Senin, 14 Maret 2011

Artikel "Education For All" Strategi Pemerataan Pendidikan Di Indonesia

“Education For All”
Strategi Pemerataan Pendidikan Indonesia
Penulis: IMADI, S. Ag
(Guru SMPN 2 Cilegon - Mhs. Beasiswa Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung)



Indonesia adalah negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri 13.000 pulau. Kebhinekaan yang terdiri 300 suku bangsa, dengan 200 bahasa yang berbeda. Begitu luas dan kaya negeri ini terhampar, bahkan kesuburan tananhnya bisa dianalogikan kayu dan batu bisa jadi tanaman. Belum lagi hutan dan kekayaan bahari yang melimpah, sampai-sampai kita lengah menjaga dan melindunginya. Namun yang harus diingat adalah bahwa dalam setiap jengkal kekayaan, kedaulatan, kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut terdapat hak yang harus dipenuhi, yaitu pendidikan untuk semua (education for all) Kemanusiaan harus dijunjung, hak asasi dihargai, dan keadilan diwujudkan. Pendidikan mengambil peran penting dalam membangun kehidupan berbangsa saat ini.
Khazanah kebudayaan Indonesia juga memiliki kekayaan ragam dengan corak karakter kebangsaan. Kebudayaan Indonesia ini dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan local yang telah ada sebelum terbentuknya Indonesia pada 1945. Seluruh kebudayaan local yang berasal dari suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia. Simbolisasi tersebut biasanya digambarkan dalam lagu daerah, kerajinan tangan, tarian, dan kekhususan tempat atau lokasi daerah seperti rumah adat dan potensi pariwisata daerah. Kekayaan budaya tersebut harus dilestarikan sebagai jalan menjadi bangsa yang berkarakter.
Oleh karena itu, konsepsi pendidikan selanjutnya harus dikombinasikan dengan bauran budaya. Alasan paling rasional adalah bahwa kebudayaan suatu bangsa tidak pernah statis. Ia senantiasa dinamis dan beradaptasi secara dialektis dan kreatif dengan dinamika masyarakat. Adakalnya ia memengaruhi, juga sebaliknya, dipengaruhi masyarakat. Kebudayaan mengalir dalam gerak saling – pengaruh yang tanpa akhir dalam denyut nadi kehidupan. Terkadang arusnya kecil, terkadang besar, bahkan ia bisa menjadi gelombang besar yang memengaruhi kesadaran dan laku kita. Kalau kini orang berbicara tentang krisis masyarakat yang mendalam, bukankah ia juga berbicara tentang krisis budaya, krisis nilai, krisis kehidupan itu sendiri. Pentingnya pendidikan budaya sama pentingnya seperti membangun karakter kebangsaan.
Disisi lain, salah satu hal yang menjadi ironi dunia pendidikan sekarang adalah masalah pemerataan akses pendidikan di Indonesia yang belum signifikan. Dari laporan UNDP menunjukkan angka Human Development Index (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indicator pemerataan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Angka putus sekolah masih tinggi. Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (KPA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Penambahan jumlah tersebut disebabkan keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk, dan tingkat kemiskinan yang terus bertambah kurang lebih 25 % dari jumlah penduduk Indonesia.
Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat tinggi. Pada 2006 jumlahnya masih sekitar 9,7 juta anak, namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Dapat dibayangkan, gairah belajar dan harapan 12 juta anak Indonesia terpaksa dipadamkan. Angka putus sekolah tersebut merupakan bukti apatis pemerintah terhadap dunia pendidikan. Hal itu sebenarnya dapat diatasi jika pemenuhan anggaran pendidikan 20 % - sebagaimana diamanatkan pasal 31 ayat 4 UUD (Amandemen Keempat)- dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan.
Belum lagi nasib pendidikan di daerah pedalaman. Masih banyaknya sekolah yang tidak memiliki guru dan sarana belajar yang memadai, misalnya akibat runtuhnya bangunan sekolah yang tidak layak, para siswa menjadi trauma untuk duduk dan belajar kembali di sekolah. Fasilitas pendidikan yang dan kualitas guru yang terbatas telah mengubur impian dan cita-cita anak bangsa untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Selain itu masih tertanam anggapan dari lingkungan masyarakat tertentu yang menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Kira-kira tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami dengan realita “Laskar Pelangi”, dengan keterbatasan pendidikan mereka berjuang mewujudkan mimpi mengenyam pendidikan.
Disisi lain, Menurut F.D. Rosevelt bahwa dalam New Deal, sekolah merupakan hak yang menyeluruh. Artinya setiap orang berhak atas pendidikan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Selain itu, pendidikan juga memegang peran yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan : sosial, ekonomi, politik, budaya. Dengan pendidikan sebuah bangsa bisa bermartabat, mandiri, dan kompetitif.
Bila pemerataan akses pendidikan ke berbagai daerah pelosok tidak signifikan, pembangunan manusia dengan karakter budaya tertentu tidak akan menyentuh aspek identitas yang akan mengarahkan kita pada esensi nasionalisme. Lebih dari itu, bangsa kita seperti lupa dan tidak menyadari karakternya sendiri.

Cultural Building of Education
Pendidikan seharusnya memaslahatkan manusia dengan pilar-pilar kompetensi kehidupan. Namun karena aksesnya tidak merata, masih banyak warga masyarakat yang belum termaslahatkan secara ekonomi dan sosial dalam kehidupan bernegara baik sebagai konsepsi politik dan bangsa maupun sebagai konsepsi budaya. Cultural Building of Education dengan basis kedaulatan merupakan suatu strategi akses pemerataan pendidikan yang terkonsentrasi pada daerah terpencil, minim akses, dan sarana pendidikan dengan kekuatan budaya yang dimiliki. Karena pendidikan adalah hak untuk semua dan budaya adalah karakter dari sebuah bangsa. Diharapkan muncul benih-benih generasi yang dapat mengemban masa depan seperti komunitas “Laskar Pelangi” yang penulis analogikan sebagai kebangkitan pendidikan daerah terpencil.
Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting, yaitu equality dan equity. Equality mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan dengan kesempatan yang sama.
Coleman dalam bukunya Equality of Educational Oppurtunity mengemukakan konsep pemerataan, yakni pemerataan aktif dan pemerataan pasif. pemerataan aktif adalah bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid mendaftar agar memperoleh hasi belajar setinggi-tingginya. Sedangkan pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah. Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.
Dengan demikian, dimensi pemeratan pendidikan mencakup equality of access, equality of survival, equality of output, dan equality of outcome. Untuk sebuah perwujudan education for all perlu dilakukan strategi perancangan penguatan (reinforcement) sampai ke tingkat daerah terpencil. Hal ini meliputi : Pertama, otonomi pendidikan. Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan, akses pendidikan akan lebih merata. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 ; “Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, termasuk prioritas pendidikan”.
Dalam otonomi pendidikan yang optimal akan tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) dengan pengembangan infrastruktur sosial yang berangkat dari unsure kekeluargaan di tengah masyarakat. Bentuknya bisa saja informal, dikembalikan kepada kearifan lokal dan budaya yang dimiliki masyarakat setempat, dengan potensi dan motivasi menuju masyarakat edukatif. Selain itu, hal lain yang penting ialah memaksimalkan pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, seperti peningkatan guru di daerah pedalaman dengan beasiswa dan bantuan buku gratis.
Kedua, menerapkan sosiologi pendidikan daerah yang integral. Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosial dan kultural, proses pengembangan kepribadian, dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan. Dengan penerapan sosiologi pendidikan yang integral, dihasilkan suatu iklim yang menempatkan pendidikan sebagai pusat perhatian dalam lapisan masyarakat. Sehingga, kebutuhan masyarakat akan pendidikan dapat tersalurkan.
Selain itu paradigma yang biasanya muncul dari education for all akan berubah menjadi education from all untuk kebudayaan. Karena masyarakat akan mencoba untuk memandirikan dirinya dengan penghidupan yang berbasis dari pendidikan. D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisis aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya, akan lebih maksimal dan berkarakter bila pendidikan kembali pada kekuatan budaya.
Ketiga, merancang arsitek pendidikan pembaruan dengan Dostoyevsky ala Indonesia. Makna Dostoyevsky dikutip dari buku Dostoyevsky, Menggugat manusia modern, karya Henry S. Sabari, adalah memanusiakan manusia dengan cinta kasih, pendidikan harusnya menggunakan hati, yang berbasis dari kebudayaan kita. Aliran ini berasal dari Rusia, yang awalnya menentang hakikat kehidupan manusia yang dijadikan sebagai benda. Di sini ada kesamaan bahwa pendidikan bertujuan memanusiakan manusia. Lebih dari itu, penulis mengorelasikan hal teersebut seperti konsep Paolo Freire dengan pendidikan kritis yang memerdekakan. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan. Lewat jalur ini kita dapat melihat bahwa kebudayaan kita mamanusiakan kita dengan identitas.
Dalam paparan tulisan ini, penulis mengharapkan dari ketiga solusi tadi dapat berjalan seimbang, selaras, dan saling melengkapi. Semoga menjadikan Indonesia lebih bergairah dengan pendidikan, dan mewujudkan pendidikan dari semua (education for all) untuk negeri dan kemandirian bermartabat bangsa dengan mematri kebudayaan dalam pola pikir pembangunan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar