. Media Pengajaran. (Bandung: Sinar Baru. 1992)
____________, Media Pengajaran, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2005)
Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahadjito. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan Dan Pemanfaatannya, Edisi 1. (Jakarta: Rajawali. 1990)
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1995)
Punaji, Setyosari dan Sihkabuden, Media Pembelajaran. (Malang : Elang Mas. 2005)
Yudhi, Munadi, Media Pembelajaran, Sebuah Pendekatan Baru, (Jakarta: Gaung Persada Press, Ciputat. 2008)
Yusufhadi, Miarso, dkk. Teknologi Komunikasi Pendidikan. (Jakarta: Rajawali. 1986)

Makalah Hadits Tarbawi (Smt 2)

MEMAHAMI HADITS NABI
DARI ASPEK SEJARAH DAN SOSIAL BUDAYA


I. PENDAHULUAN
Diskursus terhadap hadits nampaknya selalu menarik perhatian banyak orang, baik kalangan muslim maupun non muslim. Terbukti hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang menyangkut kritik terhadap otentitasnya, maupun metodologi pemahamannya terus berkembang. Hadits dan sunnah adalah segala yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’lun) atau ketetapan (taqrir) atau sifat khuluqiyyah (sifat akhlak Nabi) atau khalqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk tubuh Nabi) sebelum bi’tsah (diutus menjadi rasul) atau sesudahnya.
Secara Epistimologis, hadits dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Sebab ia merupakan bayan (penjelasan), terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global) ‘am (umum) dan yang mutlak (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadits dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an.
Di samping itu, dalam diskursus ilmu hadits juga dikenal bahwa hadits itu ada yang memiliki asbabul wurud khusus, ada pula yang tidak. Untuk kategori pertama, yakni hadits-hadits yang mempunyai sebab khusus kita dapat menggunakan perangkat ilmu yang disebut asbabul wurud dalam memahami maknanya. Persoalannya adalah bagaimana jika suatu hadits itu tidak memiliki asbabul wurud secara khusus. Di sinilah barangkali relevansi judul yang penulis tawarkan, yakni adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman hadits (fiqhul hadits) dengan pendekatan historis, sosiologis dan budaya (antropologis).
Hal ini berangkat dari asumsi dasar bahwa ketika Rasulullah SAW bersabda pasti beliau tidak lepas dari situasi, kondisi yang ada di masyarakat pada waktu itu. Dengan ungkapan lain, adalah mustahil Rasulullah SAW. berbicara dalam ruangan yang hampa sejarah (vacuum historis). Bagaimanapun sebuah gagasan atau ide termasuk dalam hal ini sabda Rasulullah SAW selalu based on historical problems, yakni terkait dengan problem historis-kultural waktu itu.
Disamping itu, hadits kebanyakan berbicara mengenai soal-soal yang bersifat teknis dan kasuistik, sehingga boleh jadi semangatnya (ruhnya) atau “ideal moralnya” universal- meminjam istilah Fazlur Rahman-namun teksnya bersifat bayan al-waqi’I mengungkap realitas empiris masyarakat waktu itu. Dengan demikian, hadits-hadits Rasulullah Muhammad SAW sebagai mitra al-Qur’an, secara teologis juga diharapkan dapat member inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan al-Hadits.
Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memberikan tawaran baru bagaimana cara melakukan fiqhul Hadits (pemahaman hadits) dengan pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh masing-masing. Wajib penulis sampaikan bahwasannya hadits yang penulis kutip dalam tulisan ini adalah hadits yang dianggap sahih oleh para ulama hadits, paling tidak oleh Imam Bukhari dan Muslim. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini penulis sengaja tidak melakukan takhrij hadits secara mandiri, namun sekedar mengikuti takhrij yang dilakukan oleh al-Bukhari dan Muslim.





II. PEMBAHASAN
Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam lahir dan muncul dari berbagai situasi. Pembukuannya telah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang. Ketika ulama berupaya menangkap maksud kandungannya maka muncul berbagai pemahaman sebagai akibat metode pemahaman yang tidak sama. Di kalangan ulama dikenal dua macam metode pemahaman makna kandungan hadis, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual.

A. Metode Tekstual
Ada dua metode dalam upaya memahami kandungan ajaran yang terdapat dalam hadis Nabi, yaitu tekstual dan kontekstual. Tekstual adalah tipe pemahaman hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam dengan hanya melihat makna harfiah, tanpa memperhatikan latar belakang kemunculan hadis tersebut maupun sejarah pengumpulannya. Tipe pemikiran ini, oleh ilmuan sosial dikategorikan sebagai pemikiran ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadis). Tokoh yang terkenal sangat tekstual harfiyah dalam memahami nash, baik al-Qur’an maupun hadis, adalah Abu Dawud al-Zahiri. Sedangkan ulama yang cenderung juga mendukung aliran ini adalah Imam al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M).
Namun sejalan dengan perubahan sosial yang sangat cepat, maka model pemahaman tekstual sulit dipertahankan, khususnya pemahaman terhadap hadis yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan (mu’amalah). Jika tetap dipahami secara harfiyah, maka akan menimbulkan banyak kesulitan bagi umat Islam dalam mengamalkan ajaran-ajaran hadis Nabi. Di sisi lain, pemahaman tekstual tersebut dapat berdampak banyak ajaran Islam yang tidak lagi cocok diterapkan di dunia moderen. Oleh karena itu, untuk mengatasi kebuntuan pemahaman tersebut maka banyak ulama menempuh metode kontekstual.





B. Metode Kontekstual
1. Pengertian
Pemahaman kontekstual adalah memahami hadis sebagai sumber ajaran Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul hadis (asbab al-wurud) tersebut. Golongan ini pada mulanya tidak populer dan tenggelam dalam tekanan kalangan tekstualis yanag mayoritas, tetapi akhir-akhir ini mendapat sambutan yang lebih luas. Pemahaman kontekstual ini awalnya dikembangkan oleh Abu Hanifah dan kelompok Ahlul Ra’yi, lalu ini diperkuat oleh imam al-Qarafi (w. 694 H) yang menulis kitab al-Furuq, dan imam al-Syathibi dengan kitabnya al-Muwafaqat.
Dalam metode kontekstual, kedudukan Rasulullah saw dibedakan dalam beberapa posisi, yaitu (1) sebagai rasul penetap syari’at; (2) sebagai hakim dan mufti yang memutuskan hukum atau fatwa (3) sebagai pemimpin atau imam. Ulama kontemporer seperti Abu Zahrah menambahkan posisi ke (4) yaitu nabi sebagai manusia biasa. Ajaran atau perintah nabi dari posisinya sebagai Rasul bersifat mengikat selamanya, sedangkan sebagai imam atau mufti atau manusia biasa tidak wajib diikuti.
Sejak zaman Nabi, pemahaman secara tekstual dan kontekstual terhadap hadis Nabi telah mulai dikenal dan dipraktekkan oleh para sahabat-sahabat Nabi. Misalnya suatu ketika Nabi saw pernah memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, beliau berpesan “Agar jangan ada seorangpun yang salat Zuhur kecuali setelah sampai di kampung bani Quraizhah. Karena takut kehabisan waktu zuhur, maka sebagian orang melaksanakan salat di perjalanan sebelum sampai di kampung itu. Sedangkan yang lain tetap mengikuti perintah nabi walaupun akan kehabisan waktu. Ketika persoalan itu disampaikan kepada Nabi, maka beliau tidak menyalahkan pihak manapun”.
Sebagian sahabat yang memahami perintah Nabi secara kontekstual melihat bahwa inti sabda nabi tersebut bukan sebagai larangan tetapi agar bergegas di perjalanan dan perintah itu terkait dengan waktu. Jika waktu memang hampir habis, maka boleh salat zuhur di perjalanan walau belum tiba di tempat tujuan. Sedangkan bagi yang memahaminya secara tekstual berpendapat mereka harus mengikuti apapun yang diperintahkan nabi, yakni hanya boleh shalat zuhur setelah tiba di kampung bani Quraizhah, walaupun waktu zuhur habis. Nabi ternyata mentolerir dua model pemahaman sahabat tersebut.
Dalam kaitannya sebagai sumber pokok ajaran Islam, hadis pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan demikian hadis merupakan interpretasi nabi saw yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadits nabi. Dari sini, maka hadits pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis nabi terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadis nabi merupakan hal yang mendesak, tentu dengan acuan yang dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadis. Realitanya bahwa hadis nabi lebih banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul di kalangan generasi muda Islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak negeri Islam lainnya.
Pendekatan ini terhadap sebahagian hadits Nabi merupakan satu keharusan tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan malah menjadi sesuatu yang kontradiktif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadis Nabi. Karena pemahaman seperti ini maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas menyerang hadits yang tampak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman–meskipun ulama hadits menyatakan bahwa hadits tersebut dilihat dari kaedah-kaedah ilmu hadits yang demikian ketat, validitasnya diakui dan makbul (shahih).
Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadits merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadits yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad, pendekatan kontekstual atas hadits Nabi SAW, belum begitu memperoleh perhatian.

2. Pendekatan
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang sangat cepat, maka hadits dipahami secara tepat dan holistik. Dalam metode kontekstual digunakan beberapa pendekatan keilmuan sebagai upaya untuk menangkap maksud hadits yang sebenarnya. Beberapa pendekatan keilmuan dimaksud adalah:
b. Pendekatan historis
Pendekatan historis di sini ialah memahami hadis dengan memperhatikan suasana dan peristiwa sejarah yang menyebabkan atau mengiringi munculya suatu hadis. Misalnya hadis tentang larangan menyerupai suatu kaum sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan tentang macam-macam ilmu hadis. Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi masa lalu untuk diambil hikmahnya sebagai acuan dalam menentukan masa sekarang dan akan datang.
Mempelajari sejarah perkembangan hadits adalah mencari objek materi dari berbagai macam ilmu yang disertai dengan menganalisa peristiwa yang terjadi pada masa dahulu. Adapun objek penelitian sejarah hadits adalah membahas tentang periode perkembangan hadits itu sendiri; mengupas tentang karakteristik dari setiap periodesasi hadits; memperhatikan aspek kondisi, sikap masyarakat Islam, tujuan makna teks hadits serta tempat berkembangnya Hadits.
c. Pendekatan sosiologis
Yaitu pemahaman dangan memperhatikan keterkaitan berbagai faktor sosial kemasyarakatan, baik yang bersifat struktur maupun relasi, yang mempengaruhi atau menyebabkan muncuinya suatu hadis. Pendekatan ini dapat digunakan antara lain dalam mengkaji makna kandungan hadis tentang persyaratan keturunan Ouraisy bagi seorang kepala negara yang berbunyi:
عنَ ابْنُ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَ َمَ لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمُ اثْنَانِ
Berangkat dari pemahaman tekstual atas hadis ini, maka al Mawardi, ibn Hazm, al-Ourthubi, Ibn Hajar a[ Asqaiiani, bahkan Rasyid Ridha, sepakat menyatakan keturunan Quraisy merupakan persyaratan mutlak untuk dapat menduduki jabatan tertinggi sebagai kepala negara. Dengan pemahaman sosiologis kontekstual, maka Ibn Khaidun mengemukakan pendapat berbeda. Menurutnya, kepemimpinan politik dalam hadis ini diberikan kepada Quraisy karena pada saat itu memang merekel yang memenuhi persyaratan dan memiliki kekuatan yang dapat dipatuhi masyarakat.
Hak kepernimpinan sebenarnya bukan pada Quraisy nya melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Implikasinya, jika pada suatu saat ada orang dari kalangan non Quraisy yang memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka dia berhak menjadi kepala negara. Dangan demikian Sunnah Nabi yang menjadi substansi dari hadis ini adalah ajaran bahwa kepala pemenntahan atau pemegang kekuasean harus orang yang benar benar memiliki kemampuan dan kecakapan. Hadits lain yang juga dapat dipahami serupa adalah tentang larangan perempuan menjadi kepala Negara.
d. Pendekatan Sosio Historis
Yaitu memahami hadits dangan memperhatikan latar belakang situasi sejarah sosial kemasyarakatan yang menyebabkan kemunculan suatu keputusan atau tindakan dari Nabi SAW. Dangan meneliti berbagai faktor ini akan diketahui lingkup pemberlakuan suatu hadis, apakah situasional atau universal.
Sebagai contoh adalah hadis tentang larangan berpergian bagi perempuan tanpa disertai mahram yang berbunyi:

عَنِ النَّبِيُّ صَ َمَ قَالَ لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Larangan Nabi ini muncul dilatarbelakangi suatu ‘illat atau sebab khusus berupa kekhawatiran atas keselamatan wanita yang bepergian sendirian tanpa di'sertai suami atau mahramnya, palagi pada waktu itu pedalanan harus menembus padang pasir luas hampir tidak ada manusia dangan hanya berkendaraan unta, kuda atau keledai, sehingga jika terjadi sesuatu maka akan dapat mengancam jiwa dan kehormatannya. Implikasinya, jika Illat kondisinya sudah jauh berubah seperti saat ini di mana pedalanan dapat dilakukan dangan aman menggunakan pesawat atau kereta api, maka larangan bepergian sendirian bagi kaum wanita sudah tidak berfaku lagi.
e. Pendekatan Antropologis
Yaitu memahami hadis dangan memperhatikan tradisi dan budaya, termasuk model keyakinan, yang berkembang dalam masyarakat dan menjadi faktor latar belakang munculnya tadi. Misalnya beberapa hadits tentang larangan melukis makhluk bernyawa, bahkan ada yang menyatakan bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada lukisan makhluk hidup. Hadis dimaksud berbunyi:

عَنْ النَّبِيَّ صَل َمَ يَقُولُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

Jika dicermati secara antropologis, hadis ini muncul terkait dangan budaya kepercayaan dalam masyarakat saat itu yang belum terlepas dari kepercayaan animisme dan politeisme, berupa penyembahan kepada patung dan semisainya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, maka Nabi SAW berusaha keras agar masyarakat Islam terlepas dari kemusyrikan atau praktek praktek yang dapat menyesatkan. Dalam situasi demikian, salah satu cara yang ditempuhnya ialah melarang pembuatan atau pemajangan lukisan makhiuk hidup karena dikhawatirkan dapat menyeret umat Islam saat itu kepada kemusyrikan.
Jadi Sunnah yang terkandung dalam hadis ini mengajarkan agar umat Islam membangun tauاid dan mencegah perbuatan yang dapat merusaknya. Jadi larangan melukis makhiuk hidup hanya berlaku temporal dalam masyarakat yang mengalami transisi dari model kepercayaan politeisme kepada monoteisme. Di sini 'illat atau sebab larangan ialah kekhawatiran akan kembalinya umat Islam saat itu kepada kemusyrikan. Jika 'illat tersebut sudah tidak ada lagi, maka larangan itu juga berakhir. Contoh hadis lain yang dapat didekati secara antropologis ialah perintah mematikan lampu pada waktu tidur, dan perintah nabi agar memanjangkan jenggot dan mencukur kumis.










KESIMPULAN


Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan pada bagian pembahasan maka dapat dibuat kesimpulan bahwa ada dua macam metode pemahaman makna kandungan hadits, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual. Tekstual adalah tipe pemahaman hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam dengan hanya melihat makna harfiah, tanpa memperhatikan latar belakang kemunculan hadis tersebut maupun sejarah pengumpulannya. Pemahaman kontekstual adalah memahami hadis sebagai sumber ajaran Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul hadis (asbab al-wurud) tersebut. Baik kontekstual maupun tekstual telah ada dan telah digunakan sejak masa awal Islam.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang sangat cepat, maka hadis dipahami secara tepat dan holistik. Dalam metode kontekstual digunakan beberapa pendekatan keilmuan sebagai upaya untuk menangkap maksud hadits yang sebenarnya.
Beberapa pendekatan keilmuan dimaksud adalah: Pendekatan historis: Pendekatan historis di sini ialah memahami hadis dengan memperhatikan suasana dan peristiwa sejarah yang menyebabkan atau mengiringi munculya suatu hadits. Pendekatan sosiologis: Pemahaman dangan memperhatikan keterkaitan berbagai faktor sosial kemasyarakatan, baik yang bersifat struktur maupun relasi, yang mempengaruhi atau menyebabkan muncuinya suatu hadits. Pendekatan Sosio Historis: memahami hadis dangan memperhatikan latar belakang situasi sejarah sosial kemasyarakatan yang menyebabkan kemunculan suatu keputusan atau tindakan dari Nabi SAW. Dangan meneliti berbagai faktor ini akan diketahui lingkup pemberlakuan suatu hadis, apakah situasional atau universal. Pendekatan Antropologis : memahami hadits dangan memperhatikan tradisi dan budaya, termasuk model keyakinan, yang berkembang dalam masyarakat dan menjadi faktor latar belakang munculnya tadi.


DAFTAR PUSTAKA


Alamsyah, dkk. Ilmu-ilmu Hadits, Lampung: Pusikamla Fakultas Ushuluddin, 2009.

a] Ajkam ai <h£mi)wh ~t: Dara A Filw, tt) h. 4 5, al Asqallani, AA al Bari Syah al Bu~ (Beirut: Dar al Fikr wa Maktabah Salaflyah, tt) juz Vi, h. 526 536, Rasyid Ridha, al Khilafah (ttp: al Zahra li Aiam a] 'Arabi, i922).

al Qardhawi, Yusuf, KaifaNata'nialma'aal Sunnabal Nabawiyah (Virginia: al Ma' hadal 'Alilial Fikial Islanii, 1990).

http://maizuddin.wordpress.com/2010/03/20/pemahaman-kontekstual-atas-hadits- nabi/ Di akses 25 Maret 2011.

http://alkadri-sambas.blogspot.com/2009/11/sejarah-hadits.html. Di akses 25 Maret 2011.

Husin Munawwar, Said Agil, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.

Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta : Gema Insani Press, 1995.

Muhammad, Afif, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi SAW, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992.
MEMAHAMI HADITS NABI
DARI ASPEK SEJARAH DAN SOSIAL BUDAYA


I. PENDAHULUAN
Diskursus terhadap hadits nampaknya selalu menarik perhatian banyak orang, baik kalangan muslim maupun non muslim. Terbukti hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang menyangkut kritik terhadap otentitasnya, maupun metodologi pemahamannya terus berkembang. Hadits dan sunnah adalah segala yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’lun) atau ketetapan (taqrir) atau sifat khuluqiyyah (sifat akhlak Nabi) atau khalqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk tubuh Nabi) sebelum bi’tsah (diutus menjadi rasul) atau sesudahnya.
Secara Epistimologis, hadits dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Sebab ia merupakan bayan (penjelasan), terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global) ‘am (umum) dan yang mutlak (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadits dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an.
Di samping itu, dalam diskursus ilmu hadits juga dikenal bahwa hadits itu ada yang memiliki asbabul wurud khusus, ada pula yang tidak. Untuk kategori pertama, yakni hadits-hadits yang mempunyai sebab khusus kita dapat menggunakan perangkat ilmu yang disebut asbabul wurud dalam memahami maknanya. Persoalannya adalah bagaimana jika suatu hadits itu tidak memiliki asbabul wurud secara khusus. Di sinilah barangkali relevansi judul yang penulis tawarkan, yakni adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman hadits (fiqhul hadits) dengan pendekatan historis, sosiologis dan budaya (antropologis).
Hal ini berangkat dari asumsi dasar bahwa ketika Rasulullah SAW bersabda pasti beliau tidak lepas dari situasi, kondisi yang ada di masyarakat pada waktu itu. Dengan ungkapan lain, adalah mustahil Rasulullah SAW. berbicara dalam ruangan yang hampa sejarah (vacuum historis). Bagaimanapun sebuah gagasan atau ide termasuk dalam hal ini sabda Rasulullah SAW selalu based on historical problems, yakni terkait dengan problem historis-kultural waktu itu.
Disamping itu, hadits kebanyakan berbicara mengenai soal-soal yang bersifat teknis dan kasuistik, sehingga boleh jadi semangatnya (ruhnya) atau “ideal moralnya” universal- meminjam istilah Fazlur Rahman-namun teksnya bersifat bayan al-waqi’I mengungkap realitas empiris masyarakat waktu itu. Dengan demikian, hadits-hadits Rasulullah Muhammad SAW sebagai mitra al-Qur’an, secara teologis juga diharapkan dapat member inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan al-Hadits.
Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memberikan tawaran baru bagaimana cara melakukan fiqhul Hadits (pemahaman hadits) dengan pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh masing-masing. Wajib penulis sampaikan bahwasannya hadits yang penulis kutip dalam tulisan ini adalah hadits yang dianggap sahih oleh para ulama hadits, paling tidak oleh Imam Bukhari dan Muslim. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini penulis sengaja tidak melakukan takhrij hadits secara mandiri, namun sekedar mengikuti takhrij yang dilakukan oleh al-Bukhari dan Muslim.





II. PEMBAHASAN
Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam lahir dan muncul dari berbagai situasi. Pembukuannya telah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang. Ketika ulama berupaya menangkap maksud kandungannya maka muncul berbagai pemahaman sebagai akibat metode pemahaman yang tidak sama. Di kalangan ulama dikenal dua macam metode pemahaman makna kandungan hadis, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual.

A. Metode Tekstual
Ada dua metode dalam upaya memahami kandungan ajaran yang terdapat dalam hadis Nabi, yaitu tekstual dan kontekstual. Tekstual adalah tipe pemahaman hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam dengan hanya melihat makna harfiah, tanpa memperhatikan latar belakang kemunculan hadis tersebut maupun sejarah pengumpulannya. Tipe pemikiran ini, oleh ilmuan sosial dikategorikan sebagai pemikiran ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadis). Tokoh yang terkenal sangat tekstual harfiyah dalam memahami nash, baik al-Qur’an maupun hadis, adalah Abu Dawud al-Zahiri. Sedangkan ulama yang cenderung juga mendukung aliran ini adalah Imam al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M).
Namun sejalan dengan perubahan sosial yang sangat cepat, maka model pemahaman tekstual sulit dipertahankan, khususnya pemahaman terhadap hadis yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan (mu’amalah). Jika tetap dipahami secara harfiyah, maka akan menimbulkan banyak kesulitan bagi umat Islam dalam mengamalkan ajaran-ajaran hadis Nabi. Di sisi lain, pemahaman tekstual tersebut dapat berdampak banyak ajaran Islam yang tidak lagi cocok diterapkan di dunia moderen. Oleh karena itu, untuk mengatasi kebuntuan pemahaman tersebut maka banyak ulama menempuh metode kontekstual.





B. Metode Kontekstual
1. Pengertian
Pemahaman kontekstual adalah memahami hadis sebagai sumber ajaran Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul hadis (asbab al-wurud) tersebut. Golongan ini pada mulanya tidak populer dan tenggelam dalam tekanan kalangan tekstualis yanag mayoritas, tetapi akhir-akhir ini mendapat sambutan yang lebih luas. Pemahaman kontekstual ini awalnya dikembangkan oleh Abu Hanifah dan kelompok Ahlul Ra’yi, lalu ini diperkuat oleh imam al-Qarafi (w. 694 H) yang menulis kitab al-Furuq, dan imam al-Syathibi dengan kitabnya al-Muwafaqat.
Dalam metode kontekstual, kedudukan Rasulullah saw dibedakan dalam beberapa posisi, yaitu (1) sebagai rasul penetap syari’at; (2) sebagai hakim dan mufti yang memutuskan hukum atau fatwa (3) sebagai pemimpin atau imam. Ulama kontemporer seperti Abu Zahrah menambahkan posisi ke (4) yaitu nabi sebagai manusia biasa. Ajaran atau perintah nabi dari posisinya sebagai Rasul bersifat mengikat selamanya, sedangkan sebagai imam atau mufti atau manusia biasa tidak wajib diikuti.
Sejak zaman Nabi, pemahaman secara tekstual dan kontekstual terhadap hadis Nabi telah mulai dikenal dan dipraktekkan oleh para sahabat-sahabat Nabi. Misalnya suatu ketika Nabi saw pernah memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, beliau berpesan “Agar jangan ada seorangpun yang salat Zuhur kecuali setelah sampai di kampung bani Quraizhah. Karena takut kehabisan waktu zuhur, maka sebagian orang melaksanakan salat di perjalanan sebelum sampai di kampung itu. Sedangkan yang lain tetap mengikuti perintah nabi walaupun akan kehabisan waktu. Ketika persoalan itu disampaikan kepada Nabi, maka beliau tidak menyalahkan pihak manapun”.
Sebagian sahabat yang memahami perintah Nabi secara kontekstual melihat bahwa inti sabda nabi tersebut bukan sebagai larangan tetapi agar bergegas di perjalanan dan perintah itu terkait dengan waktu. Jika waktu memang hampir habis, maka boleh salat zuhur di perjalanan walau belum tiba di tempat tujuan. Sedangkan bagi yang memahaminya secara tekstual berpendapat mereka harus mengikuti apapun yang diperintahkan nabi, yakni hanya boleh shalat zuhur setelah tiba di kampung bani Quraizhah, walaupun waktu zuhur habis. Nabi ternyata mentolerir dua model pemahaman sahabat tersebut.
Dalam kaitannya sebagai sumber pokok ajaran Islam, hadis pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan demikian hadis merupakan interpretasi nabi saw yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadits nabi. Dari sini, maka hadits pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis nabi terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadis nabi merupakan hal yang mendesak, tentu dengan acuan yang dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadis. Realitanya bahwa hadis nabi lebih banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul di kalangan generasi muda Islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak negeri Islam lainnya.
Pendekatan ini terhadap sebahagian hadits Nabi merupakan satu keharusan tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan malah menjadi sesuatu yang kontradiktif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadis Nabi. Karena pemahaman seperti ini maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas menyerang hadits yang tampak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman–meskipun ulama hadits menyatakan bahwa hadits tersebut dilihat dari kaedah-kaedah ilmu hadits yang demikian ketat, validitasnya diakui dan makbul (shahih).
Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadits merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadits yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad, pendekatan kontekstual atas hadits Nabi SAW, belum begitu memperoleh perhatian.

2. Pendekatan
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang sangat cepat, maka hadits dipahami secara tepat dan holistik. Dalam metode kontekstual digunakan beberapa pendekatan keilmuan sebagai upaya untuk menangkap maksud hadits yang sebenarnya. Beberapa pendekatan keilmuan dimaksud adalah:
b. Pendekatan historis
Pendekatan historis di sini ialah memahami hadis dengan memperhatikan suasana dan peristiwa sejarah yang menyebabkan atau mengiringi munculya suatu hadis. Misalnya hadis tentang larangan menyerupai suatu kaum sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan tentang macam-macam ilmu hadis. Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi masa lalu untuk diambil hikmahnya sebagai acuan dalam menentukan masa sekarang dan akan datang.
Mempelajari sejarah perkembangan hadits adalah mencari objek materi dari berbagai macam ilmu yang disertai dengan menganalisa peristiwa yang terjadi pada masa dahulu. Adapun objek penelitian sejarah hadits adalah membahas tentang periode perkembangan hadits itu sendiri; mengupas tentang karakteristik dari setiap periodesasi hadits; memperhatikan aspek kondisi, sikap masyarakat Islam, tujuan makna teks hadits serta tempat berkembangnya Hadits.
c. Pendekatan sosiologis
Yaitu pemahaman dangan memperhatikan keterkaitan berbagai faktor sosial kemasyarakatan, baik yang bersifat struktur maupun relasi, yang mempengaruhi atau menyebabkan muncuinya suatu hadis. Pendekatan ini dapat digunakan antara lain dalam mengkaji makna kandungan hadis tentang persyaratan keturunan Ouraisy bagi seorang kepala negara yang berbunyi:
عنَ ابْنُ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَ َمَ لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمُ اثْنَانِ
Berangkat dari pemahaman tekstual atas hadis ini, maka al Mawardi, ibn Hazm, al-Ourthubi, Ibn Hajar a[ Asqaiiani, bahkan Rasyid Ridha, sepakat menyatakan keturunan Quraisy merupakan persyaratan mutlak untuk dapat menduduki jabatan tertinggi sebagai kepala negara. Dengan pemahaman sosiologis kontekstual, maka Ibn Khaidun mengemukakan pendapat berbeda. Menurutnya, kepemimpinan politik dalam hadis ini diberikan kepada Quraisy karena pada saat itu memang merekel yang memenuhi persyaratan dan memiliki kekuatan yang dapat dipatuhi masyarakat.
Hak kepernimpinan sebenarnya bukan pada Quraisy nya melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Implikasinya, jika pada suatu saat ada orang dari kalangan non Quraisy yang memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka dia berhak menjadi kepala negara. Dangan demikian Sunnah Nabi yang menjadi substansi dari hadis ini adalah ajaran bahwa kepala pemenntahan atau pemegang kekuasean harus orang yang benar benar memiliki kemampuan dan kecakapan. Hadits lain yang juga dapat dipahami serupa adalah tentang larangan perempuan menjadi kepala Negara.
d. Pendekatan Sosio Historis
Yaitu memahami hadits dangan memperhatikan latar belakang situasi sejarah sosial kemasyarakatan yang menyebabkan kemunculan suatu keputusan atau tindakan dari Nabi SAW. Dangan meneliti berbagai faktor ini akan diketahui lingkup pemberlakuan suatu hadis, apakah situasional atau universal.
Sebagai contoh adalah hadis tentang larangan berpergian bagi perempuan tanpa disertai mahram yang berbunyi:

عَنِ النَّبِيُّ صَ َمَ قَالَ لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Larangan Nabi ini muncul dilatarbelakangi suatu ‘illat atau sebab khusus berupa kekhawatiran atas keselamatan wanita yang bepergian sendirian tanpa di'sertai suami atau mahramnya, palagi pada waktu itu pedalanan harus menembus padang pasir luas hampir tidak ada manusia dangan hanya berkendaraan unta, kuda atau keledai, sehingga jika terjadi sesuatu maka akan dapat mengancam jiwa dan kehormatannya. Implikasinya, jika Illat kondisinya sudah jauh berubah seperti saat ini di mana pedalanan dapat dilakukan dangan aman menggunakan pesawat atau kereta api, maka larangan bepergian sendirian bagi kaum wanita sudah tidak berfaku lagi.
e. Pendekatan Antropologis
Yaitu memahami hadis dangan memperhatikan tradisi dan budaya, termasuk model keyakinan, yang berkembang dalam masyarakat dan menjadi faktor latar belakang munculnya tadi. Misalnya beberapa hadits tentang larangan melukis makhluk bernyawa, bahkan ada yang menyatakan bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada lukisan makhluk hidup. Hadis dimaksud berbunyi:

عَنْ النَّبِيَّ صَل َمَ يَقُولُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

Jika dicermati secara antropologis, hadis ini muncul terkait dangan budaya kepercayaan dalam masyarakat saat itu yang belum terlepas dari kepercayaan animisme dan politeisme, berupa penyembahan kepada patung dan semisainya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, maka Nabi SAW berusaha keras agar masyarakat Islam terlepas dari kemusyrikan atau praktek praktek yang dapat menyesatkan. Dalam situasi demikian, salah satu cara yang ditempuhnya ialah melarang pembuatan atau pemajangan lukisan makhiuk hidup karena dikhawatirkan dapat menyeret umat Islam saat itu kepada kemusyrikan.
Jadi Sunnah yang terkandung dalam hadis ini mengajarkan agar umat Islam membangun tauاid dan mencegah perbuatan yang dapat merusaknya. Jadi larangan melukis makhiuk hidup hanya berlaku temporal dalam masyarakat yang mengalami transisi dari model kepercayaan politeisme kepada monoteisme. Di sini 'illat atau sebab larangan ialah kekhawatiran akan kembalinya umat Islam saat itu kepada kemusyrikan. Jika 'illat tersebut sudah tidak ada lagi, maka larangan itu juga berakhir. Contoh hadis lain yang dapat didekati secara antropologis ialah perintah mematikan lampu pada waktu tidur, dan perintah nabi agar memanjangkan jenggot dan mencukur kumis.










KESIMPULAN


Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan pada bagian pembahasan maka dapat dibuat kesimpulan bahwa ada dua macam metode pemahaman makna kandungan hadits, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual. Tekstual adalah tipe pemahaman hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam dengan hanya melihat makna harfiah, tanpa memperhatikan latar belakang kemunculan hadis tersebut maupun sejarah pengumpulannya. Pemahaman kontekstual adalah memahami hadis sebagai sumber ajaran Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul hadis (asbab al-wurud) tersebut. Baik kontekstual maupun tekstual telah ada dan telah digunakan sejak masa awal Islam.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang sangat cepat, maka hadis dipahami secara tepat dan holistik. Dalam metode kontekstual digunakan beberapa pendekatan keilmuan sebagai upaya untuk menangkap maksud hadits yang sebenarnya.
Beberapa pendekatan keilmuan dimaksud adalah: Pendekatan historis: Pendekatan historis di sini ialah memahami hadis dengan memperhatikan suasana dan peristiwa sejarah yang menyebabkan atau mengiringi munculya suatu hadits. Pendekatan sosiologis: Pemahaman dangan memperhatikan keterkaitan berbagai faktor sosial kemasyarakatan, baik yang bersifat struktur maupun relasi, yang mempengaruhi atau menyebabkan muncuinya suatu hadits. Pendekatan Sosio Historis: memahami hadis dangan memperhatikan latar belakang situasi sejarah sosial kemasyarakatan yang menyebabkan kemunculan suatu keputusan atau tindakan dari Nabi SAW. Dangan meneliti berbagai faktor ini akan diketahui lingkup pemberlakuan suatu hadis, apakah situasional atau universal. Pendekatan Antropologis : memahami hadits dangan memperhatikan tradisi dan budaya, termasuk model keyakinan, yang berkembang dalam masyarakat dan menjadi faktor latar belakang munculnya tadi.


DAFTAR PUSTAKA


Alamsyah, dkk. Ilmu-ilmu Hadits, Lampung: Pusikamla Fakultas Ushuluddin, 2009.

a] Ajkam ai <h£mi)wh ~t: Dara A Filw, tt) h. 4 5, al Asqallani, AA al Bari Syah al Bu~ (Beirut: Dar al Fikr wa Maktabah Salaflyah, tt) juz Vi, h. 526 536, Rasyid Ridha, al Khilafah (ttp: al Zahra li Aiam a] 'Arabi, i922).

al Qardhawi, Yusuf, KaifaNata'nialma'aal Sunnabal Nabawiyah (Virginia: al Ma' hadal 'Alilial Fikial Islanii, 1990).

http://maizuddin.wordpress.com/2010/03/20/pemahaman-kontekstual-atas-hadits- nabi/ Di akses 25 Maret 2011.

http://alkadri-sambas.blogspot.com/2009/11/sejarah-hadits.html. Di akses 25 Maret 2011.

Husin Munawwar, Said Agil, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.

Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta : Gema Insani Press, 1995.

Muhammad, Afif, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi SAW, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992.