MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
GRASS ROOTS
Oleh: Imadi (NPM. 2010 – 40 - 051)
I.PENDAHULUAN
Model atau rancangan bahkan model dalam kurikulum adalah komponen yang sangat menentukan keberhasilan sebuah proses pendidikan. Mendesain kurikulum bukanlah pekerjaan yang ringan. Ia membutuhkan kajian yang komprehensif dalam rangka mendapatkan hasil yang dapat mengakomodir tuntutan dan perubahan zaman. Mendesain kurikulum berarti menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum, sama seperti arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkonstruksi bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan dibangun.
Para ahli kurikulum berupaya merumuskan macam-macam desain kurikulum. Eisner dan Vallance (1974) menyebutnya menjadi lima jenis, yaitu model pengembangan proses kognitif, kurikulum sebagai teknologi, kurikulum sebagai aktualisasi diri, kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, dan kurikulum rasionalisasi akademis. Mc Neil (1977) membagi desain kurikulum menjadi empat model, yaitu model kurikulum humanistis, kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum teknologi, dan kurikulum subjek akademik.
Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) membagi desain kurikulum menjadi kurikulum subject matter disiplin, kompetensi yang barsifat spesifik atau kurikulum teknologi, kurikulum sebagai proses, kurikulum sebagai fungsi sosial, dan kurikulum yang berdasarkan minat individu. Sedangkan Shane (1993) membagi desain kurikulum menjadi empat desain, yaitu desain kurikulum yang berorientasi pada masyarakat, desain kurikulum yang berorientasi pada anak, desain kurikulum yang berorientasi pada pengetahuan, dan desain kurikulum yang bersifat eklektik.
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial.
Ada beberapa model pengembangan kurikulum :
1. Admistrative Model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi.
2. Grass Root Model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass root karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah.
Mencermati hal diatas maka penulis tidak dalam upaya untuk menyajikan kurikulum dari asfek model-modelnya secara keseluruhan. Namun akan lebih mencermati sekaligus mengkaji kurikulum sesuai dengan judul yang ditugaskan kepada penulis, yaitu model pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan Grass Roots.
II.PEMBAHASAN
Dilihat dari cakupan pengembangannya ada dua pendekatan yang dapat diterapkan. Pertama, pendekatan top down atau pendekatan administrative, yaitu pendekatan dengan sistem komando dari atas ke bawah; dan kedua adalah pendekatan grass root, atau pengembangan kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah lalu disebarluaskan pada tingkat atau skala yang lebih luas, dengan istilah singkat sering dinamakan pengembangan kurikulum dari bawah ke atas.
Kalau pada pendekatan administratif inisiatif pengembangan kurikulum berasal dari para pemegang kebijakan kemudian turun ke stafnya atau dari atas ke bawah, maka dalam model grass roots, inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari lapangan atau dari guru-guru sebagai implementator, kemudian menyebar pada lingkungan yang lebih luas, makanya pendekatan ini dinamakan juga pengembangan kurikulum dari bawah ke atas. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curriculum improvement), walaupun dalam skala yang terbatas mungkin juga digunakan dalam pengembangan kurikulum baru (curriculum construction).
Dalam kondisi yang bagaimana kiri-kira guru dapat berinisiatif memperbarui dan / atau menyempurnakan kurikulum dengan pendekatan semacam ini ? Ya, minimal ada syarat sebagai kondisi yang memungkinkan pendekatan grass roots dapat berlangsung. Pertama, manakala kurikulum itu benar-benar bersifat lentur sehingga memberikan kesempatan kepada setiap guru secara lebih terbuka untuk memperbarui atau menyempurnakan kurikulum yang sedang diberlakukan. Kurikulum yang bersifat kaku, yang hanya mengandung petunjuk dan persyaratan teknis sangat sulit dilakukan pengembangannya dengan pendekatan ini.
Kedua, pendekatan grass roots hanya mungkin terjadi manakala guru memiliki sikap professional yang tinggi disertai kemampuan yang memadai. Sikap professional itu biasanya ditandai dengan keinginan untuk mencoba dan mencoba sesuatu yang baru dalam upaya untuk meningkatkan kinerjanya. Seorang professional itu akan selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya dengan menggali sumber-sumber pengetahuan. Ia juga akan selalu mencoba dan mencoba untuk mencapai kesempurnaan. Ia tidak akan puas dengan hasil yang minimal. Ia akan bisa tenang manakala hasil kinerjanya sesuai dengan target maksimalnya. Dalam kondisi yang demikianlah grass roots akan terjadi.
Kemudian bagaimana dengan kenyataan di Indonesia ? banyakkah guru-guru yang mempunyai kemauan dan kemampuan seperti ini ? Baiklah sekarang jangan terlalu hiraukan keadaan itu secara berlebihan, yang terpenting adalah kita harus mulai memahami bagaimana pelaksanaan pendekatan grass roots ini dilakukan. Ada beberapa langkah penyempurnaan kurikulum yang dapat kita lakukan manakala menggunakan pendekatan grass roots ini.
Pertama, menyadari adanya masalah. Pendekatan grass roots biasanya diawali dari keresahan guru tentang kurikulum yang berlaku. Misalnya dirasakan ketidakcocokan penggunaan strategi pembelajaran, atau kegiatan evaluasi seperti yang diharapkan, atau masalah kurangnya motivasi belajar siswa sehingga kita merasa terganggu, dan lain sebaginya. Pemahaman dan kesadaran guru akan adanya suatu masalah merupakan kunci dalam grass roots. Tanpa adanya kesadaran masalah tidak mungkin grass roots dapat berlangsung. Kedua, mengadakan refleksi. Kalau kita merasakan adanya masalah, maka selanjutnya kita berusaha mencari penyebab munculnya masalah tersebut. Refleksi dilakukan dengan mengkaji literatur yang relevan misalnya dengan membaca buku, jurnal hasil penelitian yang relevan dengan latar belakangnya. Dengan pemahaman tersebut, akan memudahkan bagi guru dalam mendesain lingkungan yang dapat mengaktifkan siswa memperoleh pengalaman belajar.
Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa. Pertama, pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setiap tujuan akan menentukan pengalaman pembelajaran. Kedua, setiap penglaman belajar harus memuaskan siswa. Ketiga, Setiap rancangan pengalaman siswa belajar sebaiknya melibatkan siswa. Keempat, mungkin dalam satu penglaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda. Terdapat beberapa bentuk pengalaman belajar yang dapat dikembangkan, misalkan pengalaman belajar untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa, pengalaman belajar untuk membantu siswa dalam mengumpulkan sejumlah informasi, pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan sikap sosial, dan pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan minat.
Untuk lebih merinci, penulis akan mengulas kembali secara rinci, bahwa inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass roots karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah : Perencana, pelaksana, penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dari beberapa kajian di atas, maka dapat ditemukan ciri-ciri dari grass roots model yaitu :
1.Guru memiliki kemampuan yang professional.
2.Keterlibatan langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan dan penentuan evaluasi.
3.Muncul konsensus tujuan, prinsip – prinsip maupun rencana – rencana diantara para guru.
4.Bersifat desentralisasi dan demokratis.
Pengembang Kurikulum
Perlu disadari bahwa kurikulum itu senantiasa berkembang secara dinamis, atau bahkan bisa juga dilakukan perubahan dalam rangka penyempurnaan kurikulum itu sendiri, tujuannya agar kurikulum yang ada tersebut dapat menjawab persoalan dan perkembangan zaman yang ada diwaktu itu dan masa datang. Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi yaitu administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru dan orang tua murid serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terus menerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum adalah administrator, guru dan orang tua.
1. Peranan para administrator pendidikan :
Para administrator pendidikan terdiri atas :
a.Direktur bidang pendidikan
b.Kepala pusat pengembangan kurikulum
c.Kepala kantor wilayah
d.Kepala kantor kabupaten, kecamatan
e.Kepala Sekolah
Peran para administrator ditingkat pusat (direktur dan kepala pusat) yaitu :
Menyusun dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum. Atas dasar dari peranan para administrator pusat, maka para administrator daerah (kepala kantor wilayah, kabupaten, kecamatan, kepala sekolah) mengembangkan kurikulum sekolah bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Para kepala sekolah ini sesungguhnya yang secara terus-menerus terlibat dalam dalam mengembangkan dan mengimplementasi kurikulum, memberikan dorongan dan bimbingan kepada guru-guru. Walaupun dapat mengembangkan kurikulum sendiri, tetapi dalam pelaksanaannya sering harus didorong dan dibantu oleh para administrator.
Administrator lokal harus bekerja sama dengan kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mengkomunikasikan sistem pendidikan kepada masyarakat, serta mendorong pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di kelas. Peranan kepala sekolah lebih banyak berkenaan dengan implementasi kurikulum di sekolahnya. Pimpinan tertinggi di lingkungan sekolah tidak lain adalah kepala sekolah. Kepala sekolah juga mempunyai peranan kunci dalam menciptakan kondisi untuk pengembangan kurikulum di sekolahnya. Ia merupakan figur kunci di sekolah, kepemimpinan kepala sekolah sangat mempengaruhi suasana sekolah dan pengembangan kurikulum.
2. Peranan para ahli
Mengacu pada kebijaksanaan yang ditetapakan pemerintah, maka peranan para ahli yakni :
a.Memberikan alternatif konsep pendidikan dan model kurikulum yang dipandang paling sesuai dengan keadaan dan tuntuatan di atas.
b.Berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum baik dalam tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, lokal bahkan sekolah seperti:
c.Memilih materi bidang ilmu yang mutakhir dan sesuai dengan pengembangan tuntutan masyarakat.
d.Menyusun materi ajaran dalam sekuens yang sesuai dengan struktur keilmuan, tetapi sangat memudahkan para siswa untuk mempelajarinya.
3. Peranan Guru.
Guru merupakan pihak yang telibat secara langsung dalam implementasi kurikulum di sekolahnya. Oleh karena itu guru memegang peranan yang sangat penting baik di dalam perencanaan maupu pelaksanaan kurikulum. Beberapa peran guru dalam upaya menyukseskan implementasi kurikulum adalah sebagai berikut :
a.Sebagai perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya.
Sebagai penerjemah kurikulum yang datang dari atas.
b.Mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya.
Melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum.
c.Menilai perilaku dan prestasi belajar siswa si kelas.
d.Menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih luas.
e.Sebagai seorang komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat belajar, pencoba, penyusunan organisasi, manager sistem pengajaran.
f.Pembimbing baik di sekolah maupun di masyarakat dalam hubungannya dengan pelaksanan pendidikan seumur hidup.
g.Sebagai pelajar dalam masyarakatnya.
h.Menciptakan kegiatan belajar mengajar, situasi belajar yang aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu mendorong kreativitas anak.
4. Peranan orang tua murid.
Peranan orang tua murid dalam pengembangan kurikulum yaitu :
Melalui pengamatan dalam kegiatan belajat di rumah, laporan sekolah, partisipasi dalam kegiatan sekolah dalam bentuk pelaksanaan kegiatan belajar yang sewajarnya, minat yang penuh, usaha yang sungguh-sungguh. Kegiatan –kegiatan tersebut akan memberikan umpan balik bagi penyempurnaan kurikulum yang sedang dilaksanakan.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah dibahas pada bagian pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi.
Model pengembangan Grass roots ini merupakan inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass roots karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah. Pendekatan grass roots hanya mungkin terjadi manakala guru memiliki sikap professional yang tinggi disertai kemampuan yang memadai. Sikap professional itu biasanya ditandai dengan keinginan untuk mencoba dan mencoba sesuatu yang baru dalam upaya untuk meningkatkan kinerjanya.
Seorang professional itu akan selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya dengan menggali sumber-sumber pengetahuan. Ia juga akan selalu mencoba dan mencoba untuk mencapai kesempurnaan. Ia tidak akan puas dengan hasil yang minimal. Ia akan bisa tenang manakala hasil kinerjanya sesuai dengan target maksimalnya. Dalam kondisi yang demikianlah grass roots akan terjadi.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Dacholfany, M Ihsan, Model – Model Pengembangan Kurikulum (Artikel Jurnal), Dosen Univ. Imam Al-Ghozali Yayasan Tunas Islam, Jakarta.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/model-pengembangan- kurikulum, Akses 20 Januari 2011.
Sukmadinata, Nana Syaodih, 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, Bandung, 2002.
Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran, Kencana Prenada media group, Jakarta, 2010.
Senin, 14 Maret 2011
Makaalah: Konsep Islam Tentang Etika Profesional dalam Pendidikan
KONSEP ISLAM TENTANG
ETIKA PROFESIONAL DALAM PENDIDIKAN
Oleh: Imadi (NPM. 2010 – 40 – 051)
I. PENDAHULUAN
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manusia itu sendiri menggunakan dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Sekaitan dengan hal di atas dalam dunia pendidikan pada dasarnya sebagai suatu instrument strategis pengembangan potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Potensi yang dikembangkan itu akan diharapkan mampu menjadi karakteristik spiritual manusia. Dengan karakteristik itu manusia harus menjadi makhluk religius. Dalam menggali konsep pendidik yang ditawarkan oleh ulama muslim dan/atau ilmuwan Barat, perlu dipertimbangkan adalah muatan moral dan rasionalnya. Mengadopsi konsep apa pun (termasuk pendidik) yang hanya bermuatan moral, akan berimbas pada tumpulnya sebuah daya kreativitas rasional dalam pendidikan (Islam). Begitu juga sebaliknya, mengadopsi pemikiran yang hanya bermuatan rasional tanpa mempertimbangkan muatan moralnya, akan berimplikasi pada keringnya perilaku bermoral, dan ini akan berefek pada krisis sosial.
Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan (balancing) antara keputusan moral, etika dan rasional dalam pendidikan (Islam). Dari situ, menarik untuk menelaah konsep (pendidik) dalam pendidikan Islam yang memang secara esensial mempertimbangkan aspek moral, etika dan rasional. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik merupakan orang tua; pewaris para Nabi; pembimbing; figur sentral; motivator (pendorong); orang yang semestinya memahami tingkat kognisi (intelektual) peserta didik, dan teladan bagi peserta didik. Islam juga memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan, Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life education).
Sehubungan dengan hal di atas, maka pada makalah ini akan penulis menguraikan bagaimana konsep Islam berbicara tentang etika professional dalam pendidikan, sesuai dengan judul makalah yaitu “Konsep Islam Tentang Etika Profesional dalam Pendidikan”
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan dengan sebutan moral, yang juga berasal dari bahasa Yunani, berarti kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral pelaksanaannya dalam kehidupan. Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.
Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami sebagai teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai yang baik dan yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam pada batas tertentu ialah aliran Mu’tazilah.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik jika sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek itu bisa berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy’ariyah. Menurut faham Asy’ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa menusia itu bagaikan ‘anak kecil’ yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
2. Etika Dalam Pandangan Islam
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam Islam. Sedangkan telah disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mu’tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy’ariyah. Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam al-Qur’an pesan etis selalu saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fitrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik. Sekedar sebagai perbandingan Alex Inkeles menyebutkan mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah lampau; rasa ketepatan waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan keyakinan pada keadilan yang biasa diratakan.
Selanjutnya, berkaitan dengan etika (sikap, perilaku, dan tanggung jawab) seorang pendidik profesional dalam menjalankan tugasnya, al-Ghazali mengemukakan beberapa hal yang harus dimiliki dan dilakukan seorang pendidik. Hal ini sebagai landasan etika-moral bagi para pendidik (guru/dosen/seprofesinya). Gagasan al-Ghazali tersebut antara lain sebagai berikut :
(Pertama) Pendidik merupakan Orang Tua bagi Peserta Didik. Seorang pendidik harus memiliki kasih sayang kepada peserta didiknya sebagaimana kasih sayangnya terhadap anaknya sendiri, jika ia ingin berhasil dalam menjalankan tugasnya. Sebuah hadits menyatakan: “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seperti seorang ayah bagi anaknya”. Hadits tersebut menuntut seorang pendidik agar tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi harus bertanggung jawab penuh seperti orang tua kepada anak. Jika setiap orang tua memikirkan masa depan anaknya, bagaimana anaknya besok hidup, maka pendidik pun harus memikirkan masa depan peserta didiknya. Sayangnya, interaksi belajar antara pendidik dan peserta didik saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak. Pendidik sering tidak bisa tampil sebagai figur yang pantas diteladani oleh peserta didik, apalagi sebagai orang tua.
Oleh karena itu, seringkali pendidik dipandang dan dinilai oleh peserta didik sebagai orang lain yang mengajar dan kemudian menerima bayaran. Kalau demikian, bagaimana pendidik akan bisa mengarahkan, membimbing, serta memberi petunjuk kepada peserta didiknya menuju pendewasaan diri dan kehidupan yang mandiri. Dari itu, waspadalah wahai para pendidik, perankanlah profesi anda seperti orang tua yang bertanggung jawab penuh kepada anak, jangan sia-siakan tugas mulia anda dan jangan lengah dalam menanamkan nilai-nilai etik-agamis kepada parapeserta didik. Patut direnungkan apa yang dikatakan al-Ghazali; “Hak guru (pendidik) atas muridnya (peserta didik) lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua sering hanya menjadi penyebab adanya anak sekarang di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal”.
(Kedua) Pendidik sebagai Pewaris Para Nabi. Dalam menjalankan tugasnya, pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi, yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT. dan bukan mengejar materi. Para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan yang kontra dengan al-Ghazali dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul SAW. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah SAW; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas yang bernilai ibadah yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
(Ketiga) Pendidik sebagai pembimbing bagi peserta didik. Di samping dengan rasa ikhlas dan kasih sayang, pendidik harus membimbing peserta didik dengan sabar dan tekun. Pendidik harus memberikan pengarahan kepada peserta didik agar mempelajari ilmu secara sistematis, setahap demi setahap. Hal ini karena manusia tidak bisa merangkum ilmu secara serempak dalam satu masa perkembangan. Di samping itu pendidik jangan lupa memberi nasihat kepada peserta didik bahwa menuntut ilmu itu bukan dengan niat mencari pangkat dan kemewahan dunia, namun menuntut ilmu hakikatnya adalah untuk mengembangkan ilmu itu sendiri, menyebarluaskannya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Hal itu sebagaimana pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya seorang pendidik tidak lupa memberikan nasihat kepada murid (peserta didik), yakni dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat sebelumnya; dan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”
(Keempat) Pendidik sebagai Figur Sentral bagi Peserta Didik. Al-Ghazali memberi nasihat kepada para pendidik agar memposisikan diri sebagai teladan dan pusat perhatian bagi peserta didiknya. Ia harus memiliki kharisma yang tinggi. Ini merupakan faktor penting bagi pendidik untuk membawa peserta didik ke arah yang dikehendaki. Di samping itu, kewibawaan juga menunjang perannya sebagai pembimbing, penuntun, dan penunjuk jalan bagi peserta didik. Disamping pendidik sebagai orang tua peserta didik dan sifat kasih sayang yang dimilikinya, adalah bijaksana apabila pada saat tertentu pendidik juga sebagai teman belajar peserta didik sehingga terjadi proses dialogis. Hal ini dilakukan agar tidak salah arah dalam memberikan bimbingan ke arah terwujudnya cita-cita pendidikan yang dikehendaki.
(Kelima) Pendidik sebagai motivator (pendorong) bagi peserta didik.
Sesuai dengan pandangannya bahwa manusia tidak bisa merangkum pengetahuan sekalaigus dalam satu masa, al-Ghazali menyarankan kepada para pendidik agar bertanggung jawab kepada satu bidang ilmu saja. Walaupun demikian, al-Ghazali mengingatkan agar seorang pendidik tidak mengecilkan, merendahkan dan meremehkan bidang studi lain. Sebaliknya, ia harus memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkaji berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kalaupun harus bertanggung jawab kepada berbagai bidang ilmu pengertahuan, pendidik haruslah cermat dan memperhatikan kemampuan peserta didik, sehingga bisa maju setingkat demi setingkat (steep by steep).
Dengan demikian, saran al-Ghazali agar pendidik selalu memperhatikan kemampuan peserta didik sangat perlu untuk diindahkan. Menurut al-Ghazali, Seorang pendidik sebagai penanggung jawab pada salah satu bidang studi tidak boleh menjelek-jelekkan mata pelajaran atau bidang studi yang lain, sebab hal itu merupakan budi tercela bagi pendidik dan harus dijauhi. Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang pendidik yang bertanggung jawab pada satu bidang studi membuka jalan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mempelajari bidang studi yang lain. Kalau ia bertanggung jawab dalam berbagai bidang studi, hendaklah menjaga kemampuan peserta didik setingkat demi setingkat.
(Keenam) Pendidik seharusnya memahami tingkat kognisi (Intelektual) Peserta Didik. Menurut al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan perkembangan intelektualnya. Anak berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6-9 tahun, anak berusia 6-9 tahun berbeda dengan anak usia 9-12 tahun, dan seterusnya. Atas dasar inilah al-Ghazali mengingatkan agar pendidik dapat menyampaikan ilmu dalam proses belajar mengajar dengan cermat dan sesuai dengan perkembangan tingkat pemahaman peserta didik. Dari itu metode yang digunakan harus tepat dan sesuai. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Pendidik hendaklah menyampaikan bidang studi yang sesuai menurut tenaga pemahaman peserta didik”. Jangan memberikan bidang studi yang belum saatnya untuk diberikan, nanti peserta didik lari atau otaknya tumpul.
(Ketujuh) Pendidik sebagai teladan bagi peserta didik. Dalam rangka mengajak manusia ke jalan yang benar, Rasulullah dibekali oleh Allah akhlak yang mulia sehingga beliau menjadi contoh yang baik (teladan) bagi setiap umat manusia. Apa yang keluar dari lisannya sama denga apa yang ada di dadanya, sehingga perbuatannya pun sama dengan perkataannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik juga harus demikian dalam mengamalkan ilmunya, tindakannya harus sesuai dengan apa yang telah dinasihatkan kepada peserta didik. Ajaran fundamental yang harus diberikan adalah yang berkaitan dengan etika, moral (akhlak), dimana semuanya terhimpun dalam ajaran agama.
Dengan demikian yang disebut dengan etika menurut konsep Islam adalah sebagai perangkat nilai yang berisikan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Allah (iman), manusia dan alam semesta dari sudut pandang historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk mengabdi pada Allah SWT, di sinilah peran orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan damai sebagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).
3. Mengenal Konsep Profesionalisme
Dalam Kamus Besar Indonesia, profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional. Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional. Artinya sebuah term yang menjelaskan bahwa setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya atau profesinya.
Menurut Supriadi, penggunaan istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, ada yang sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya. Konsep profsionalisme, seperti dalam penelitian yang dikembangkan oleh Hall, kata tersebut banyak digunakan peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang profesinya, yang tercermin dari sikap dan perilaku mereka. Konsep profesionalisme dalam penelitian Sumardi, dijelaskan bahwa ia memiliki lima muatan atau prinsip, yaitu:
Pertama, afiliasi komunitas (community affilition) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal atau kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi. Kedua, kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand) merupakan suatu pendangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus.
Ketiga, keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan “orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. Keempat, dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan tetap untuk melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik dipandang berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.
Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan ruhani dan setelah itu baru materi, dan yang kelima, kewajiban sosial (social obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Kelima pengertian di atas merupakan kreteria yang digunakan untuk mengukur derajat sikap profesional seseorang. Berdasarkan defenisi tersebut maka profesionalisme adalah konsepsi yang mengacu pada sikap seseorang atau bahkan bisa kelompok, yang berhasil memenuhi unsur-unsur tersebut secara sempurna.
Selanjutnya akan dibahas mengenai profesional, dalam rangka untuk mengerti hakikat profesional, ada beberapa kata kunci yang disimak yaitu profesi, profesionalsme dan profesional. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak dsiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu.
Profesionalisme adalah jabatan atau pekerjaan yang dilandasi kompetensi dibidangnya, berupa pengetahuan, ketrampilan dan keahlian khusus, sebagai kualitas tindak tanduk yang mencermnkan tenaga profesional. Menurut Ahmad Tafsir profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang yang profesional adalah orang memiliki profesi. Profesional menunjuk pada dua hal, pertama orang yang menyandang suatu profesi, kedua penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berkaitan langsung dengan ketrampilan mengajar, penguasaan terhadap materi pelajaran dan penguasaan penggunaan metodologi pengajaran serta termasuk didalam kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah, inilah keahlian khusus yang harus dimiliki oleh guru yang profesional yang telah menempuh pendidikan khusus keguruan.
Dengan demikian profesional dalam Islam khususnya dibidang pendidikan, seseorang harus benar-benar mempunyai kualitas keilmuan kependidikan dan kenginan yang memadai guna menunjang tugas jabatan profesinya, serta tidak semua orang bisa melakukan tugas dengan baik. Apabila tugas tersebut dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:
إِذَا وُسِدًا ْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَةُ. (رُوَاهُ الْبُخَارِيْ)
”Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”.
Firman Allah SWT QS. al-Isra’: 84
Artinya :
“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.
4. Eksplorasi Singkat Tentang Pendidikan (Islam)
Secara sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sementara pendapat lain mengatakan, bahwa pendidikan mencakup berbagai dimensi, antara lain akal, perasaan, kehendak, dan seluruh unsur atas kejiwaan manusia serta bakat-bakat dan kemampuannya. Oleh karena itu pendidikan merupakan usaha pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menuju kesempurnaan.
Bagaimana dengan pendidikan Islam? Menurut Abudin Nata, pendidikan Islam adalah bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh pendidik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, rasa, intuisi, dan sebagainya) serta raga peserta didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.
Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih tehnis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam. Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad SAW. Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”
Paradigma pendidikan Islam tidak pernah memisahkan antara akal dan jiwa. Menurut Malik Fadjar (1995), dalam pendidikan Islam, Islam terkadang ditempatkan sebagai sumber nilai pendidikan, atau terkadang dijadikan bidang studi, dan/atau dijadikan sebagai keduanya; disamping sebagai sumber nilai juga sebagai bidang studi yang dipelajari dalam proses pendidikan. Dengan demikian, maka pendidikan Islam selalu mendasarkan konsep-konsepnya kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits (dan mungkin juga pemikiran para ulama terutama Muslim).
Konsep pendidik yang dirumuskan al-Ghazali ini tampaknya masih relevan untuk diaplikasikan dalam kegiatan proses belajar mengajar di masa sekarang tentunya dengan berbagai pengolahan, karena konsep tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas pendidik dan peserta didik, juga akan mendorong terciptanya akhlak yang mulia di kalangan peserta didik, sebagaimana hal yang demikian itu menjadi cita-cita pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan nasional bahkan dunia umumnya.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, terdapat perbedaan antara pengertian pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Pendidikan secara umum merupakan proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad. Jadi, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-ukuran Islam.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebagaimana telah bahas pada bagian pembahasan makalah ini, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa yang disebut dengan etika menurut konsep Islam adalah sebagai perangkat nilai yang berisikan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Allah (iman), manusia dan alam semesta. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Islam menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk mengabdi pada Allah SWT. Dan membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).
Profesional dalam Islam khususnya dibidang pendidikan, diartikan bahwa seseorang harus benar-benar mempunyai kualitas keilmuan kependidikan dan kenginan yang memadai guna menunjang tugas jabatan profesinya, serta tidak semua orang bisa melakukan tugas dengan baik. Apabila tugas tersebut dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:
إِذَا وُسِدًا ْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَةُ. (رُوَاهُ الْبُخَارِيْ)
Artinya:
”Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”.
Tentang pendidikan secara umum diartikan sebagai proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad. Jadi, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-ukuran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003).
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, Wacana Ilmu 1998).
Eddy Wibowo, Mungin, Paradigma Bimbingan dan Konseling, (Semarang; DEPDIKNAS, 2001).
http://www.hardja-sapoetra.co.cc/2010/03/aksiologi-etika-dan-estetika-filsafat. html, (di akses 25 januari 2011).
Hidayat,Qomarudin, Etika Dalam Kitab Suci Dan Relevansinya Dalam Kehidupan
Jurnal Manajemen dan Sistem Informasi, (Semarang : Undip, Vol. 1- 08 - 2002).
Modern Studi Kasus Di Turki, (Jakarta : Paramadina), dalam kumpulan artikel.
Nata, Abuddin, Metode Studi Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III.
Saefuddin Anshari, Endang, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Usaha Enterprise, Jakarta: 1976.
Supriadi, Dedi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998).
Sri Guntur,Yohanes, et al., Analisis Pengalaman Terhadap Profesionalisme dan Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Hasil Kerja, Jurnal Manajemen dan Sistem Informasi Undip, Semarang, Vol. 1 Agustus 2002.
Sadulloh,Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. (Bandung : Penerbit Alfabeta).
Sairin, Sjafri, Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Tenaga Profesi [LPTP], 2003).
Sumardi, Sumardi, Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme Serta Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja, Tesis, Undip, 2001.
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta : Sipress 1994).
Yayasan Paramadina, www.paramadina.com, (diakses tanggal 25 Januari 2011).
ETIKA PROFESIONAL DALAM PENDIDIKAN
Oleh: Imadi (NPM. 2010 – 40 – 051)
I. PENDAHULUAN
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manusia itu sendiri menggunakan dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Sekaitan dengan hal di atas dalam dunia pendidikan pada dasarnya sebagai suatu instrument strategis pengembangan potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Potensi yang dikembangkan itu akan diharapkan mampu menjadi karakteristik spiritual manusia. Dengan karakteristik itu manusia harus menjadi makhluk religius. Dalam menggali konsep pendidik yang ditawarkan oleh ulama muslim dan/atau ilmuwan Barat, perlu dipertimbangkan adalah muatan moral dan rasionalnya. Mengadopsi konsep apa pun (termasuk pendidik) yang hanya bermuatan moral, akan berimbas pada tumpulnya sebuah daya kreativitas rasional dalam pendidikan (Islam). Begitu juga sebaliknya, mengadopsi pemikiran yang hanya bermuatan rasional tanpa mempertimbangkan muatan moralnya, akan berimplikasi pada keringnya perilaku bermoral, dan ini akan berefek pada krisis sosial.
Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan (balancing) antara keputusan moral, etika dan rasional dalam pendidikan (Islam). Dari situ, menarik untuk menelaah konsep (pendidik) dalam pendidikan Islam yang memang secara esensial mempertimbangkan aspek moral, etika dan rasional. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik merupakan orang tua; pewaris para Nabi; pembimbing; figur sentral; motivator (pendorong); orang yang semestinya memahami tingkat kognisi (intelektual) peserta didik, dan teladan bagi peserta didik. Islam juga memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan, Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life education).
Sehubungan dengan hal di atas, maka pada makalah ini akan penulis menguraikan bagaimana konsep Islam berbicara tentang etika professional dalam pendidikan, sesuai dengan judul makalah yaitu “Konsep Islam Tentang Etika Profesional dalam Pendidikan”
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan dengan sebutan moral, yang juga berasal dari bahasa Yunani, berarti kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral pelaksanaannya dalam kehidupan. Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.
Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami sebagai teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai yang baik dan yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam pada batas tertentu ialah aliran Mu’tazilah.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik jika sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek itu bisa berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy’ariyah. Menurut faham Asy’ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa menusia itu bagaikan ‘anak kecil’ yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
2. Etika Dalam Pandangan Islam
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam Islam. Sedangkan telah disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mu’tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy’ariyah. Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam al-Qur’an pesan etis selalu saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fitrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik. Sekedar sebagai perbandingan Alex Inkeles menyebutkan mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah lampau; rasa ketepatan waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan keyakinan pada keadilan yang biasa diratakan.
Selanjutnya, berkaitan dengan etika (sikap, perilaku, dan tanggung jawab) seorang pendidik profesional dalam menjalankan tugasnya, al-Ghazali mengemukakan beberapa hal yang harus dimiliki dan dilakukan seorang pendidik. Hal ini sebagai landasan etika-moral bagi para pendidik (guru/dosen/seprofesinya). Gagasan al-Ghazali tersebut antara lain sebagai berikut :
(Pertama) Pendidik merupakan Orang Tua bagi Peserta Didik. Seorang pendidik harus memiliki kasih sayang kepada peserta didiknya sebagaimana kasih sayangnya terhadap anaknya sendiri, jika ia ingin berhasil dalam menjalankan tugasnya. Sebuah hadits menyatakan: “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seperti seorang ayah bagi anaknya”. Hadits tersebut menuntut seorang pendidik agar tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi harus bertanggung jawab penuh seperti orang tua kepada anak. Jika setiap orang tua memikirkan masa depan anaknya, bagaimana anaknya besok hidup, maka pendidik pun harus memikirkan masa depan peserta didiknya. Sayangnya, interaksi belajar antara pendidik dan peserta didik saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak. Pendidik sering tidak bisa tampil sebagai figur yang pantas diteladani oleh peserta didik, apalagi sebagai orang tua.
Oleh karena itu, seringkali pendidik dipandang dan dinilai oleh peserta didik sebagai orang lain yang mengajar dan kemudian menerima bayaran. Kalau demikian, bagaimana pendidik akan bisa mengarahkan, membimbing, serta memberi petunjuk kepada peserta didiknya menuju pendewasaan diri dan kehidupan yang mandiri. Dari itu, waspadalah wahai para pendidik, perankanlah profesi anda seperti orang tua yang bertanggung jawab penuh kepada anak, jangan sia-siakan tugas mulia anda dan jangan lengah dalam menanamkan nilai-nilai etik-agamis kepada parapeserta didik. Patut direnungkan apa yang dikatakan al-Ghazali; “Hak guru (pendidik) atas muridnya (peserta didik) lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua sering hanya menjadi penyebab adanya anak sekarang di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal”.
(Kedua) Pendidik sebagai Pewaris Para Nabi. Dalam menjalankan tugasnya, pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi, yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT. dan bukan mengejar materi. Para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan yang kontra dengan al-Ghazali dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul SAW. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah SAW; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas yang bernilai ibadah yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
(Ketiga) Pendidik sebagai pembimbing bagi peserta didik. Di samping dengan rasa ikhlas dan kasih sayang, pendidik harus membimbing peserta didik dengan sabar dan tekun. Pendidik harus memberikan pengarahan kepada peserta didik agar mempelajari ilmu secara sistematis, setahap demi setahap. Hal ini karena manusia tidak bisa merangkum ilmu secara serempak dalam satu masa perkembangan. Di samping itu pendidik jangan lupa memberi nasihat kepada peserta didik bahwa menuntut ilmu itu bukan dengan niat mencari pangkat dan kemewahan dunia, namun menuntut ilmu hakikatnya adalah untuk mengembangkan ilmu itu sendiri, menyebarluaskannya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Hal itu sebagaimana pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya seorang pendidik tidak lupa memberikan nasihat kepada murid (peserta didik), yakni dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat sebelumnya; dan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”
(Keempat) Pendidik sebagai Figur Sentral bagi Peserta Didik. Al-Ghazali memberi nasihat kepada para pendidik agar memposisikan diri sebagai teladan dan pusat perhatian bagi peserta didiknya. Ia harus memiliki kharisma yang tinggi. Ini merupakan faktor penting bagi pendidik untuk membawa peserta didik ke arah yang dikehendaki. Di samping itu, kewibawaan juga menunjang perannya sebagai pembimbing, penuntun, dan penunjuk jalan bagi peserta didik. Disamping pendidik sebagai orang tua peserta didik dan sifat kasih sayang yang dimilikinya, adalah bijaksana apabila pada saat tertentu pendidik juga sebagai teman belajar peserta didik sehingga terjadi proses dialogis. Hal ini dilakukan agar tidak salah arah dalam memberikan bimbingan ke arah terwujudnya cita-cita pendidikan yang dikehendaki.
(Kelima) Pendidik sebagai motivator (pendorong) bagi peserta didik.
Sesuai dengan pandangannya bahwa manusia tidak bisa merangkum pengetahuan sekalaigus dalam satu masa, al-Ghazali menyarankan kepada para pendidik agar bertanggung jawab kepada satu bidang ilmu saja. Walaupun demikian, al-Ghazali mengingatkan agar seorang pendidik tidak mengecilkan, merendahkan dan meremehkan bidang studi lain. Sebaliknya, ia harus memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkaji berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kalaupun harus bertanggung jawab kepada berbagai bidang ilmu pengertahuan, pendidik haruslah cermat dan memperhatikan kemampuan peserta didik, sehingga bisa maju setingkat demi setingkat (steep by steep).
Dengan demikian, saran al-Ghazali agar pendidik selalu memperhatikan kemampuan peserta didik sangat perlu untuk diindahkan. Menurut al-Ghazali, Seorang pendidik sebagai penanggung jawab pada salah satu bidang studi tidak boleh menjelek-jelekkan mata pelajaran atau bidang studi yang lain, sebab hal itu merupakan budi tercela bagi pendidik dan harus dijauhi. Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang pendidik yang bertanggung jawab pada satu bidang studi membuka jalan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mempelajari bidang studi yang lain. Kalau ia bertanggung jawab dalam berbagai bidang studi, hendaklah menjaga kemampuan peserta didik setingkat demi setingkat.
(Keenam) Pendidik seharusnya memahami tingkat kognisi (Intelektual) Peserta Didik. Menurut al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan perkembangan intelektualnya. Anak berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6-9 tahun, anak berusia 6-9 tahun berbeda dengan anak usia 9-12 tahun, dan seterusnya. Atas dasar inilah al-Ghazali mengingatkan agar pendidik dapat menyampaikan ilmu dalam proses belajar mengajar dengan cermat dan sesuai dengan perkembangan tingkat pemahaman peserta didik. Dari itu metode yang digunakan harus tepat dan sesuai. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Pendidik hendaklah menyampaikan bidang studi yang sesuai menurut tenaga pemahaman peserta didik”. Jangan memberikan bidang studi yang belum saatnya untuk diberikan, nanti peserta didik lari atau otaknya tumpul.
(Ketujuh) Pendidik sebagai teladan bagi peserta didik. Dalam rangka mengajak manusia ke jalan yang benar, Rasulullah dibekali oleh Allah akhlak yang mulia sehingga beliau menjadi contoh yang baik (teladan) bagi setiap umat manusia. Apa yang keluar dari lisannya sama denga apa yang ada di dadanya, sehingga perbuatannya pun sama dengan perkataannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik juga harus demikian dalam mengamalkan ilmunya, tindakannya harus sesuai dengan apa yang telah dinasihatkan kepada peserta didik. Ajaran fundamental yang harus diberikan adalah yang berkaitan dengan etika, moral (akhlak), dimana semuanya terhimpun dalam ajaran agama.
Dengan demikian yang disebut dengan etika menurut konsep Islam adalah sebagai perangkat nilai yang berisikan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Allah (iman), manusia dan alam semesta dari sudut pandang historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk mengabdi pada Allah SWT, di sinilah peran orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan damai sebagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).
3. Mengenal Konsep Profesionalisme
Dalam Kamus Besar Indonesia, profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional. Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional. Artinya sebuah term yang menjelaskan bahwa setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya atau profesinya.
Menurut Supriadi, penggunaan istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, ada yang sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya. Konsep profsionalisme, seperti dalam penelitian yang dikembangkan oleh Hall, kata tersebut banyak digunakan peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang profesinya, yang tercermin dari sikap dan perilaku mereka. Konsep profesionalisme dalam penelitian Sumardi, dijelaskan bahwa ia memiliki lima muatan atau prinsip, yaitu:
Pertama, afiliasi komunitas (community affilition) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal atau kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi. Kedua, kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand) merupakan suatu pendangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus.
Ketiga, keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan “orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. Keempat, dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan tetap untuk melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik dipandang berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.
Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan ruhani dan setelah itu baru materi, dan yang kelima, kewajiban sosial (social obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Kelima pengertian di atas merupakan kreteria yang digunakan untuk mengukur derajat sikap profesional seseorang. Berdasarkan defenisi tersebut maka profesionalisme adalah konsepsi yang mengacu pada sikap seseorang atau bahkan bisa kelompok, yang berhasil memenuhi unsur-unsur tersebut secara sempurna.
Selanjutnya akan dibahas mengenai profesional, dalam rangka untuk mengerti hakikat profesional, ada beberapa kata kunci yang disimak yaitu profesi, profesionalsme dan profesional. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak dsiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu.
Profesionalisme adalah jabatan atau pekerjaan yang dilandasi kompetensi dibidangnya, berupa pengetahuan, ketrampilan dan keahlian khusus, sebagai kualitas tindak tanduk yang mencermnkan tenaga profesional. Menurut Ahmad Tafsir profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang yang profesional adalah orang memiliki profesi. Profesional menunjuk pada dua hal, pertama orang yang menyandang suatu profesi, kedua penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berkaitan langsung dengan ketrampilan mengajar, penguasaan terhadap materi pelajaran dan penguasaan penggunaan metodologi pengajaran serta termasuk didalam kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah, inilah keahlian khusus yang harus dimiliki oleh guru yang profesional yang telah menempuh pendidikan khusus keguruan.
Dengan demikian profesional dalam Islam khususnya dibidang pendidikan, seseorang harus benar-benar mempunyai kualitas keilmuan kependidikan dan kenginan yang memadai guna menunjang tugas jabatan profesinya, serta tidak semua orang bisa melakukan tugas dengan baik. Apabila tugas tersebut dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:
إِذَا وُسِدًا ْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَةُ. (رُوَاهُ الْبُخَارِيْ)
”Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”.
Firman Allah SWT QS. al-Isra’: 84
Artinya :
“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.
4. Eksplorasi Singkat Tentang Pendidikan (Islam)
Secara sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sementara pendapat lain mengatakan, bahwa pendidikan mencakup berbagai dimensi, antara lain akal, perasaan, kehendak, dan seluruh unsur atas kejiwaan manusia serta bakat-bakat dan kemampuannya. Oleh karena itu pendidikan merupakan usaha pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menuju kesempurnaan.
Bagaimana dengan pendidikan Islam? Menurut Abudin Nata, pendidikan Islam adalah bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh pendidik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, rasa, intuisi, dan sebagainya) serta raga peserta didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.
Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih tehnis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam. Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad SAW. Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”
Paradigma pendidikan Islam tidak pernah memisahkan antara akal dan jiwa. Menurut Malik Fadjar (1995), dalam pendidikan Islam, Islam terkadang ditempatkan sebagai sumber nilai pendidikan, atau terkadang dijadikan bidang studi, dan/atau dijadikan sebagai keduanya; disamping sebagai sumber nilai juga sebagai bidang studi yang dipelajari dalam proses pendidikan. Dengan demikian, maka pendidikan Islam selalu mendasarkan konsep-konsepnya kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits (dan mungkin juga pemikiran para ulama terutama Muslim).
Konsep pendidik yang dirumuskan al-Ghazali ini tampaknya masih relevan untuk diaplikasikan dalam kegiatan proses belajar mengajar di masa sekarang tentunya dengan berbagai pengolahan, karena konsep tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas pendidik dan peserta didik, juga akan mendorong terciptanya akhlak yang mulia di kalangan peserta didik, sebagaimana hal yang demikian itu menjadi cita-cita pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan nasional bahkan dunia umumnya.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, terdapat perbedaan antara pengertian pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Pendidikan secara umum merupakan proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad. Jadi, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-ukuran Islam.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebagaimana telah bahas pada bagian pembahasan makalah ini, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa yang disebut dengan etika menurut konsep Islam adalah sebagai perangkat nilai yang berisikan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Allah (iman), manusia dan alam semesta. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Islam menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk mengabdi pada Allah SWT. Dan membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).
Profesional dalam Islam khususnya dibidang pendidikan, diartikan bahwa seseorang harus benar-benar mempunyai kualitas keilmuan kependidikan dan kenginan yang memadai guna menunjang tugas jabatan profesinya, serta tidak semua orang bisa melakukan tugas dengan baik. Apabila tugas tersebut dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:
إِذَا وُسِدًا ْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَةُ. (رُوَاهُ الْبُخَارِيْ)
Artinya:
”Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”.
Tentang pendidikan secara umum diartikan sebagai proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad. Jadi, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-ukuran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003).
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, Wacana Ilmu 1998).
Eddy Wibowo, Mungin, Paradigma Bimbingan dan Konseling, (Semarang; DEPDIKNAS, 2001).
http://www.hardja-sapoetra.co.cc/2010/03/aksiologi-etika-dan-estetika-filsafat. html, (di akses 25 januari 2011).
Hidayat,Qomarudin, Etika Dalam Kitab Suci Dan Relevansinya Dalam Kehidupan
Jurnal Manajemen dan Sistem Informasi, (Semarang : Undip, Vol. 1- 08 - 2002).
Modern Studi Kasus Di Turki, (Jakarta : Paramadina), dalam kumpulan artikel.
Nata, Abuddin, Metode Studi Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III.
Saefuddin Anshari, Endang, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Usaha Enterprise, Jakarta: 1976.
Supriadi, Dedi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998).
Sri Guntur,Yohanes, et al., Analisis Pengalaman Terhadap Profesionalisme dan Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Hasil Kerja, Jurnal Manajemen dan Sistem Informasi Undip, Semarang, Vol. 1 Agustus 2002.
Sadulloh,Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. (Bandung : Penerbit Alfabeta).
Sairin, Sjafri, Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Tenaga Profesi [LPTP], 2003).
Sumardi, Sumardi, Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme Serta Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja, Tesis, Undip, 2001.
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta : Sipress 1994).
Yayasan Paramadina, www.paramadina.com, (diakses tanggal 25 Januari 2011).
Artikel "Education For All" Strategi Pemerataan Pendidikan Di Indonesia
“Education For All”
Strategi Pemerataan Pendidikan Indonesia
Penulis: IMADI, S. Ag
(Guru SMPN 2 Cilegon - Mhs. Beasiswa Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung)
Indonesia adalah negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri 13.000 pulau. Kebhinekaan yang terdiri 300 suku bangsa, dengan 200 bahasa yang berbeda. Begitu luas dan kaya negeri ini terhampar, bahkan kesuburan tananhnya bisa dianalogikan kayu dan batu bisa jadi tanaman. Belum lagi hutan dan kekayaan bahari yang melimpah, sampai-sampai kita lengah menjaga dan melindunginya. Namun yang harus diingat adalah bahwa dalam setiap jengkal kekayaan, kedaulatan, kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut terdapat hak yang harus dipenuhi, yaitu pendidikan untuk semua (education for all) Kemanusiaan harus dijunjung, hak asasi dihargai, dan keadilan diwujudkan. Pendidikan mengambil peran penting dalam membangun kehidupan berbangsa saat ini.
Khazanah kebudayaan Indonesia juga memiliki kekayaan ragam dengan corak karakter kebangsaan. Kebudayaan Indonesia ini dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan local yang telah ada sebelum terbentuknya Indonesia pada 1945. Seluruh kebudayaan local yang berasal dari suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia. Simbolisasi tersebut biasanya digambarkan dalam lagu daerah, kerajinan tangan, tarian, dan kekhususan tempat atau lokasi daerah seperti rumah adat dan potensi pariwisata daerah. Kekayaan budaya tersebut harus dilestarikan sebagai jalan menjadi bangsa yang berkarakter.
Oleh karena itu, konsepsi pendidikan selanjutnya harus dikombinasikan dengan bauran budaya. Alasan paling rasional adalah bahwa kebudayaan suatu bangsa tidak pernah statis. Ia senantiasa dinamis dan beradaptasi secara dialektis dan kreatif dengan dinamika masyarakat. Adakalnya ia memengaruhi, juga sebaliknya, dipengaruhi masyarakat. Kebudayaan mengalir dalam gerak saling – pengaruh yang tanpa akhir dalam denyut nadi kehidupan. Terkadang arusnya kecil, terkadang besar, bahkan ia bisa menjadi gelombang besar yang memengaruhi kesadaran dan laku kita. Kalau kini orang berbicara tentang krisis masyarakat yang mendalam, bukankah ia juga berbicara tentang krisis budaya, krisis nilai, krisis kehidupan itu sendiri. Pentingnya pendidikan budaya sama pentingnya seperti membangun karakter kebangsaan.
Disisi lain, salah satu hal yang menjadi ironi dunia pendidikan sekarang adalah masalah pemerataan akses pendidikan di Indonesia yang belum signifikan. Dari laporan UNDP menunjukkan angka Human Development Index (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indicator pemerataan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Angka putus sekolah masih tinggi. Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (KPA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Penambahan jumlah tersebut disebabkan keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk, dan tingkat kemiskinan yang terus bertambah kurang lebih 25 % dari jumlah penduduk Indonesia.
Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat tinggi. Pada 2006 jumlahnya masih sekitar 9,7 juta anak, namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Dapat dibayangkan, gairah belajar dan harapan 12 juta anak Indonesia terpaksa dipadamkan. Angka putus sekolah tersebut merupakan bukti apatis pemerintah terhadap dunia pendidikan. Hal itu sebenarnya dapat diatasi jika pemenuhan anggaran pendidikan 20 % - sebagaimana diamanatkan pasal 31 ayat 4 UUD (Amandemen Keempat)- dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan.
Belum lagi nasib pendidikan di daerah pedalaman. Masih banyaknya sekolah yang tidak memiliki guru dan sarana belajar yang memadai, misalnya akibat runtuhnya bangunan sekolah yang tidak layak, para siswa menjadi trauma untuk duduk dan belajar kembali di sekolah. Fasilitas pendidikan yang dan kualitas guru yang terbatas telah mengubur impian dan cita-cita anak bangsa untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Selain itu masih tertanam anggapan dari lingkungan masyarakat tertentu yang menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Kira-kira tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami dengan realita “Laskar Pelangi”, dengan keterbatasan pendidikan mereka berjuang mewujudkan mimpi mengenyam pendidikan.
Disisi lain, Menurut F.D. Rosevelt bahwa dalam New Deal, sekolah merupakan hak yang menyeluruh. Artinya setiap orang berhak atas pendidikan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Selain itu, pendidikan juga memegang peran yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan : sosial, ekonomi, politik, budaya. Dengan pendidikan sebuah bangsa bisa bermartabat, mandiri, dan kompetitif.
Bila pemerataan akses pendidikan ke berbagai daerah pelosok tidak signifikan, pembangunan manusia dengan karakter budaya tertentu tidak akan menyentuh aspek identitas yang akan mengarahkan kita pada esensi nasionalisme. Lebih dari itu, bangsa kita seperti lupa dan tidak menyadari karakternya sendiri.
Cultural Building of Education
Pendidikan seharusnya memaslahatkan manusia dengan pilar-pilar kompetensi kehidupan. Namun karena aksesnya tidak merata, masih banyak warga masyarakat yang belum termaslahatkan secara ekonomi dan sosial dalam kehidupan bernegara baik sebagai konsepsi politik dan bangsa maupun sebagai konsepsi budaya. Cultural Building of Education dengan basis kedaulatan merupakan suatu strategi akses pemerataan pendidikan yang terkonsentrasi pada daerah terpencil, minim akses, dan sarana pendidikan dengan kekuatan budaya yang dimiliki. Karena pendidikan adalah hak untuk semua dan budaya adalah karakter dari sebuah bangsa. Diharapkan muncul benih-benih generasi yang dapat mengemban masa depan seperti komunitas “Laskar Pelangi” yang penulis analogikan sebagai kebangkitan pendidikan daerah terpencil.
Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting, yaitu equality dan equity. Equality mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan dengan kesempatan yang sama.
Coleman dalam bukunya Equality of Educational Oppurtunity mengemukakan konsep pemerataan, yakni pemerataan aktif dan pemerataan pasif. pemerataan aktif adalah bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid mendaftar agar memperoleh hasi belajar setinggi-tingginya. Sedangkan pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah. Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.
Dengan demikian, dimensi pemeratan pendidikan mencakup equality of access, equality of survival, equality of output, dan equality of outcome. Untuk sebuah perwujudan education for all perlu dilakukan strategi perancangan penguatan (reinforcement) sampai ke tingkat daerah terpencil. Hal ini meliputi : Pertama, otonomi pendidikan. Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan, akses pendidikan akan lebih merata. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 ; “Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, termasuk prioritas pendidikan”.
Dalam otonomi pendidikan yang optimal akan tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) dengan pengembangan infrastruktur sosial yang berangkat dari unsure kekeluargaan di tengah masyarakat. Bentuknya bisa saja informal, dikembalikan kepada kearifan lokal dan budaya yang dimiliki masyarakat setempat, dengan potensi dan motivasi menuju masyarakat edukatif. Selain itu, hal lain yang penting ialah memaksimalkan pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, seperti peningkatan guru di daerah pedalaman dengan beasiswa dan bantuan buku gratis.
Kedua, menerapkan sosiologi pendidikan daerah yang integral. Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosial dan kultural, proses pengembangan kepribadian, dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan. Dengan penerapan sosiologi pendidikan yang integral, dihasilkan suatu iklim yang menempatkan pendidikan sebagai pusat perhatian dalam lapisan masyarakat. Sehingga, kebutuhan masyarakat akan pendidikan dapat tersalurkan.
Selain itu paradigma yang biasanya muncul dari education for all akan berubah menjadi education from all untuk kebudayaan. Karena masyarakat akan mencoba untuk memandirikan dirinya dengan penghidupan yang berbasis dari pendidikan. D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisis aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya, akan lebih maksimal dan berkarakter bila pendidikan kembali pada kekuatan budaya.
Ketiga, merancang arsitek pendidikan pembaruan dengan Dostoyevsky ala Indonesia. Makna Dostoyevsky dikutip dari buku Dostoyevsky, Menggugat manusia modern, karya Henry S. Sabari, adalah memanusiakan manusia dengan cinta kasih, pendidikan harusnya menggunakan hati, yang berbasis dari kebudayaan kita. Aliran ini berasal dari Rusia, yang awalnya menentang hakikat kehidupan manusia yang dijadikan sebagai benda. Di sini ada kesamaan bahwa pendidikan bertujuan memanusiakan manusia. Lebih dari itu, penulis mengorelasikan hal teersebut seperti konsep Paolo Freire dengan pendidikan kritis yang memerdekakan. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan. Lewat jalur ini kita dapat melihat bahwa kebudayaan kita mamanusiakan kita dengan identitas.
Dalam paparan tulisan ini, penulis mengharapkan dari ketiga solusi tadi dapat berjalan seimbang, selaras, dan saling melengkapi. Semoga menjadikan Indonesia lebih bergairah dengan pendidikan, dan mewujudkan pendidikan dari semua (education for all) untuk negeri dan kemandirian bermartabat bangsa dengan mematri kebudayaan dalam pola pikir pembangunan berkelanjutan.
Strategi Pemerataan Pendidikan Indonesia
Penulis: IMADI, S. Ag
(Guru SMPN 2 Cilegon - Mhs. Beasiswa Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung)
Indonesia adalah negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri 13.000 pulau. Kebhinekaan yang terdiri 300 suku bangsa, dengan 200 bahasa yang berbeda. Begitu luas dan kaya negeri ini terhampar, bahkan kesuburan tananhnya bisa dianalogikan kayu dan batu bisa jadi tanaman. Belum lagi hutan dan kekayaan bahari yang melimpah, sampai-sampai kita lengah menjaga dan melindunginya. Namun yang harus diingat adalah bahwa dalam setiap jengkal kekayaan, kedaulatan, kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut terdapat hak yang harus dipenuhi, yaitu pendidikan untuk semua (education for all) Kemanusiaan harus dijunjung, hak asasi dihargai, dan keadilan diwujudkan. Pendidikan mengambil peran penting dalam membangun kehidupan berbangsa saat ini.
Khazanah kebudayaan Indonesia juga memiliki kekayaan ragam dengan corak karakter kebangsaan. Kebudayaan Indonesia ini dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan local yang telah ada sebelum terbentuknya Indonesia pada 1945. Seluruh kebudayaan local yang berasal dari suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia. Simbolisasi tersebut biasanya digambarkan dalam lagu daerah, kerajinan tangan, tarian, dan kekhususan tempat atau lokasi daerah seperti rumah adat dan potensi pariwisata daerah. Kekayaan budaya tersebut harus dilestarikan sebagai jalan menjadi bangsa yang berkarakter.
Oleh karena itu, konsepsi pendidikan selanjutnya harus dikombinasikan dengan bauran budaya. Alasan paling rasional adalah bahwa kebudayaan suatu bangsa tidak pernah statis. Ia senantiasa dinamis dan beradaptasi secara dialektis dan kreatif dengan dinamika masyarakat. Adakalnya ia memengaruhi, juga sebaliknya, dipengaruhi masyarakat. Kebudayaan mengalir dalam gerak saling – pengaruh yang tanpa akhir dalam denyut nadi kehidupan. Terkadang arusnya kecil, terkadang besar, bahkan ia bisa menjadi gelombang besar yang memengaruhi kesadaran dan laku kita. Kalau kini orang berbicara tentang krisis masyarakat yang mendalam, bukankah ia juga berbicara tentang krisis budaya, krisis nilai, krisis kehidupan itu sendiri. Pentingnya pendidikan budaya sama pentingnya seperti membangun karakter kebangsaan.
Disisi lain, salah satu hal yang menjadi ironi dunia pendidikan sekarang adalah masalah pemerataan akses pendidikan di Indonesia yang belum signifikan. Dari laporan UNDP menunjukkan angka Human Development Index (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indicator pemerataan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Angka putus sekolah masih tinggi. Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (KPA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Penambahan jumlah tersebut disebabkan keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk, dan tingkat kemiskinan yang terus bertambah kurang lebih 25 % dari jumlah penduduk Indonesia.
Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat tinggi. Pada 2006 jumlahnya masih sekitar 9,7 juta anak, namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Dapat dibayangkan, gairah belajar dan harapan 12 juta anak Indonesia terpaksa dipadamkan. Angka putus sekolah tersebut merupakan bukti apatis pemerintah terhadap dunia pendidikan. Hal itu sebenarnya dapat diatasi jika pemenuhan anggaran pendidikan 20 % - sebagaimana diamanatkan pasal 31 ayat 4 UUD (Amandemen Keempat)- dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan.
Belum lagi nasib pendidikan di daerah pedalaman. Masih banyaknya sekolah yang tidak memiliki guru dan sarana belajar yang memadai, misalnya akibat runtuhnya bangunan sekolah yang tidak layak, para siswa menjadi trauma untuk duduk dan belajar kembali di sekolah. Fasilitas pendidikan yang dan kualitas guru yang terbatas telah mengubur impian dan cita-cita anak bangsa untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Selain itu masih tertanam anggapan dari lingkungan masyarakat tertentu yang menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Kira-kira tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami dengan realita “Laskar Pelangi”, dengan keterbatasan pendidikan mereka berjuang mewujudkan mimpi mengenyam pendidikan.
Disisi lain, Menurut F.D. Rosevelt bahwa dalam New Deal, sekolah merupakan hak yang menyeluruh. Artinya setiap orang berhak atas pendidikan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Selain itu, pendidikan juga memegang peran yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan : sosial, ekonomi, politik, budaya. Dengan pendidikan sebuah bangsa bisa bermartabat, mandiri, dan kompetitif.
Bila pemerataan akses pendidikan ke berbagai daerah pelosok tidak signifikan, pembangunan manusia dengan karakter budaya tertentu tidak akan menyentuh aspek identitas yang akan mengarahkan kita pada esensi nasionalisme. Lebih dari itu, bangsa kita seperti lupa dan tidak menyadari karakternya sendiri.
Cultural Building of Education
Pendidikan seharusnya memaslahatkan manusia dengan pilar-pilar kompetensi kehidupan. Namun karena aksesnya tidak merata, masih banyak warga masyarakat yang belum termaslahatkan secara ekonomi dan sosial dalam kehidupan bernegara baik sebagai konsepsi politik dan bangsa maupun sebagai konsepsi budaya. Cultural Building of Education dengan basis kedaulatan merupakan suatu strategi akses pemerataan pendidikan yang terkonsentrasi pada daerah terpencil, minim akses, dan sarana pendidikan dengan kekuatan budaya yang dimiliki. Karena pendidikan adalah hak untuk semua dan budaya adalah karakter dari sebuah bangsa. Diharapkan muncul benih-benih generasi yang dapat mengemban masa depan seperti komunitas “Laskar Pelangi” yang penulis analogikan sebagai kebangkitan pendidikan daerah terpencil.
Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting, yaitu equality dan equity. Equality mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan dengan kesempatan yang sama.
Coleman dalam bukunya Equality of Educational Oppurtunity mengemukakan konsep pemerataan, yakni pemerataan aktif dan pemerataan pasif. pemerataan aktif adalah bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid mendaftar agar memperoleh hasi belajar setinggi-tingginya. Sedangkan pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah. Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.
Dengan demikian, dimensi pemeratan pendidikan mencakup equality of access, equality of survival, equality of output, dan equality of outcome. Untuk sebuah perwujudan education for all perlu dilakukan strategi perancangan penguatan (reinforcement) sampai ke tingkat daerah terpencil. Hal ini meliputi : Pertama, otonomi pendidikan. Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan, akses pendidikan akan lebih merata. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 ; “Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, termasuk prioritas pendidikan”.
Dalam otonomi pendidikan yang optimal akan tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) dengan pengembangan infrastruktur sosial yang berangkat dari unsure kekeluargaan di tengah masyarakat. Bentuknya bisa saja informal, dikembalikan kepada kearifan lokal dan budaya yang dimiliki masyarakat setempat, dengan potensi dan motivasi menuju masyarakat edukatif. Selain itu, hal lain yang penting ialah memaksimalkan pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, seperti peningkatan guru di daerah pedalaman dengan beasiswa dan bantuan buku gratis.
Kedua, menerapkan sosiologi pendidikan daerah yang integral. Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosial dan kultural, proses pengembangan kepribadian, dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan. Dengan penerapan sosiologi pendidikan yang integral, dihasilkan suatu iklim yang menempatkan pendidikan sebagai pusat perhatian dalam lapisan masyarakat. Sehingga, kebutuhan masyarakat akan pendidikan dapat tersalurkan.
Selain itu paradigma yang biasanya muncul dari education for all akan berubah menjadi education from all untuk kebudayaan. Karena masyarakat akan mencoba untuk memandirikan dirinya dengan penghidupan yang berbasis dari pendidikan. D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisis aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya, akan lebih maksimal dan berkarakter bila pendidikan kembali pada kekuatan budaya.
Ketiga, merancang arsitek pendidikan pembaruan dengan Dostoyevsky ala Indonesia. Makna Dostoyevsky dikutip dari buku Dostoyevsky, Menggugat manusia modern, karya Henry S. Sabari, adalah memanusiakan manusia dengan cinta kasih, pendidikan harusnya menggunakan hati, yang berbasis dari kebudayaan kita. Aliran ini berasal dari Rusia, yang awalnya menentang hakikat kehidupan manusia yang dijadikan sebagai benda. Di sini ada kesamaan bahwa pendidikan bertujuan memanusiakan manusia. Lebih dari itu, penulis mengorelasikan hal teersebut seperti konsep Paolo Freire dengan pendidikan kritis yang memerdekakan. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan. Lewat jalur ini kita dapat melihat bahwa kebudayaan kita mamanusiakan kita dengan identitas.
Dalam paparan tulisan ini, penulis mengharapkan dari ketiga solusi tadi dapat berjalan seimbang, selaras, dan saling melengkapi. Semoga menjadikan Indonesia lebih bergairah dengan pendidikan, dan mewujudkan pendidikan dari semua (education for all) untuk negeri dan kemandirian bermartabat bangsa dengan mematri kebudayaan dalam pola pikir pembangunan berkelanjutan.
Artikel Pandangan Teologis Terhadap bencana di Negeri Samurai
PANDANGAN TEOLOGI
TERHADAP BENCANA DI NEGERI SAMURAI
Oleh: Imadi, S. Ag (Guru SMP Negeri 2 Cilegon -
Mahasiswa S2 IAIN Raden Intan Lampung)
e-mail: imadiadi@yahoo.com
Tiga bencana berturut-turut menghampiri Jepang negeri yang dalam sejarah terkenal dengan kestaria-kesatria yang menjunjung tinggi jalan samurai, senjata khas ksatria Jepang. Jumat (11/03) gempa dahsyat 8,9 SR yang mengguncang negeri itu ternyata diikuti dengan gelombang tsunami hingga 10 meter tingginya yang menghantam sepanjang bibir pantai wilayah Jepang yang memang berbentuk kepulauan. Seolah belum cukup kini bahaya radiasi nuklir di negeri yang pernah merasakan sejarah dihujani bom atom kekuatan dashyat pada perang Dunia ke II lalu menghantui setelah beberapa reaktor nuklir di PLTN Fukushima mengalami kegagalan pendinginan yang menyebabkan kebocoran bahan radioaktif.
Rentetan bencana itu oleh sebagian besar masyarakat dunia kadang dilihat sebatas bencana. Dalam pengertian, tidak dilihat sebagai konsekuensi dari perbuatan manusia, melainkan atas kehendak Tuhan. Dalam istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai masyarakat agamis yang menggariskan sesuatu berdasarkan paksaan Tuhan (jabariah). Mereka meyakini bahwa Tuhan murka kepada penduduk sebuah negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sangat rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa.
Keyakinan semacam itu jelas berbahaya karena Tuhan akan dipersalahkan sebagai biang dari segala bencana di dunia. Dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 2003: 151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God) karena terjadinya bencana. Padahal, menurut Leibniz, Tuhan tak patut dipersalahkan, bahkan kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan di dunia. Manusialah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).
Pergeseran teologi
Pandangan teologi yang memasrahkan segalanya pada kehendak Tuhan mestinya diubah atau teologi yang lebih menekankan pada kehendak bebas manusia (qadariah) sebetulnya lebih relevan untuk menjelaskan fenomena, seperti bencana alam. Relevan bukan sebatas penjelasannya yang adil dan bijaksana dalam menempatkan kodrat manusia (theodice) yang dihubungkan dengan alam atau lingkungannya, tetapi dengan keberadaan musibah itu sendiri.
Teologi semacam ini juga relevan sebab dapat menghindarkan manusia dari mitologi-mitologi sosial yang biasanya merebak dan akhirnya membawa pada kesesatan dan kegelapan alam pikiran manusia. Teologi itu pada prinsipnya ingin menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya. Dia juga harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang sudah diperbuatnya. Maka itu, jika ada fenomena bencana alam, sebetulnya itu merupakan cermin seakan-akan mempertanyakan sudah berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini.
Berbuat dan bertindak bukan dalam pengertian manusia telah melakukan dosa-dosa, kemudian Tuhan murka dan menimpakan bencana itu. Tapi, lebih karena tindakan dan perbuatan manusia yang dilakukan atas alam dan lingkungan, seperti aktivitas penambangan yang eksploitatif, pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup masif, penggundulan hutan, dan sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan itulah yang kemudian lambat laun akan membuat alam menjadi murka sehingga fenomena bencana alam tak bisa terhindarkan.
Hal itu sesungguhnya sesuai dalam kitab suci yang secara bebas berbunyi, "Kerusakan di darat dan di laut yang tampak disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka, sebagai akibat dari perbuatannya (datanglah bencana) supaya manusia merasakan sebagian dari ulah dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Alquran 30: 41).
Jelaslah bahwa fenomena bencana alam tak lain dan tak bukan karena diakibatkan oleh kita sebagai manusia. Banyak dari kita yang tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan alam dan lingkungan. Berhentilah kita menyalahkan sesuatu yang ada di luar kita, seperti Tuhan. Bahkan, menurut Ignaz Goldziher (1991), karena ulah tangan manusia, manusia pun sesungguhnya dilarang untuk menyalahkan setan sekalipun. Setan menolak dimintai pertanggungjawabannya pada hari akhir nanti karena kesalahan dan dosa perbuatan manusia.
Membangun teologi bencana
Bumi merupakan ciptaan Tuhan yang harus dikelola manusia secara baik dan benar. Tak ada satu pun manusia yang sesungguhnya berhak mengklaim memiliki barang sejengkal pun terhadap bumi karena bumi ini adalah milik-Nya. Oleh karena itu, tak dibenarkan jika manusia menjadi arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi. Arogansi dalam pengertian, misalnya, ketika manusia merasa memiliki jengkal tanah di bumi, lalu dia berbuat seenaknya: mengebor, mengeruk, mengeksploitasi, dan tanpa memikirkan akibatnya. Arogansi lain adalah manusia hidup dengan seenaknya mengotori dan mencemari alam serta lingkungan dengan polusi dan berbagai perbuatan lainnya yang sesungguhnya akan merusak bumi.
Teologi selama ini sangat jarang diperkenalkan oleh para penceramah keagamaan melalui pendekatan yang direlevansikan dengan alam dan lingkungan. Seakan-akan tak ada kaitan antara teologi keagamaan dan alam serta lingkungan. Jarang umat beragama menyentuh persoalan itu. Sesungguhnya, sebagai konsekuensi dari teologi itu, umat beragama semestinya engimplementasikannya ke seluruh aspek dalam kehidupan, tak terkecuali dengan masalah-masalah alam dan lingkungannya (environmentalism).
Jika selama ini kita menganggap diri sebagai kaum beragama, sudah semestinya teologi agama kita tak hanya cukup sampai pada keyakinan. Namun, tak ada aktualisasinya dalam kehidupan. Misalnya, kita mengaku bahwa kita orang beragama, tapi perbuatan kita masih mencemari polusi udara, membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi bumi secara semena-mena, dan sebagainya. Perbuatan dan tindakan itu tidak pantas dilakukan oleh orang beragama. Saatnya kita membumikan teologi agama ini dalam realitas dan praksis kehidupan. Agama yang mengajarkan kebaikan-kebaikan harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya kita akan dapat terhindar dari segala marabahaya.
TERHADAP BENCANA DI NEGERI SAMURAI
Oleh: Imadi, S. Ag (Guru SMP Negeri 2 Cilegon -
Mahasiswa S2 IAIN Raden Intan Lampung)
e-mail: imadiadi@yahoo.com
Tiga bencana berturut-turut menghampiri Jepang negeri yang dalam sejarah terkenal dengan kestaria-kesatria yang menjunjung tinggi jalan samurai, senjata khas ksatria Jepang. Jumat (11/03) gempa dahsyat 8,9 SR yang mengguncang negeri itu ternyata diikuti dengan gelombang tsunami hingga 10 meter tingginya yang menghantam sepanjang bibir pantai wilayah Jepang yang memang berbentuk kepulauan. Seolah belum cukup kini bahaya radiasi nuklir di negeri yang pernah merasakan sejarah dihujani bom atom kekuatan dashyat pada perang Dunia ke II lalu menghantui setelah beberapa reaktor nuklir di PLTN Fukushima mengalami kegagalan pendinginan yang menyebabkan kebocoran bahan radioaktif.
Rentetan bencana itu oleh sebagian besar masyarakat dunia kadang dilihat sebatas bencana. Dalam pengertian, tidak dilihat sebagai konsekuensi dari perbuatan manusia, melainkan atas kehendak Tuhan. Dalam istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai masyarakat agamis yang menggariskan sesuatu berdasarkan paksaan Tuhan (jabariah). Mereka meyakini bahwa Tuhan murka kepada penduduk sebuah negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sangat rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa.
Keyakinan semacam itu jelas berbahaya karena Tuhan akan dipersalahkan sebagai biang dari segala bencana di dunia. Dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 2003: 151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God) karena terjadinya bencana. Padahal, menurut Leibniz, Tuhan tak patut dipersalahkan, bahkan kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan di dunia. Manusialah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).
Pergeseran teologi
Pandangan teologi yang memasrahkan segalanya pada kehendak Tuhan mestinya diubah atau teologi yang lebih menekankan pada kehendak bebas manusia (qadariah) sebetulnya lebih relevan untuk menjelaskan fenomena, seperti bencana alam. Relevan bukan sebatas penjelasannya yang adil dan bijaksana dalam menempatkan kodrat manusia (theodice) yang dihubungkan dengan alam atau lingkungannya, tetapi dengan keberadaan musibah itu sendiri.
Teologi semacam ini juga relevan sebab dapat menghindarkan manusia dari mitologi-mitologi sosial yang biasanya merebak dan akhirnya membawa pada kesesatan dan kegelapan alam pikiran manusia. Teologi itu pada prinsipnya ingin menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya. Dia juga harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang sudah diperbuatnya. Maka itu, jika ada fenomena bencana alam, sebetulnya itu merupakan cermin seakan-akan mempertanyakan sudah berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini.
Berbuat dan bertindak bukan dalam pengertian manusia telah melakukan dosa-dosa, kemudian Tuhan murka dan menimpakan bencana itu. Tapi, lebih karena tindakan dan perbuatan manusia yang dilakukan atas alam dan lingkungan, seperti aktivitas penambangan yang eksploitatif, pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup masif, penggundulan hutan, dan sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan itulah yang kemudian lambat laun akan membuat alam menjadi murka sehingga fenomena bencana alam tak bisa terhindarkan.
Hal itu sesungguhnya sesuai dalam kitab suci yang secara bebas berbunyi, "Kerusakan di darat dan di laut yang tampak disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka, sebagai akibat dari perbuatannya (datanglah bencana) supaya manusia merasakan sebagian dari ulah dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Alquran 30: 41).
Jelaslah bahwa fenomena bencana alam tak lain dan tak bukan karena diakibatkan oleh kita sebagai manusia. Banyak dari kita yang tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan alam dan lingkungan. Berhentilah kita menyalahkan sesuatu yang ada di luar kita, seperti Tuhan. Bahkan, menurut Ignaz Goldziher (1991), karena ulah tangan manusia, manusia pun sesungguhnya dilarang untuk menyalahkan setan sekalipun. Setan menolak dimintai pertanggungjawabannya pada hari akhir nanti karena kesalahan dan dosa perbuatan manusia.
Membangun teologi bencana
Bumi merupakan ciptaan Tuhan yang harus dikelola manusia secara baik dan benar. Tak ada satu pun manusia yang sesungguhnya berhak mengklaim memiliki barang sejengkal pun terhadap bumi karena bumi ini adalah milik-Nya. Oleh karena itu, tak dibenarkan jika manusia menjadi arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi. Arogansi dalam pengertian, misalnya, ketika manusia merasa memiliki jengkal tanah di bumi, lalu dia berbuat seenaknya: mengebor, mengeruk, mengeksploitasi, dan tanpa memikirkan akibatnya. Arogansi lain adalah manusia hidup dengan seenaknya mengotori dan mencemari alam serta lingkungan dengan polusi dan berbagai perbuatan lainnya yang sesungguhnya akan merusak bumi.
Teologi selama ini sangat jarang diperkenalkan oleh para penceramah keagamaan melalui pendekatan yang direlevansikan dengan alam dan lingkungan. Seakan-akan tak ada kaitan antara teologi keagamaan dan alam serta lingkungan. Jarang umat beragama menyentuh persoalan itu. Sesungguhnya, sebagai konsekuensi dari teologi itu, umat beragama semestinya engimplementasikannya ke seluruh aspek dalam kehidupan, tak terkecuali dengan masalah-masalah alam dan lingkungannya (environmentalism).
Jika selama ini kita menganggap diri sebagai kaum beragama, sudah semestinya teologi agama kita tak hanya cukup sampai pada keyakinan. Namun, tak ada aktualisasinya dalam kehidupan. Misalnya, kita mengaku bahwa kita orang beragama, tapi perbuatan kita masih mencemari polusi udara, membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi bumi secara semena-mena, dan sebagainya. Perbuatan dan tindakan itu tidak pantas dilakukan oleh orang beragama. Saatnya kita membumikan teologi agama ini dalam realitas dan praksis kehidupan. Agama yang mengajarkan kebaikan-kebaikan harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya kita akan dapat terhindar dari segala marabahaya.
Selasa, 28 Desember 2010
Manajemen Pendidikan Islam dan Implementasinya
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
DAN IMPLEMENTASINYA
Oleh : Imadi (NPM. 2010.40.051)
I. Latar Belakang
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Mulai dari urusan terkecil seperti mengatur urusan rumah tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah Negara, semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang, dan bentuk yang ada seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), jenjang pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Alyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas.
Pada jalur pendidikan non formal seperti Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA), Majelis Ta’lim, Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jalur Pendidikan Informal seperti pendidikan yang diselenggarakan di dalam keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau manajemen yang sebaik-baiknya, sebab jika tidak bukan hanya gambaran negatif tentang pendidikan Islam yang ada pada masyarakat akan tetap melekat dan sulit dihilangkan bahkan mungkin Pendidikan Islam yang hak itu akan hancur oleh kebathilan yang dikelola dan tersusun rapi yang berada di sekelilingnya, sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib :”kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”.
Makalah sederhana ini akan membahas tentang manajemen pendidikan Islam dan implementasinya, disampaikan dalam diskusi Mata Kuliah Manajemen Pendidikan di PPs. IAIN Raden Intan Lampung.
II. Pembahasan
a. Pengertian Manajemen Pendidikan Islam.
Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata management yang berarti pengelolaan, ketatalaksanaan, atau tata pimpinan. Sementara John M. Echols dan Hasan Shadily mengartikan management berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan.
Ramayulis menyatakan bahwa pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan). Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam Al Qur’an seperti firman Allah SWT :
يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (Al Sajdah : 05).
Dari isi kandungan ayat di atas dapatlah diketahui bahwa Allah swt adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah swt dalam mengelola alam ini. Namun, karena manusia yang diciptakan Allah SWT telah dijadikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini. Sementara manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Sedangkan Sondang P Siagian mengartikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain.
Bila kita perhatikan dari kedua pengertian manajemen di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa manajemen merupakan sebuah proses pemanfaatan semua sumber daya melalui bantuan orang lain dan bekerjasama dengannya, agar tujuan bersama bisa dicapai secara efektif, efesien, dan produktif. Sedangkan Pendidikan Islam merupakan proses transinternalisasi nilai-nilai Islam kepada peserta didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
b. Analisis Manajemen Pendidikan Islam
Dalam rangka untuk lebih mudah dalam memahami tentang implementasi manajemen Pendidikan Islam, maka penulis berupaya untuk memasukkan muatan implementasinya melalui fungsi – fungsi. Sehingga implementasinya akan menjadi lebih mudah diterapkan. Manajemen pendidikan Islam tidaklah bisa terlepas dari fungsi manajemen secara umum seperti yang dikemukakan Henry Fayol seorang industriawan Prancis, dia mengatakan bahwa fungsi-fungsi manajemen itu adalah merancang, mengorganisasikan, memerintah, mengkoordinasi, dan mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang.
Sementara itu Robbin dan Coulter mengatakan bahwa fungsi dasar manajemen yang paling penting adalah merencanakan, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan. Senada dengan itu Mahdi bin Ibrahim menyatakan bahwa fungsi manajemen atau tugas kepemimpinan dalam pelaksanaannya meliputi berbagai hal, yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
Untuk mempermudah pembahasan mengenai manajemen pendidikan Islam dan implementasinya, maka penulis akan memulai dengan fungsi manajemen pendidikan Islam sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh Robbin dan Coulter yang pendapatnya senada dengan Mahdi bin Ibrahim yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/kepemimpinan, dan pengawasan.
1. Fungsi Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah sebuah proses perdana ketika hendak melakukan pekerjaan baik dalam bentuk pemikiran maupun kerangka kerja agar tujuan yang hendak dicapai mendapatkan hasil yang optimal. Demikian pula halnya dalam pendidikan Islam perencanaan harus dijadikan langkah pertama yang benar-benar diperhatikan oleh para manajer dan para pengelola pendidikan Islam. Sebab perencanaan merupakan bagian penting dari sebuah kesuksesan, kesalahan dalam menentukan perencanaan pendidikan Islam akan berakibat sangat patal bagi keberlangsungan pendidikan Islam. Allah memberikan arahan kepada setiap orang beriman untuk mendesain sebuah rencana apa yang akan dilakukan dikemudian hari, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al Hasyr : 18
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketika menyusun sebuah perencanaan dalam pendidikan Islam tidaklah dilakukan hanya untuk mencapai tujuan dunia semata, tapi harus jauh lebih dari itu melampaui batas-batas target kehidupan duniawi. Arahkanlah perencanaan itu juga untuk mencapai target kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga kedua-duanya bisa dicapai secara seimbang. Mahdi bin Ibrahim mengemukakan bahwa ada lima perkara penting untuk diperhatikan demi keberhasilan sebuah perencanaan, yaitu :
1. Ketelitian dan kejelasan dalam membentuk tujuan.
2. Ketepatan waktu dengan tujuan yang hendak dicapai.
3. Keterkaitan antara fase-fase operasional rencana dengan penanggung jawab operasional, agar mereka mengetahui fase-fase tersebut dengan tujuan yang hendak dicapai.
4. Perhatian terhadap aspek amaliah ditinjau dari sisi penerimaan masyarakat, mempertimbangkan perencanaan, kesesuaian perencanaan dengan tim yang bertanggung jawab terhadap operasionalnya, kemungkinan yang bisa dicapai, dan kesiapan perencanaan melakukan evaluasi terus menerus dalam merealisasikan tujuan.
5. Kemampuan organisatoris penanggung jawab operasional.
Sementara itu menurut Ramayulis mengatakan bahwa dalam Manajemen pendidikan Islam perencanaan itu meliputi :
1. Penentuan prioritas agar pelaksanaan pendidikan berjalan efektif, prioritas kebutuhan agar melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, masyarakat dan bahkan murid.
2. Penetapan tujuan sebagai garis pengarahan dan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan.
3. Formulasi prosedur sebagai tahap-tahap rencana tindakan.
4. Penyerahan tanggung jawab kepada individu dan kelompok kerja.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam Manajeman Pendidikan Islam perencanaan merupakan kunci utama untuk menentukan aktivitas berikutnya. Tanpa perencanaan yang matang aktivitas lainnya tidaklah akan berjalan dengan baik bahkan mungkin akan gagal. Oleh karena itu buatlah perencanaan sematang mungkin agar menemui kesuksesan yang memuaskan.
Implementasi manajemen Pendidikan Islam dalam rangka untuk mencapai tujuan yang baik bagi diri, masyarakat,bangsa dan negara dengan menanamkan nilai-nilai yang positif guna mendapatkan keridhoan dari Allah swt. Baik di dunia maupun di akhirat yang dilandasi dengan keimanan, keyakinan dan keikhlasan serta kasih-sayang dengan niat perbaikan diri dan umat manusia baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
2. Fungsi Pengorganisasian (organizing)
Ajaran Islam senantiasa mendorong para pemeluknya untuk melakukan segala sesuatu secara terorganisir dengan rapi, sebab bisa jadi suatu kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dengan mudah bisa diluluhlantakan oleh kebathilan yang tersusun rapi.
Menurut Terry pengorganisasian merupakan kegiatan dasar dari manajemen yang dilaksanakan untuk mengatur seluruh sumber-sumber yang dibutuhkan termasuk unsur manusia, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan sukses. Organisasi dalam pandangan Islam bukan semata-mata wadah, melainkan lebih menekankan pada bagaimana sebuah pekerjaan dilakukan secara rapi. Organisasi lebih menekankan pada pengaturan mekanisme kerja. Dalam sebuah organisasi tentu ada pemimpin dan bawahan. Sementara itu Ramayulis menyatakan bahwa pengorganisasian dalam pendidikan Islam adalah proses penentuan struktur, aktivitas, interaksi, koordinasi, desain struktur, wewenang, tugas secara transparan, dan jelas. Dalam lembaga pendidikan Islam, baik yang bersifat individual, kelompok, maupun kelembagaan.
Sebuah organisasi dalam manajemen pendidikan Islam akan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan jika konsisten dengan prinsip-prinsip yang mendesain perjalanan organisasi yaitu Kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Jika kesemua prinsip ini dapat diaplikasikan secara konsisten dalam proses pengelolaan lembaga pendidikan islam, maka akan sangat membantu bagi para manajer pendidikan Islam.
Implementasi manajemen Pendidikan Islam dengan mengelola sumber daya manusia dan menempatkan pada tempat yang sesuai dengan kemampuannya. Menempatkan seseorang sesuai dengan kredibilitasnya yang tentunya tidak lepas dari nilai-nilai keyakinan (keimanan), bahwasanya kemampuan dari Allah SWT. bila ada kemauan dan semangat yang tinggi serta senantiasa ada hubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengorganisasian merupakan fase kedua setelah perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Pengorganisasian terjadi karena pekerjaan yang perlu dilaksanakan itu terlalu berat untuk ditangani oleh satu orang saja. Dengan demikian diperlukan tenaga-tenaga bantuan dan terbentuklah suatu kelompok kerja yang efektif. Banyak pikiran, tangan, dan keterampilan dihimpun menjadi satu yang harus dikoordinasi bukan saja untuk diselesaikan tugas-tugas yang bersangkutan, tetapi juga untuk menciptakan kegunaan bagi setiap anggota kelompok tersebut terhadap keinginan keterampilan dan pengetahuan.
3. Fungsi Pengarahan (directing).
Pengarahan adalah proses memberikan bimbingan kepada rekan kerja sehingga mereka menjadi pegawai yang berpengetahuan dan akan bekerja efektif menuju sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Di dalam fungsi pengarahan terdapat empat komponen, yaitu pengarah, yang diberi pengarahan, isi pengarahan, dan metode pengarahan. Pengarah adalah orang yang memberikan pengarahan berupa perintah, larangan, dan bimbingan. Yang diberi pengarahan adalah orang yang diinginkan dapat merealisasikan pengarahan. Isi pengarahan adalah sesuatu yang disampaikan pengarah baik berupa perintah, larangan, maupun bimbingan. Sedangkan metode pengarahan adalah sistem komunikasi antara pengarah dan yang diberi pengarahan.
Dalam manajemen pendidikan Islam, agar isi pengarahan yang diberikan kepada orang yang diberi pengarahan dapat dilaksanakan dengan baik maka seorang pengarah setidaknya harus memperhatikan beberapa prinsip berikut, yaitu : Keteladanan, konsistensi, keterbukaan, kelembutan, dan kebijakan. Isi pengarahan baik yang berupa perintah, larangan, maupun bimbingan hendaknya tidak memberatkan dan diluar kemampuan sipenerima arahan, sebab jika hal itu terjadi maka jangan berharap isi pengarahan itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh si penerima pengarahan.
Seorang pemimpin harus memiliki nilai kepemimpinan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. dengan cara memotivasi, membimbing, mengarahkan dan memberikan contoh (tauladan) serta menjaga hubungan baik dengan yang diberi pengarahan dalam hal yang sifatnya materil maupun spiritual. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa fungsi pengarahan dalam manajemen pendidikan Islam adalah proses bimbingan yang didasari prinsip-prinsip religius kepada rekan kerja, sehingga orang tersebut mau melaksanakan tugasnya dengan sungguh - sungguh dan bersemangat disertai keikhlasan yang sangat mendalam.
4. Fungsi Pengawasan (Controlling)
Pengawasan adalah keseluruhan upaya pengamatan pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan Didin dan Hendri menyatakan bahwa dalam pandangan Islam pengawasan dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak. Dalam pendidikan Islam pengawasan didefinisikan sebagai proses pemantauan yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil maupun spirituil.
Implementasinya dalam kehidupan adalah dengan memberikan penghargaan/reward bagi yang telah melaksanakan pekerjaan/tugasnya dengan baik dan memberikan sanksi atau hukuman bagi yang tidak mengikuti aturan yang ada dengan segala konsekwensinya, tanpa meninggalkan norma-norma kemanusiaan dan kasih sayang dan menanamkan bahwasanya adasesuatu dzat yang maha kuasa sedang melihat, mendengar dan mengawasi kita dan akan meminta kita untuk mempertanggungjawabkan setiap aktivitas yang kita lakukan
Menurut Ramayulis pengawasan dalam pendidikan Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut: pengawasan bersifat material dan spiritual, monitoring bukan hanya manajer, tetapi juga Allah Swt, menggunakan metode yang manusiawi yang menjunjung martabat manusia. Dengan karakterisrik tersebut dapat dipahami bahwa pelaksana berbagai perencaan yang telah disepakati akan bertanggung jawab kepada manajernya dan Allah sebagai pengawas yang Maha Mengetahui. Di sisi lain pengawasan dalam konsep Islam lebih mengutamakan menggunakan pendekatan manusiawi, pendekatan yang dijiwai oleh nilai-nilai keIslaman.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Pendidikan Islam adalah proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (ummat Islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras maupun lunak. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.
Banyak sekali para ulama di bidang manajemen yang menyebutkan tentang fungsi-fungsi manajemen diantaranya adalah Mahdi bin Ibrahim, dia mengatakan bahwa fungsi manajemen itu di antaranya adalah fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Bila Para Manajer dalam pendidikan Islam telah bisa melaksanakan tugasnya dengan tepat sesuai dengan fungsi manajemen di atas, terhindar dari semua ungkupan sumir yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam dikelola dengan manajemen yang asal-asalan tanpa tujuan yang tepat. Maka tidak akan ada lagi lembaga pendidikan Islam yang ketinggalan zaman, tidak teroganisir dengan rapi, dan tidak memiliki sistem kontrol yang sesuai.
Semoga tulisan sederhana yang telah pemakalah persembahkan dihadapan anda sebagai bahan diskusi ini semoga bermanfaat adanya. Terima kasih.
Wallahu ‘alam.
DAFTAR PUSTAKA
Hafidudin, Didin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, Jakarta,Gema Insani, 2003.
Ibrahim, Mahdi bin, Amanah dalam Manajemen, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 1997.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, , 2008.
Robbin dan Coulter, Manajemen (edisi kedelapan), Jakarta,PT Indeks, 2007.
Sondang P Siagian, Filsafah Administrasi, Jakarta, CV Masaagung , 1990.
Terry, George R, Prinsip-prinsip Manajemen, Jakarta,Bumi Aksara, 2006.
Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Rineka Cipta, 2004.
UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.
DAN IMPLEMENTASINYA
Oleh : Imadi (NPM. 2010.40.051)
I. Latar Belakang
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Mulai dari urusan terkecil seperti mengatur urusan rumah tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah Negara, semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang, dan bentuk yang ada seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), jenjang pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Alyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas.
Pada jalur pendidikan non formal seperti Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA), Majelis Ta’lim, Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jalur Pendidikan Informal seperti pendidikan yang diselenggarakan di dalam keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau manajemen yang sebaik-baiknya, sebab jika tidak bukan hanya gambaran negatif tentang pendidikan Islam yang ada pada masyarakat akan tetap melekat dan sulit dihilangkan bahkan mungkin Pendidikan Islam yang hak itu akan hancur oleh kebathilan yang dikelola dan tersusun rapi yang berada di sekelilingnya, sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib :”kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”.
Makalah sederhana ini akan membahas tentang manajemen pendidikan Islam dan implementasinya, disampaikan dalam diskusi Mata Kuliah Manajemen Pendidikan di PPs. IAIN Raden Intan Lampung.
II. Pembahasan
a. Pengertian Manajemen Pendidikan Islam.
Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata management yang berarti pengelolaan, ketatalaksanaan, atau tata pimpinan. Sementara John M. Echols dan Hasan Shadily mengartikan management berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan.
Ramayulis menyatakan bahwa pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan). Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam Al Qur’an seperti firman Allah SWT :
يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (Al Sajdah : 05).
Dari isi kandungan ayat di atas dapatlah diketahui bahwa Allah swt adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah swt dalam mengelola alam ini. Namun, karena manusia yang diciptakan Allah SWT telah dijadikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini. Sementara manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Sedangkan Sondang P Siagian mengartikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain.
Bila kita perhatikan dari kedua pengertian manajemen di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa manajemen merupakan sebuah proses pemanfaatan semua sumber daya melalui bantuan orang lain dan bekerjasama dengannya, agar tujuan bersama bisa dicapai secara efektif, efesien, dan produktif. Sedangkan Pendidikan Islam merupakan proses transinternalisasi nilai-nilai Islam kepada peserta didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
b. Analisis Manajemen Pendidikan Islam
Dalam rangka untuk lebih mudah dalam memahami tentang implementasi manajemen Pendidikan Islam, maka penulis berupaya untuk memasukkan muatan implementasinya melalui fungsi – fungsi. Sehingga implementasinya akan menjadi lebih mudah diterapkan. Manajemen pendidikan Islam tidaklah bisa terlepas dari fungsi manajemen secara umum seperti yang dikemukakan Henry Fayol seorang industriawan Prancis, dia mengatakan bahwa fungsi-fungsi manajemen itu adalah merancang, mengorganisasikan, memerintah, mengkoordinasi, dan mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang.
Sementara itu Robbin dan Coulter mengatakan bahwa fungsi dasar manajemen yang paling penting adalah merencanakan, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan. Senada dengan itu Mahdi bin Ibrahim menyatakan bahwa fungsi manajemen atau tugas kepemimpinan dalam pelaksanaannya meliputi berbagai hal, yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
Untuk mempermudah pembahasan mengenai manajemen pendidikan Islam dan implementasinya, maka penulis akan memulai dengan fungsi manajemen pendidikan Islam sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh Robbin dan Coulter yang pendapatnya senada dengan Mahdi bin Ibrahim yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/kepemimpinan, dan pengawasan.
1. Fungsi Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah sebuah proses perdana ketika hendak melakukan pekerjaan baik dalam bentuk pemikiran maupun kerangka kerja agar tujuan yang hendak dicapai mendapatkan hasil yang optimal. Demikian pula halnya dalam pendidikan Islam perencanaan harus dijadikan langkah pertama yang benar-benar diperhatikan oleh para manajer dan para pengelola pendidikan Islam. Sebab perencanaan merupakan bagian penting dari sebuah kesuksesan, kesalahan dalam menentukan perencanaan pendidikan Islam akan berakibat sangat patal bagi keberlangsungan pendidikan Islam. Allah memberikan arahan kepada setiap orang beriman untuk mendesain sebuah rencana apa yang akan dilakukan dikemudian hari, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al Hasyr : 18
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketika menyusun sebuah perencanaan dalam pendidikan Islam tidaklah dilakukan hanya untuk mencapai tujuan dunia semata, tapi harus jauh lebih dari itu melampaui batas-batas target kehidupan duniawi. Arahkanlah perencanaan itu juga untuk mencapai target kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga kedua-duanya bisa dicapai secara seimbang. Mahdi bin Ibrahim mengemukakan bahwa ada lima perkara penting untuk diperhatikan demi keberhasilan sebuah perencanaan, yaitu :
1. Ketelitian dan kejelasan dalam membentuk tujuan.
2. Ketepatan waktu dengan tujuan yang hendak dicapai.
3. Keterkaitan antara fase-fase operasional rencana dengan penanggung jawab operasional, agar mereka mengetahui fase-fase tersebut dengan tujuan yang hendak dicapai.
4. Perhatian terhadap aspek amaliah ditinjau dari sisi penerimaan masyarakat, mempertimbangkan perencanaan, kesesuaian perencanaan dengan tim yang bertanggung jawab terhadap operasionalnya, kemungkinan yang bisa dicapai, dan kesiapan perencanaan melakukan evaluasi terus menerus dalam merealisasikan tujuan.
5. Kemampuan organisatoris penanggung jawab operasional.
Sementara itu menurut Ramayulis mengatakan bahwa dalam Manajemen pendidikan Islam perencanaan itu meliputi :
1. Penentuan prioritas agar pelaksanaan pendidikan berjalan efektif, prioritas kebutuhan agar melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, masyarakat dan bahkan murid.
2. Penetapan tujuan sebagai garis pengarahan dan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan.
3. Formulasi prosedur sebagai tahap-tahap rencana tindakan.
4. Penyerahan tanggung jawab kepada individu dan kelompok kerja.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam Manajeman Pendidikan Islam perencanaan merupakan kunci utama untuk menentukan aktivitas berikutnya. Tanpa perencanaan yang matang aktivitas lainnya tidaklah akan berjalan dengan baik bahkan mungkin akan gagal. Oleh karena itu buatlah perencanaan sematang mungkin agar menemui kesuksesan yang memuaskan.
Implementasi manajemen Pendidikan Islam dalam rangka untuk mencapai tujuan yang baik bagi diri, masyarakat,bangsa dan negara dengan menanamkan nilai-nilai yang positif guna mendapatkan keridhoan dari Allah swt. Baik di dunia maupun di akhirat yang dilandasi dengan keimanan, keyakinan dan keikhlasan serta kasih-sayang dengan niat perbaikan diri dan umat manusia baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
2. Fungsi Pengorganisasian (organizing)
Ajaran Islam senantiasa mendorong para pemeluknya untuk melakukan segala sesuatu secara terorganisir dengan rapi, sebab bisa jadi suatu kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dengan mudah bisa diluluhlantakan oleh kebathilan yang tersusun rapi.
Menurut Terry pengorganisasian merupakan kegiatan dasar dari manajemen yang dilaksanakan untuk mengatur seluruh sumber-sumber yang dibutuhkan termasuk unsur manusia, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan sukses. Organisasi dalam pandangan Islam bukan semata-mata wadah, melainkan lebih menekankan pada bagaimana sebuah pekerjaan dilakukan secara rapi. Organisasi lebih menekankan pada pengaturan mekanisme kerja. Dalam sebuah organisasi tentu ada pemimpin dan bawahan. Sementara itu Ramayulis menyatakan bahwa pengorganisasian dalam pendidikan Islam adalah proses penentuan struktur, aktivitas, interaksi, koordinasi, desain struktur, wewenang, tugas secara transparan, dan jelas. Dalam lembaga pendidikan Islam, baik yang bersifat individual, kelompok, maupun kelembagaan.
Sebuah organisasi dalam manajemen pendidikan Islam akan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan jika konsisten dengan prinsip-prinsip yang mendesain perjalanan organisasi yaitu Kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Jika kesemua prinsip ini dapat diaplikasikan secara konsisten dalam proses pengelolaan lembaga pendidikan islam, maka akan sangat membantu bagi para manajer pendidikan Islam.
Implementasi manajemen Pendidikan Islam dengan mengelola sumber daya manusia dan menempatkan pada tempat yang sesuai dengan kemampuannya. Menempatkan seseorang sesuai dengan kredibilitasnya yang tentunya tidak lepas dari nilai-nilai keyakinan (keimanan), bahwasanya kemampuan dari Allah SWT. bila ada kemauan dan semangat yang tinggi serta senantiasa ada hubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengorganisasian merupakan fase kedua setelah perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Pengorganisasian terjadi karena pekerjaan yang perlu dilaksanakan itu terlalu berat untuk ditangani oleh satu orang saja. Dengan demikian diperlukan tenaga-tenaga bantuan dan terbentuklah suatu kelompok kerja yang efektif. Banyak pikiran, tangan, dan keterampilan dihimpun menjadi satu yang harus dikoordinasi bukan saja untuk diselesaikan tugas-tugas yang bersangkutan, tetapi juga untuk menciptakan kegunaan bagi setiap anggota kelompok tersebut terhadap keinginan keterampilan dan pengetahuan.
3. Fungsi Pengarahan (directing).
Pengarahan adalah proses memberikan bimbingan kepada rekan kerja sehingga mereka menjadi pegawai yang berpengetahuan dan akan bekerja efektif menuju sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Di dalam fungsi pengarahan terdapat empat komponen, yaitu pengarah, yang diberi pengarahan, isi pengarahan, dan metode pengarahan. Pengarah adalah orang yang memberikan pengarahan berupa perintah, larangan, dan bimbingan. Yang diberi pengarahan adalah orang yang diinginkan dapat merealisasikan pengarahan. Isi pengarahan adalah sesuatu yang disampaikan pengarah baik berupa perintah, larangan, maupun bimbingan. Sedangkan metode pengarahan adalah sistem komunikasi antara pengarah dan yang diberi pengarahan.
Dalam manajemen pendidikan Islam, agar isi pengarahan yang diberikan kepada orang yang diberi pengarahan dapat dilaksanakan dengan baik maka seorang pengarah setidaknya harus memperhatikan beberapa prinsip berikut, yaitu : Keteladanan, konsistensi, keterbukaan, kelembutan, dan kebijakan. Isi pengarahan baik yang berupa perintah, larangan, maupun bimbingan hendaknya tidak memberatkan dan diluar kemampuan sipenerima arahan, sebab jika hal itu terjadi maka jangan berharap isi pengarahan itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh si penerima pengarahan.
Seorang pemimpin harus memiliki nilai kepemimpinan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. dengan cara memotivasi, membimbing, mengarahkan dan memberikan contoh (tauladan) serta menjaga hubungan baik dengan yang diberi pengarahan dalam hal yang sifatnya materil maupun spiritual. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa fungsi pengarahan dalam manajemen pendidikan Islam adalah proses bimbingan yang didasari prinsip-prinsip religius kepada rekan kerja, sehingga orang tersebut mau melaksanakan tugasnya dengan sungguh - sungguh dan bersemangat disertai keikhlasan yang sangat mendalam.
4. Fungsi Pengawasan (Controlling)
Pengawasan adalah keseluruhan upaya pengamatan pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan Didin dan Hendri menyatakan bahwa dalam pandangan Islam pengawasan dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak. Dalam pendidikan Islam pengawasan didefinisikan sebagai proses pemantauan yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil maupun spirituil.
Implementasinya dalam kehidupan adalah dengan memberikan penghargaan/reward bagi yang telah melaksanakan pekerjaan/tugasnya dengan baik dan memberikan sanksi atau hukuman bagi yang tidak mengikuti aturan yang ada dengan segala konsekwensinya, tanpa meninggalkan norma-norma kemanusiaan dan kasih sayang dan menanamkan bahwasanya adasesuatu dzat yang maha kuasa sedang melihat, mendengar dan mengawasi kita dan akan meminta kita untuk mempertanggungjawabkan setiap aktivitas yang kita lakukan
Menurut Ramayulis pengawasan dalam pendidikan Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut: pengawasan bersifat material dan spiritual, monitoring bukan hanya manajer, tetapi juga Allah Swt, menggunakan metode yang manusiawi yang menjunjung martabat manusia. Dengan karakterisrik tersebut dapat dipahami bahwa pelaksana berbagai perencaan yang telah disepakati akan bertanggung jawab kepada manajernya dan Allah sebagai pengawas yang Maha Mengetahui. Di sisi lain pengawasan dalam konsep Islam lebih mengutamakan menggunakan pendekatan manusiawi, pendekatan yang dijiwai oleh nilai-nilai keIslaman.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Pendidikan Islam adalah proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (ummat Islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras maupun lunak. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.
Banyak sekali para ulama di bidang manajemen yang menyebutkan tentang fungsi-fungsi manajemen diantaranya adalah Mahdi bin Ibrahim, dia mengatakan bahwa fungsi manajemen itu di antaranya adalah fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Bila Para Manajer dalam pendidikan Islam telah bisa melaksanakan tugasnya dengan tepat sesuai dengan fungsi manajemen di atas, terhindar dari semua ungkupan sumir yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam dikelola dengan manajemen yang asal-asalan tanpa tujuan yang tepat. Maka tidak akan ada lagi lembaga pendidikan Islam yang ketinggalan zaman, tidak teroganisir dengan rapi, dan tidak memiliki sistem kontrol yang sesuai.
Semoga tulisan sederhana yang telah pemakalah persembahkan dihadapan anda sebagai bahan diskusi ini semoga bermanfaat adanya. Terima kasih.
Wallahu ‘alam.
DAFTAR PUSTAKA
Hafidudin, Didin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, Jakarta,Gema Insani, 2003.
Ibrahim, Mahdi bin, Amanah dalam Manajemen, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 1997.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, , 2008.
Robbin dan Coulter, Manajemen (edisi kedelapan), Jakarta,PT Indeks, 2007.
Sondang P Siagian, Filsafah Administrasi, Jakarta, CV Masaagung , 1990.
Terry, George R, Prinsip-prinsip Manajemen, Jakarta,Bumi Aksara, 2006.
Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Rineka Cipta, 2004.
UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.
Makalah Tafsir Tarbawi
KAJIAN KRITIS KITAB-KITAB TAFSIR
Oleh : Imadi ( NPM. 2010-40-051)
A. Latar Belakang
Pada garis besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat metode, yaitu: metode Ijmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik). Lahirnya metode-metode tafsir tersebut merupakan implementasi dan respon atas tuntutan perkembangan zaman yang selalu dinamis. Pada umumnya orang yang hidup pada masa Nabi Saw dan sahabat, adalah ahli dalam bahasa arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbab al-Nuzul), serta mengalami langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya Islam di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan ilmu tafsir. Akibatnya, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan umat yang semakin beragam, dari sinilah lahir istilah tafsir modern.
Salah satu yang mendorong lahirnya tafsir modern adalah semakin melebar, meluas, dan mendalamnya perkembangan aneka ilmu, dan semakin kompleksnya persoalan yang memerlukan bimbingan al-Qur’an. Disisi lain, kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia bagi peminat tuntunya itu semakin menuntut gerak cepat untuk meraih informasi dan bimbingan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas, ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode Maudhu’i (tematik). Dalam makalah ini akan mengkaji tafsir klasik, meliputi : Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Ibn Jarir at-Tabari, Mafatihul Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Qur’anil ‘Azim (tafsir Ibnu Kasir) oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Tafsir Modern, meliputi : Tafsir al-Manar oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida, Fi Zilalil Qur’an oleh asy-Syahid Sayid Qutub, Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi dan Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Shihab.
B. Pembahasan
1. TAFSIR KLASIK
A. Al- Thabari
Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far at-Tabariat-Tabari. Beliau dipandang sebagai salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan ke-Islaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan popularitas luas melalui dua buah karyanya, Tarikhul Umam wal Muluk tentang sejarah dan Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an tentang tafsir. Kedua buku tersebut termasuk di antara sekian banyak rujukan ilmiah paling penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufsir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bil-ma’sur.
Tafsir Ibn Jarir ini terdiri atas tiga puluh jilid, masing-masing berukuran tebal. Pada mulanya tafsir ini pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkannya muncul kembali ketika didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang amir yang telah mengundurkan diri, Amir Hamud bin ‘Abdur Rasyid, salah seorang penguasa Nejd. Tidak lama kemudian kitab tafsir tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai di tangan kita, menjadi sebuah ensiklopedi yang kaya tentang tafsir bil-ma’sur.
Ia merupakan sebuah tafsir bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh setiap orang yang mempelajari tafsir. As-Suyuti menjelaskan, “Kitab tafsir Muhammad bin Jarir at-Tabari adalah tafsir paling besar dan luas. Di dalamnya mengemukakan berbagai pendapat dan mempertimbangkan mana yang paling kuat, serta membahas i’rab dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” Imam Nawawi berkata, “ Umat telah sepakat bahwa belum pernah disusun sebuah tafsirpun yang sama dengan tafsir at-Tabari. Tafsir at-Tabari adalah kitab tafsir yang paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap.
Metode yang diikuti Ibn Jarir dalam tafsirnya ialah, apabila hendak menafsirkan suatu ayat Qur’an ia berkata : Pendapat mengenai ta’wil (tafsir) firman Allah ini adalah begini dan begitu”. Kemudian ia menafsirkan ayat tersebut dengan mendasarkan pada pendapat para sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan dengan sanad lengkap, yakni tafsir bil-ma’sur berasal dari mereka. Ia memaparkan segala riwayat yang berkenaan dengan ayat, namun tidak hanya sekedar memaparkannya semata melainkan ia juga mengkonfrontir pendapat-pendapat (riwayat-riwayat) tersebut satu dengan yang lain lalu mentarjihkan salah satunya.
Terkadang pula ia mengkritik sanad, tak ubah seperti kritikus sanad berpengalaman. Maka ia ta’dil-kan (menetapkan sebagai orang adil) beberapa perawi, men-tarjih-kan (menetapkan sebagai orang tercela) perawi lain yang memang cacat dan menolak riwayat yang tidak dijamin kesahihannya. Ibn Jarir menaruh perhatian besar terhadap masalah qira’at dengan menyebutkan bermacam-macam qira’at dan menghubungkan masing-masing qira’at dengan makna yang berbeda-beda. Dikatakan bahwa ia telah menulis sebuah karangan khusus mengenai qira’ah.
Sekalipun meriwayatkan berita-berita yang diambil dari kisah Isra’iliyat tetapi berita-berita tersebut ia susul dengan pembahasan dan kritikan. Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan, di samping riwayat-riwayat hadits yang dinukil, berpedoman pada syair-syair Arab kuno, memperhatikan mazhab-mazhab ilmu nahwu dan berpijak pada penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal luas. Kecuali itu ia juga sebagai mujtahid, ia banyak membicarakan hukum fiqih, maka ia sebutkan berbagai pendapat para ulama dan mazhabnya kemudian ia menyatakan pendapat sendiri sebagai pendapat yang dipilihnya dan dipandang kuat. Adakalanya ia mengetengahkan masalah akidah dan mendiskusikannya dengan cermat. Dalam hal ini ia sering menyanggah pendapat beberapa golongan dan mazhab ahli kalam serta menyokong Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa tafsir yang paling sahih yang telah berkembang dalam masyarakat Islam ialah tafsir Muhammad Ibnu Jarir ath-Thabary. Beliau menyebut segala pendapat salaf dengan cukup sanadnya dan tidak ada di dalamnya faham bid’ah dan ia tidak menukilkan riwayat dari orang yang tertuduh dusta, misalnya Muqathil ibn Sulaiman al-Khalby. Adapun Tafsir Zamarkhsyary, di dalamnya terdapat banyak bid’ah (faham Mu’tazilah). Tafsir Al Qurtuby lebih baik daripada Tafsir Zamarkhsyary.
B. Al- Razi
Mafatihul Gaib oleh Muhammad bin Umar bin al-Hasan at-Tamimi al-Bakri at-Tabaristani ar-Razi Fakhruddin, beliau adalah ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu dan sangat menonjol dalam ilmu-ilmu naqli dan ‘aqli. Ia memperoleh popularitas besar di segala penjuru dunia, dan mempunyai cukup banyak karya. Di antaranya yang paling penting ialah tafsir Mafatihul Gaib. Tafsir ini terdiri dari delapan jilid besar. Namun berbagai pendapat yang ada menunjukkan bahwa ar-Razi tidak sempat menyelesaikannya. Pendapat-pendapat itu tidak sepakat mengenai sampai sejauh mana ia menyelesaikan tafsirnya dan siapa pula yang menyelesaikannya. Mengenai hal ini Syaikh Muhammad az-Zahabi memberikan catatan sebagai berikut :
Yang dapat saya katakan sebagai pemecahan terhadap silang pendapat ini ialah, bahwa Imam Fakhruddin telah menyelesaikan tafsirnya sampai dengan surat al-Anbiya’. Selanjutnya Syihabuddin al-Khaubi menyempurnakan kekurangan tersebut namun ia juga tidak dapat menyelesaikannya sampai tuntas. Dan setelah itu tampil lagi Najamuddin al-Qamuli menyelesaikan sisanya. Tetapi dapat juga dikatakan bahwa al-Khaubi telah menyempurnakannya hingga selesai, sedang al-Qamuli menulis penyempurnaan lain, bukan yang telah ditulis al-Khaubi. Inilah pendapat yang jelas dari ungkapan penulis Kasyfuz Zunun.
Sekalipun demikian, pembaca tafsir ini tidak akan mendapatkan perbedaan dan metoda dan alur pembahasan dalam penulisannya sehingga ia tidak dapat membedakan antara yang asli dengan yang penyempurnaan. Ar-Razi telah mencurahkan perhatian untuk menerangkan korelasi (munasabah) antar ayat dan surah Qur’an satu dengan yang lain, serta banyak menguraikan ilmu eksakta, fisika, falak, filsafat dan kajian ketuhanan menurut metoda dan argumentasi para filosof yang rasional, disamping juga mengemukakan mazhab-mazhab fiqih. Namun sebenarnya sebagian besar uraian tersebut tidak diperlukan dalam ilmu tafsir. Dengan demikian kitab tafsir ini menjadi ensiklopedia ilmiah tentang ilmu kalam, kosmologi dan fisika, sehingga ia kehilangan relevansinya sebagai tafsir Qur’an.
C. Ibnu Kasir
Tafsir Qur’anil ‘Azim oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Beliau adalah seorang imam besar dan seorang hafiz. Ia belajar kepada Ibn Taimiyah dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya. Para ulama mengakui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadits dan sejarah. Kitab sejarahnya al-Bidayah wan Nihayah merupakan rujukan utama sejarah Islam. Kitab tafsirnya, Tafsir Qur’anil ‘Azim merupakan tafsir paling terkenal di antara sekian banyak tafsir bil ma’sur yang pernah ditulis orang dan menduduki peringkat kedua sesudah kitab Ibn Jarir at-Tabari. Ibn Kasir menafsirkan kalamullah dengan hadits asar yang disandarkan kepada pemiliknya, serta membicarakan pula masalah jahr dan ta’dil yang diperlukan, mentarjihkan sebagian pendapat atas yang lain, menetapkan “lemah” pada sebagian riwayat dan menyatakan “sahih” pada riwayat yang lain.
Keistimewaan Ibn Kasir terletak pada seringnya ia memperingtkan akan riwayat-riwayat Isra’iliyat munkar (tertolak) yang terdapat dalam tafsir bil-ma’sur. Juga pada pengungkapan berbagai pendapat ulama tentang hukum fiqih yang kadang-kadang disertai pendiskusian atas mazhab dan dalil yang dikemukakan mereka masing-masing. Tafsir Ibn Kasir ini diterbitkan bersama (digabung) dengan Ma’alimut Tanzil, karya al-Bagawi. Juga diterbitkan secara terpisah dalam empat jilid berukuran besar. Syaikh Ahmad Syakir menangani pula penerbitannya, sesaat sebelum wafat, sesudah sanad-sanadnya yang lemah dibuang.
2. TAFSIR MODERN
A. Al- Manar
Tafsir al-Manar, oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida. Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi. Syaikh Muhammad Abduh merintis kebangkitan ilmiah. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin al-afgani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru.
Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Rasyid Rida adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, makadapatlah dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akan hal ini nampak jelas dalam tafsirnya al-Manar, nisbah kepada majalah al-Manar yang diterbitkannya. Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha). Beliau hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal. Sehingga muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh dalam setiap penuangan pikiran tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an. Salah satu ide pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya disebabkan adanya kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat Islam juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam Islam. Misalnya, anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.
Beliau memulai tafsirnya dari awal Qur’an dan berakhir pada firman Allah QS. Yusuf : 101
Artinya:
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.”
Tafsir al-Manar adalah sebuah tafsir yang penuh dengan pendapat para pendahulu umat ini, sahabat dan tabi’in dan penuh pula dengan uslub-uslub bahasa Arab dan penjelasan tentang sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan manusia. Ayat-ayat Qur’an ditafsirkan dengan gaya bahasa yang menarik, makna-makna diungkapkan dengan redaksi yang mudah dipahami, berbagai persoalan dijelaskan secara tuntas, tuduhan dan kesalahpahaman pihak musuh yang dilontarkan terhadap Islam dibantah dengan tegas dan penyakit masyarakat ditangani dan diobati dengan petunjuk qur’ani. Syaikh Rasyid Rida menjelaskan bahwa tujuan pokok tafsirnya ialah “untuk memahami kitabullah sebagai sumber ajaran agama yang membimbing umat manusia kearah kebahagiaan hidup di dunia dan hidup di akhirat.”
Kemudian beliau wafat sebelum sempat menyelesaikan penulisan tafsir Qur’an. Bagian tafsir yang telah diselesaikan ini dicetak dalam dua belas jilid berukuran besar.
B. Fi Zilal al- Qur’an
Tafsir Fi Zilal al- Qur’an oleh Sayid Qutub. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh asy-Syahid Hasan al-Bana dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini, tanpa diragukan. Tidak seorangpun dari lawan-lawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam. Maka dengan gerakan ini ditumpahkanlah segala potensi pemuda Islam untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syari’atNya, meninggikan kalimahNya, membangun kejayaannya dan mengembalikan kekuasaannya. Apapun yang dikatakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi atas jama’ah ini namun pengharuh intelektualitasnya tidak dapat diingkari oleh siapapun juga.
Di antara tokoh jama’ah ini yang paling menonjol adalah seorang alim yang sulit dicari bandingannya dan pemikir cemerlang, asy-Syahid Sayid Qutub, yang telah memfilsafatkan pemikiran Islam dan menyingkapkan ajaran-ajarannya yang benar dengan jelas dan gamblang. Tokoh yang menemui Tuhannya sebagai syahid dalam membela akidah ini telah meninggalkan warisan pemikiran sangat bermutu, terutama kitabnya tentang tafsir yang diberi nama Fi Zilalil Qur’an.
Kitab tersebut merupakan sebuah tafsir sempurna tentang kehidupan di bawah sinar Qur’an dan petunjuk Islam. Pengarangnya hidup dibawah naungan Qur’an yang bijaksana sebagaimana dapat dipahami dari penamaan kitabnya. Ia meresapi keindahan Qur’an dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia dewasa ini sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai paham dan aliran yang merusak dan pertarungan berdarah yang tiada hentinya.
Situasi seperti ini, tiada jalan keselamatan lain selain dengan Islam. Dalam pendahuluan tafsirnya ia mengatakan : “Telah saya rasakan masa kehidupan di bawah naungan Qur’an hingga sampai pada keyakinan pasti, bahwa tidak akan ada kebaikan bagi bumi ini, tidak ada ketenangan bagi kemanusiaan, tidak ada ketenteraman bagi umat manusia serta tidak aka nada kemajuan, keberkatan dan kesucian, juga tidak ada keharmonisan dengan hukum-hukum alam dan fitrah kehidupan, kecuali kembali kepada Allah.
Kembali kepada Allah sebagaimana tampak di bawah naungan Qur’an, hanya mempunyai satu bentuk dan satu jalan, hanya satu tanpa yang lain. Yaitu mengembalikan persoalan hidup dengan segala aspeknya kepada system Allah yang telah digariskan bagi umat manusia di dalam kitabNya yang mulia. Yakni berhukum, berpedoman, dan mengikuti hanya pada kitab tersebut dalam kehidupan dengan segala persoalannya. Jika tidak, maka itu berarti kerusakan di muka bumi, kerusakan bagi umat manusia, kemunduran ke dalam lumpur dan budaya jahiliyah yang menyembah hawa nafsu, bukan menyembah Allah. QS. Al-Qasas : 50
Artinya :
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Berhukum kepada sistem atau undang-undang Allah dalam kitabNya bukanlah perbuatan sunnah, sukarela atau pilihan, tetapi itu adalah keimanan. Bagaimana hal tersebut bukan keimanan, padahal Allah berfirman :
• •
Artinya :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Ahzab : 36)
• • •
Artinya :
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Jasiyah : 18-19)
Bertitik tolak dari pandangan inilah Sayid Qutub menempuh metode tertentu bagi penulisan tafsirnya. Pertama - tama beliau datangkan satu“naungan”dalam mukaddimah setiap surah untuk mengaitkan atau mempertemukan antara bagian-bagiannya dan untuk menjelaskan tujuan serta maksudnya. Sesudah itu barulah ia menafsirkan ayat dengan mengetengahkan asar-asar sahih, lalu mengemukakan sebuah paragrap tentang kajian-kajian kebahasaan secara singkat. Kemudian ia beralih ke soal lain, yaitu membangkitkan kesadaran, membetulkan pemahaman dan mengaitkan Islam dengan kehidupan. Kitab ini terdiri atas delapan jilid besar dan telah mengalami cetak ulang beberapa kali hanya dalam beberapa tahun saja, karena mendapat sambutan baik dari orang-orang terpelajar. Kitab tersebut merupakan kekayaan intelektual sosial besar yang diperlukan oleh setiap muslim masa kini.
C. Al- Maraghi
Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Lahir pada tahun 1300 H/1883 M di kota Maraghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 kilometer di sebelah selatan kota Kairo. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah madrasah di desanya, tempat ia mempelajari al-Qur’an, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya sehingga sebelum menginjak usia 13 tahun, ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur’an. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain.
Dari segi metodologi, al-Maraghi telah mengembangkan metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufasir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara ‘uraian global’ dan ‘uraian perincian’. Sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu Ma’na Ijma-li dan Ma’na Tahlili. Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dhaif) dan susah diterima akal, atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah.
Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufasir untuk melibatkan dua sumber penafsiran, aql (akal) dan naql (nas al-Qur’an dan hadits). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan mengandalkan riwayat semata. Sebab, selain jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan terhadap penyimpangan.
Tidak dapat dimungkiri, tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama tafsir al-Manar. Hal ini wajar, mengingat dua penulis tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun sistematika dan langkah-langkah yang digunakan dalam Tafsir al-Maraghi adalah sebagai berikut:
Pertama, Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas.
Kedua, Penjelasan kosa kata (Syarh al-Mufradat). Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
Ketiga, Makna ayat sacara umum (Ma’na al-Ijmali). Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.
Keempat, Penjabaran (al-Idhah). Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan Asbab an-Nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-Ithnab), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
Penulisan tafsir al-Maraghi tidak terlepas dari rasa tanggung jawab dan tuntutan ilmiah seorang penulis sebagai salah seorang ulama tafsir, dalam mengatasi problema masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan secara cepat dan tepat. Karena alasan itulah tafsir al-Maraghi tampil dengan gaya modern, yakni tafsir yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju. Al-Maraghi berhasil menggabungkan dari beberapa metode tafsir yang ada, melalui kitab tafsirnya, al-Maraghi juga mengembangkan salah satu unsur penafsiran baru, yakni memisahkan antara penjelasan global (ijmali) dan penjelasan rincian (tahlili).
D. Al- Misbah
Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Shihab, beliau lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia merupakan putra dari salah seorang wirausahawan dan juga seorang guru besar dalam bidang tafsir yaitu Prof. KH. Abdurrahma Shihab. Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali pendidikannya dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i al-Qur’an al-Karim.
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun waktu dua tahun ia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah” (suatu kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar Karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syarafal Ula. Adapun karya-karya beliau yang lain adalah: Tafsir al-Amanah, Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an Tafsir al-Qur’an Al-Karim. al-Asma Al-Husna. Mukjizat al-Qur’an.
Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan menggunakan metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam tafsir al-Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan ilmu al-Munâsabât yang tercermin dalam enam hal:
1. Keserasian kata demi kata dalam satu surah;
2. Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
3. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
4. Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya;
5. Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
6. Keserasian tema surah dengan nama surah.
Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish Shihab mengemukakan bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudhu’i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode tahlili, Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode maudhu’i. Dengan demikian, metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode yaitu metode Tahlili dengan metode Maudhu’i. Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah corak Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat. Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
1. Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
2. Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
3. Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
4. Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengana ayat yang sedang dibahas.
Adapun sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan hasil ijtihad semata , hal ini diakui oleh penulisnya dalam kata pengantar mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan mereka banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain.
Latar belakang penulisan tafsir al-Misbah ini diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “tafsir al-Qur’an al-Karim” pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya ia tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman dan lain-lain merujuk kepada hadits dhoif, misalnya bahwa membaca surah al-Waqi’ah mengandung kehadiran rizki. Dalam tafsir al-Misbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekililing ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.
KESIMPULAN
Demikianlah gambaran umum makalah ini yang secara global mengkaji tafsir klasik, meliputi : Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Ibn Jarir at-Tabari, Mafatihul Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Qur’anil ‘Azim (tafsir Ibnu Kasir) oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Tafsir Modern, meliputi : Tafsir al-Manar, oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida, Fi Zilalil Qur’an oleh asy-Syahid Sayid Qutub, Tafsir al-Maraghi Oleh Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi dan Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Sihab. Secara singkat dan sederhana dapat disimpulkan bahwa baik tafsir klasik maupun tafsir modern tersebut pada dasarnya ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi berbagai problema umat manusia. Oleh karena itu, diskursus tafsir klasik dan modern diwarnai oleh usaha-usaha untuk membumikan al-Qur’an ditengah-tengah kehidupan umat Islam. Para mufassir ingin membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar bersifat universal yang dapat menjawab problematika umat.
Apa yang dilakukan oleh mufassir modern sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya cocok dengan sosio-kultural setempat, dan tidak cocok dengan sosio-kultural yang lain. Oleh karena itu, dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup kemungkinan munculnya mufassir-mufassir modern di tempat lain bahkan diantara kita. Aamiin!
DAFTAR PUSTAKA
A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional alam Tafsir al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006.
Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz 1.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Tengku, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Anwar, Rosihan, Samudera al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
Asy’ari Ulama’i, Hasan, Membedah Kitab Tafsir Hadis; Dari Iman Ibn Jarir al- Thobari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, Semarang: Walisongo Press.
Baidan, Nashruddin, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,
2000.
Faiz , Fachruddin, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta: Qalam, cet. Ke-II, 2002.
Khalil, al-Qattan Manna, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2009.
Ichwan, Mohammad Nur, Belajar al-Qur’an; Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al- Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang: Rasail.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
----------------------, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas berbagai Persoalan Umat, Bandung: Penerbit Mizan, 1998.
----------------------, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006.
Oleh : Imadi ( NPM. 2010-40-051)
A. Latar Belakang
Pada garis besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat metode, yaitu: metode Ijmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik). Lahirnya metode-metode tafsir tersebut merupakan implementasi dan respon atas tuntutan perkembangan zaman yang selalu dinamis. Pada umumnya orang yang hidup pada masa Nabi Saw dan sahabat, adalah ahli dalam bahasa arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbab al-Nuzul), serta mengalami langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya Islam di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan ilmu tafsir. Akibatnya, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan umat yang semakin beragam, dari sinilah lahir istilah tafsir modern.
Salah satu yang mendorong lahirnya tafsir modern adalah semakin melebar, meluas, dan mendalamnya perkembangan aneka ilmu, dan semakin kompleksnya persoalan yang memerlukan bimbingan al-Qur’an. Disisi lain, kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia bagi peminat tuntunya itu semakin menuntut gerak cepat untuk meraih informasi dan bimbingan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas, ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode Maudhu’i (tematik). Dalam makalah ini akan mengkaji tafsir klasik, meliputi : Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Ibn Jarir at-Tabari, Mafatihul Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Qur’anil ‘Azim (tafsir Ibnu Kasir) oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Tafsir Modern, meliputi : Tafsir al-Manar oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida, Fi Zilalil Qur’an oleh asy-Syahid Sayid Qutub, Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi dan Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Shihab.
B. Pembahasan
1. TAFSIR KLASIK
A. Al- Thabari
Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far at-Tabariat-Tabari. Beliau dipandang sebagai salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan ke-Islaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan popularitas luas melalui dua buah karyanya, Tarikhul Umam wal Muluk tentang sejarah dan Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an tentang tafsir. Kedua buku tersebut termasuk di antara sekian banyak rujukan ilmiah paling penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufsir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bil-ma’sur.
Tafsir Ibn Jarir ini terdiri atas tiga puluh jilid, masing-masing berukuran tebal. Pada mulanya tafsir ini pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkannya muncul kembali ketika didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang amir yang telah mengundurkan diri, Amir Hamud bin ‘Abdur Rasyid, salah seorang penguasa Nejd. Tidak lama kemudian kitab tafsir tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai di tangan kita, menjadi sebuah ensiklopedi yang kaya tentang tafsir bil-ma’sur.
Ia merupakan sebuah tafsir bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh setiap orang yang mempelajari tafsir. As-Suyuti menjelaskan, “Kitab tafsir Muhammad bin Jarir at-Tabari adalah tafsir paling besar dan luas. Di dalamnya mengemukakan berbagai pendapat dan mempertimbangkan mana yang paling kuat, serta membahas i’rab dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” Imam Nawawi berkata, “ Umat telah sepakat bahwa belum pernah disusun sebuah tafsirpun yang sama dengan tafsir at-Tabari. Tafsir at-Tabari adalah kitab tafsir yang paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap.
Metode yang diikuti Ibn Jarir dalam tafsirnya ialah, apabila hendak menafsirkan suatu ayat Qur’an ia berkata : Pendapat mengenai ta’wil (tafsir) firman Allah ini adalah begini dan begitu”. Kemudian ia menafsirkan ayat tersebut dengan mendasarkan pada pendapat para sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan dengan sanad lengkap, yakni tafsir bil-ma’sur berasal dari mereka. Ia memaparkan segala riwayat yang berkenaan dengan ayat, namun tidak hanya sekedar memaparkannya semata melainkan ia juga mengkonfrontir pendapat-pendapat (riwayat-riwayat) tersebut satu dengan yang lain lalu mentarjihkan salah satunya.
Terkadang pula ia mengkritik sanad, tak ubah seperti kritikus sanad berpengalaman. Maka ia ta’dil-kan (menetapkan sebagai orang adil) beberapa perawi, men-tarjih-kan (menetapkan sebagai orang tercela) perawi lain yang memang cacat dan menolak riwayat yang tidak dijamin kesahihannya. Ibn Jarir menaruh perhatian besar terhadap masalah qira’at dengan menyebutkan bermacam-macam qira’at dan menghubungkan masing-masing qira’at dengan makna yang berbeda-beda. Dikatakan bahwa ia telah menulis sebuah karangan khusus mengenai qira’ah.
Sekalipun meriwayatkan berita-berita yang diambil dari kisah Isra’iliyat tetapi berita-berita tersebut ia susul dengan pembahasan dan kritikan. Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan, di samping riwayat-riwayat hadits yang dinukil, berpedoman pada syair-syair Arab kuno, memperhatikan mazhab-mazhab ilmu nahwu dan berpijak pada penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal luas. Kecuali itu ia juga sebagai mujtahid, ia banyak membicarakan hukum fiqih, maka ia sebutkan berbagai pendapat para ulama dan mazhabnya kemudian ia menyatakan pendapat sendiri sebagai pendapat yang dipilihnya dan dipandang kuat. Adakalanya ia mengetengahkan masalah akidah dan mendiskusikannya dengan cermat. Dalam hal ini ia sering menyanggah pendapat beberapa golongan dan mazhab ahli kalam serta menyokong Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa tafsir yang paling sahih yang telah berkembang dalam masyarakat Islam ialah tafsir Muhammad Ibnu Jarir ath-Thabary. Beliau menyebut segala pendapat salaf dengan cukup sanadnya dan tidak ada di dalamnya faham bid’ah dan ia tidak menukilkan riwayat dari orang yang tertuduh dusta, misalnya Muqathil ibn Sulaiman al-Khalby. Adapun Tafsir Zamarkhsyary, di dalamnya terdapat banyak bid’ah (faham Mu’tazilah). Tafsir Al Qurtuby lebih baik daripada Tafsir Zamarkhsyary.
B. Al- Razi
Mafatihul Gaib oleh Muhammad bin Umar bin al-Hasan at-Tamimi al-Bakri at-Tabaristani ar-Razi Fakhruddin, beliau adalah ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu dan sangat menonjol dalam ilmu-ilmu naqli dan ‘aqli. Ia memperoleh popularitas besar di segala penjuru dunia, dan mempunyai cukup banyak karya. Di antaranya yang paling penting ialah tafsir Mafatihul Gaib. Tafsir ini terdiri dari delapan jilid besar. Namun berbagai pendapat yang ada menunjukkan bahwa ar-Razi tidak sempat menyelesaikannya. Pendapat-pendapat itu tidak sepakat mengenai sampai sejauh mana ia menyelesaikan tafsirnya dan siapa pula yang menyelesaikannya. Mengenai hal ini Syaikh Muhammad az-Zahabi memberikan catatan sebagai berikut :
Yang dapat saya katakan sebagai pemecahan terhadap silang pendapat ini ialah, bahwa Imam Fakhruddin telah menyelesaikan tafsirnya sampai dengan surat al-Anbiya’. Selanjutnya Syihabuddin al-Khaubi menyempurnakan kekurangan tersebut namun ia juga tidak dapat menyelesaikannya sampai tuntas. Dan setelah itu tampil lagi Najamuddin al-Qamuli menyelesaikan sisanya. Tetapi dapat juga dikatakan bahwa al-Khaubi telah menyempurnakannya hingga selesai, sedang al-Qamuli menulis penyempurnaan lain, bukan yang telah ditulis al-Khaubi. Inilah pendapat yang jelas dari ungkapan penulis Kasyfuz Zunun.
Sekalipun demikian, pembaca tafsir ini tidak akan mendapatkan perbedaan dan metoda dan alur pembahasan dalam penulisannya sehingga ia tidak dapat membedakan antara yang asli dengan yang penyempurnaan. Ar-Razi telah mencurahkan perhatian untuk menerangkan korelasi (munasabah) antar ayat dan surah Qur’an satu dengan yang lain, serta banyak menguraikan ilmu eksakta, fisika, falak, filsafat dan kajian ketuhanan menurut metoda dan argumentasi para filosof yang rasional, disamping juga mengemukakan mazhab-mazhab fiqih. Namun sebenarnya sebagian besar uraian tersebut tidak diperlukan dalam ilmu tafsir. Dengan demikian kitab tafsir ini menjadi ensiklopedia ilmiah tentang ilmu kalam, kosmologi dan fisika, sehingga ia kehilangan relevansinya sebagai tafsir Qur’an.
C. Ibnu Kasir
Tafsir Qur’anil ‘Azim oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Beliau adalah seorang imam besar dan seorang hafiz. Ia belajar kepada Ibn Taimiyah dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya. Para ulama mengakui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadits dan sejarah. Kitab sejarahnya al-Bidayah wan Nihayah merupakan rujukan utama sejarah Islam. Kitab tafsirnya, Tafsir Qur’anil ‘Azim merupakan tafsir paling terkenal di antara sekian banyak tafsir bil ma’sur yang pernah ditulis orang dan menduduki peringkat kedua sesudah kitab Ibn Jarir at-Tabari. Ibn Kasir menafsirkan kalamullah dengan hadits asar yang disandarkan kepada pemiliknya, serta membicarakan pula masalah jahr dan ta’dil yang diperlukan, mentarjihkan sebagian pendapat atas yang lain, menetapkan “lemah” pada sebagian riwayat dan menyatakan “sahih” pada riwayat yang lain.
Keistimewaan Ibn Kasir terletak pada seringnya ia memperingtkan akan riwayat-riwayat Isra’iliyat munkar (tertolak) yang terdapat dalam tafsir bil-ma’sur. Juga pada pengungkapan berbagai pendapat ulama tentang hukum fiqih yang kadang-kadang disertai pendiskusian atas mazhab dan dalil yang dikemukakan mereka masing-masing. Tafsir Ibn Kasir ini diterbitkan bersama (digabung) dengan Ma’alimut Tanzil, karya al-Bagawi. Juga diterbitkan secara terpisah dalam empat jilid berukuran besar. Syaikh Ahmad Syakir menangani pula penerbitannya, sesaat sebelum wafat, sesudah sanad-sanadnya yang lemah dibuang.
2. TAFSIR MODERN
A. Al- Manar
Tafsir al-Manar, oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida. Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi. Syaikh Muhammad Abduh merintis kebangkitan ilmiah. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin al-afgani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru.
Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Rasyid Rida adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, makadapatlah dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akan hal ini nampak jelas dalam tafsirnya al-Manar, nisbah kepada majalah al-Manar yang diterbitkannya. Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha). Beliau hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal. Sehingga muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh dalam setiap penuangan pikiran tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an. Salah satu ide pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya disebabkan adanya kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat Islam juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam Islam. Misalnya, anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.
Beliau memulai tafsirnya dari awal Qur’an dan berakhir pada firman Allah QS. Yusuf : 101
Artinya:
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.”
Tafsir al-Manar adalah sebuah tafsir yang penuh dengan pendapat para pendahulu umat ini, sahabat dan tabi’in dan penuh pula dengan uslub-uslub bahasa Arab dan penjelasan tentang sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan manusia. Ayat-ayat Qur’an ditafsirkan dengan gaya bahasa yang menarik, makna-makna diungkapkan dengan redaksi yang mudah dipahami, berbagai persoalan dijelaskan secara tuntas, tuduhan dan kesalahpahaman pihak musuh yang dilontarkan terhadap Islam dibantah dengan tegas dan penyakit masyarakat ditangani dan diobati dengan petunjuk qur’ani. Syaikh Rasyid Rida menjelaskan bahwa tujuan pokok tafsirnya ialah “untuk memahami kitabullah sebagai sumber ajaran agama yang membimbing umat manusia kearah kebahagiaan hidup di dunia dan hidup di akhirat.”
Kemudian beliau wafat sebelum sempat menyelesaikan penulisan tafsir Qur’an. Bagian tafsir yang telah diselesaikan ini dicetak dalam dua belas jilid berukuran besar.
B. Fi Zilal al- Qur’an
Tafsir Fi Zilal al- Qur’an oleh Sayid Qutub. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh asy-Syahid Hasan al-Bana dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini, tanpa diragukan. Tidak seorangpun dari lawan-lawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam. Maka dengan gerakan ini ditumpahkanlah segala potensi pemuda Islam untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syari’atNya, meninggikan kalimahNya, membangun kejayaannya dan mengembalikan kekuasaannya. Apapun yang dikatakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi atas jama’ah ini namun pengharuh intelektualitasnya tidak dapat diingkari oleh siapapun juga.
Di antara tokoh jama’ah ini yang paling menonjol adalah seorang alim yang sulit dicari bandingannya dan pemikir cemerlang, asy-Syahid Sayid Qutub, yang telah memfilsafatkan pemikiran Islam dan menyingkapkan ajaran-ajarannya yang benar dengan jelas dan gamblang. Tokoh yang menemui Tuhannya sebagai syahid dalam membela akidah ini telah meninggalkan warisan pemikiran sangat bermutu, terutama kitabnya tentang tafsir yang diberi nama Fi Zilalil Qur’an.
Kitab tersebut merupakan sebuah tafsir sempurna tentang kehidupan di bawah sinar Qur’an dan petunjuk Islam. Pengarangnya hidup dibawah naungan Qur’an yang bijaksana sebagaimana dapat dipahami dari penamaan kitabnya. Ia meresapi keindahan Qur’an dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia dewasa ini sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai paham dan aliran yang merusak dan pertarungan berdarah yang tiada hentinya.
Situasi seperti ini, tiada jalan keselamatan lain selain dengan Islam. Dalam pendahuluan tafsirnya ia mengatakan : “Telah saya rasakan masa kehidupan di bawah naungan Qur’an hingga sampai pada keyakinan pasti, bahwa tidak akan ada kebaikan bagi bumi ini, tidak ada ketenangan bagi kemanusiaan, tidak ada ketenteraman bagi umat manusia serta tidak aka nada kemajuan, keberkatan dan kesucian, juga tidak ada keharmonisan dengan hukum-hukum alam dan fitrah kehidupan, kecuali kembali kepada Allah.
Kembali kepada Allah sebagaimana tampak di bawah naungan Qur’an, hanya mempunyai satu bentuk dan satu jalan, hanya satu tanpa yang lain. Yaitu mengembalikan persoalan hidup dengan segala aspeknya kepada system Allah yang telah digariskan bagi umat manusia di dalam kitabNya yang mulia. Yakni berhukum, berpedoman, dan mengikuti hanya pada kitab tersebut dalam kehidupan dengan segala persoalannya. Jika tidak, maka itu berarti kerusakan di muka bumi, kerusakan bagi umat manusia, kemunduran ke dalam lumpur dan budaya jahiliyah yang menyembah hawa nafsu, bukan menyembah Allah. QS. Al-Qasas : 50
Artinya :
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Berhukum kepada sistem atau undang-undang Allah dalam kitabNya bukanlah perbuatan sunnah, sukarela atau pilihan, tetapi itu adalah keimanan. Bagaimana hal tersebut bukan keimanan, padahal Allah berfirman :
• •
Artinya :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Ahzab : 36)
• • •
Artinya :
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Jasiyah : 18-19)
Bertitik tolak dari pandangan inilah Sayid Qutub menempuh metode tertentu bagi penulisan tafsirnya. Pertama - tama beliau datangkan satu“naungan”dalam mukaddimah setiap surah untuk mengaitkan atau mempertemukan antara bagian-bagiannya dan untuk menjelaskan tujuan serta maksudnya. Sesudah itu barulah ia menafsirkan ayat dengan mengetengahkan asar-asar sahih, lalu mengemukakan sebuah paragrap tentang kajian-kajian kebahasaan secara singkat. Kemudian ia beralih ke soal lain, yaitu membangkitkan kesadaran, membetulkan pemahaman dan mengaitkan Islam dengan kehidupan. Kitab ini terdiri atas delapan jilid besar dan telah mengalami cetak ulang beberapa kali hanya dalam beberapa tahun saja, karena mendapat sambutan baik dari orang-orang terpelajar. Kitab tersebut merupakan kekayaan intelektual sosial besar yang diperlukan oleh setiap muslim masa kini.
C. Al- Maraghi
Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Lahir pada tahun 1300 H/1883 M di kota Maraghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 kilometer di sebelah selatan kota Kairo. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah madrasah di desanya, tempat ia mempelajari al-Qur’an, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya sehingga sebelum menginjak usia 13 tahun, ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur’an. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain.
Dari segi metodologi, al-Maraghi telah mengembangkan metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufasir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara ‘uraian global’ dan ‘uraian perincian’. Sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu Ma’na Ijma-li dan Ma’na Tahlili. Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dhaif) dan susah diterima akal, atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah.
Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufasir untuk melibatkan dua sumber penafsiran, aql (akal) dan naql (nas al-Qur’an dan hadits). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan mengandalkan riwayat semata. Sebab, selain jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan terhadap penyimpangan.
Tidak dapat dimungkiri, tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama tafsir al-Manar. Hal ini wajar, mengingat dua penulis tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun sistematika dan langkah-langkah yang digunakan dalam Tafsir al-Maraghi adalah sebagai berikut:
Pertama, Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas.
Kedua, Penjelasan kosa kata (Syarh al-Mufradat). Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
Ketiga, Makna ayat sacara umum (Ma’na al-Ijmali). Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.
Keempat, Penjabaran (al-Idhah). Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan Asbab an-Nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-Ithnab), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
Penulisan tafsir al-Maraghi tidak terlepas dari rasa tanggung jawab dan tuntutan ilmiah seorang penulis sebagai salah seorang ulama tafsir, dalam mengatasi problema masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan secara cepat dan tepat. Karena alasan itulah tafsir al-Maraghi tampil dengan gaya modern, yakni tafsir yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju. Al-Maraghi berhasil menggabungkan dari beberapa metode tafsir yang ada, melalui kitab tafsirnya, al-Maraghi juga mengembangkan salah satu unsur penafsiran baru, yakni memisahkan antara penjelasan global (ijmali) dan penjelasan rincian (tahlili).
D. Al- Misbah
Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Shihab, beliau lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia merupakan putra dari salah seorang wirausahawan dan juga seorang guru besar dalam bidang tafsir yaitu Prof. KH. Abdurrahma Shihab. Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali pendidikannya dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i al-Qur’an al-Karim.
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun waktu dua tahun ia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah” (suatu kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar Karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syarafal Ula. Adapun karya-karya beliau yang lain adalah: Tafsir al-Amanah, Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an Tafsir al-Qur’an Al-Karim. al-Asma Al-Husna. Mukjizat al-Qur’an.
Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan menggunakan metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam tafsir al-Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan ilmu al-Munâsabât yang tercermin dalam enam hal:
1. Keserasian kata demi kata dalam satu surah;
2. Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
3. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
4. Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya;
5. Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
6. Keserasian tema surah dengan nama surah.
Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish Shihab mengemukakan bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudhu’i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode tahlili, Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode maudhu’i. Dengan demikian, metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode yaitu metode Tahlili dengan metode Maudhu’i. Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah corak Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat. Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
1. Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
2. Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
3. Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
4. Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengana ayat yang sedang dibahas.
Adapun sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan hasil ijtihad semata , hal ini diakui oleh penulisnya dalam kata pengantar mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan mereka banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain.
Latar belakang penulisan tafsir al-Misbah ini diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “tafsir al-Qur’an al-Karim” pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya ia tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman dan lain-lain merujuk kepada hadits dhoif, misalnya bahwa membaca surah al-Waqi’ah mengandung kehadiran rizki. Dalam tafsir al-Misbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekililing ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.
KESIMPULAN
Demikianlah gambaran umum makalah ini yang secara global mengkaji tafsir klasik, meliputi : Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Ibn Jarir at-Tabari, Mafatihul Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Qur’anil ‘Azim (tafsir Ibnu Kasir) oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Tafsir Modern, meliputi : Tafsir al-Manar, oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida, Fi Zilalil Qur’an oleh asy-Syahid Sayid Qutub, Tafsir al-Maraghi Oleh Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi dan Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Sihab. Secara singkat dan sederhana dapat disimpulkan bahwa baik tafsir klasik maupun tafsir modern tersebut pada dasarnya ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi berbagai problema umat manusia. Oleh karena itu, diskursus tafsir klasik dan modern diwarnai oleh usaha-usaha untuk membumikan al-Qur’an ditengah-tengah kehidupan umat Islam. Para mufassir ingin membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar bersifat universal yang dapat menjawab problematika umat.
Apa yang dilakukan oleh mufassir modern sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya cocok dengan sosio-kultural setempat, dan tidak cocok dengan sosio-kultural yang lain. Oleh karena itu, dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup kemungkinan munculnya mufassir-mufassir modern di tempat lain bahkan diantara kita. Aamiin!
DAFTAR PUSTAKA
A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional alam Tafsir al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006.
Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz 1.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Tengku, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Anwar, Rosihan, Samudera al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
Asy’ari Ulama’i, Hasan, Membedah Kitab Tafsir Hadis; Dari Iman Ibn Jarir al- Thobari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, Semarang: Walisongo Press.
Baidan, Nashruddin, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,
2000.
Faiz , Fachruddin, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta: Qalam, cet. Ke-II, 2002.
Khalil, al-Qattan Manna, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2009.
Ichwan, Mohammad Nur, Belajar al-Qur’an; Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al- Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang: Rasail.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
----------------------, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas berbagai Persoalan Umat, Bandung: Penerbit Mizan, 1998.
----------------------, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006.
Langganan:
Postingan (Atom)