Selasa, 28 Desember 2010

Makalah Tafsir Tarbawi

KAJIAN KRITIS KITAB-KITAB TAFSIR
Oleh : Imadi ( NPM. 2010-40-051)

A. Latar Belakang
Pada garis besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat metode, yaitu: metode Ijmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik). Lahirnya metode-metode tafsir tersebut merupakan implementasi dan respon atas tuntutan perkembangan zaman yang selalu dinamis. Pada umumnya orang yang hidup pada masa Nabi Saw dan sahabat, adalah ahli dalam bahasa arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbab al-Nuzul), serta mengalami langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya Islam di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan ilmu tafsir. Akibatnya, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan umat yang semakin beragam, dari sinilah lahir istilah tafsir modern.
Salah satu yang mendorong lahirnya tafsir modern adalah semakin melebar, meluas, dan mendalamnya perkembangan aneka ilmu, dan semakin kompleksnya persoalan yang memerlukan bimbingan al-Qur’an. Disisi lain, kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia bagi peminat tuntunya itu semakin menuntut gerak cepat untuk meraih informasi dan bimbingan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas, ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode Maudhu’i (tematik). Dalam makalah ini akan mengkaji tafsir klasik, meliputi : Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Ibn Jarir at-Tabari, Mafatihul Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Qur’anil ‘Azim (tafsir Ibnu Kasir) oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Tafsir Modern, meliputi : Tafsir al-Manar oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida, Fi Zilalil Qur’an oleh asy-Syahid Sayid Qutub, Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi dan Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Shihab.
B. Pembahasan
1. TAFSIR KLASIK
A. Al- Thabari
Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far at-Tabariat-Tabari. Beliau dipandang sebagai salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan ke-Islaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan popularitas luas melalui dua buah karyanya, Tarikhul Umam wal Muluk tentang sejarah dan Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an tentang tafsir. Kedua buku tersebut termasuk di antara sekian banyak rujukan ilmiah paling penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufsir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bil-ma’sur.
Tafsir Ibn Jarir ini terdiri atas tiga puluh jilid, masing-masing berukuran tebal. Pada mulanya tafsir ini pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkannya muncul kembali ketika didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang amir yang telah mengundurkan diri, Amir Hamud bin ‘Abdur Rasyid, salah seorang penguasa Nejd. Tidak lama kemudian kitab tafsir tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai di tangan kita, menjadi sebuah ensiklopedi yang kaya tentang tafsir bil-ma’sur.
Ia merupakan sebuah tafsir bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh setiap orang yang mempelajari tafsir. As-Suyuti menjelaskan, “Kitab tafsir Muhammad bin Jarir at-Tabari adalah tafsir paling besar dan luas. Di dalamnya mengemukakan berbagai pendapat dan mempertimbangkan mana yang paling kuat, serta membahas i’rab dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” Imam Nawawi berkata, “ Umat telah sepakat bahwa belum pernah disusun sebuah tafsirpun yang sama dengan tafsir at-Tabari. Tafsir at-Tabari adalah kitab tafsir yang paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap.
Metode yang diikuti Ibn Jarir dalam tafsirnya ialah, apabila hendak menafsirkan suatu ayat Qur’an ia berkata : Pendapat mengenai ta’wil (tafsir) firman Allah ini adalah begini dan begitu”. Kemudian ia menafsirkan ayat tersebut dengan mendasarkan pada pendapat para sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan dengan sanad lengkap, yakni tafsir bil-ma’sur berasal dari mereka. Ia memaparkan segala riwayat yang berkenaan dengan ayat, namun tidak hanya sekedar memaparkannya semata melainkan ia juga mengkonfrontir pendapat-pendapat (riwayat-riwayat) tersebut satu dengan yang lain lalu mentarjihkan salah satunya.
Terkadang pula ia mengkritik sanad, tak ubah seperti kritikus sanad berpengalaman. Maka ia ta’dil-kan (menetapkan sebagai orang adil) beberapa perawi, men-tarjih-kan (menetapkan sebagai orang tercela) perawi lain yang memang cacat dan menolak riwayat yang tidak dijamin kesahihannya. Ibn Jarir menaruh perhatian besar terhadap masalah qira’at dengan menyebutkan bermacam-macam qira’at dan menghubungkan masing-masing qira’at dengan makna yang berbeda-beda. Dikatakan bahwa ia telah menulis sebuah karangan khusus mengenai qira’ah.
Sekalipun meriwayatkan berita-berita yang diambil dari kisah Isra’iliyat tetapi berita-berita tersebut ia susul dengan pembahasan dan kritikan. Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan, di samping riwayat-riwayat hadits yang dinukil, berpedoman pada syair-syair Arab kuno, memperhatikan mazhab-mazhab ilmu nahwu dan berpijak pada penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal luas. Kecuali itu ia juga sebagai mujtahid, ia banyak membicarakan hukum fiqih, maka ia sebutkan berbagai pendapat para ulama dan mazhabnya kemudian ia menyatakan pendapat sendiri sebagai pendapat yang dipilihnya dan dipandang kuat. Adakalanya ia mengetengahkan masalah akidah dan mendiskusikannya dengan cermat. Dalam hal ini ia sering menyanggah pendapat beberapa golongan dan mazhab ahli kalam serta menyokong Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa tafsir yang paling sahih yang telah berkembang dalam masyarakat Islam ialah tafsir Muhammad Ibnu Jarir ath-Thabary. Beliau menyebut segala pendapat salaf dengan cukup sanadnya dan tidak ada di dalamnya faham bid’ah dan ia tidak menukilkan riwayat dari orang yang tertuduh dusta, misalnya Muqathil ibn Sulaiman al-Khalby. Adapun Tafsir Zamarkhsyary, di dalamnya terdapat banyak bid’ah (faham Mu’tazilah). Tafsir Al Qurtuby lebih baik daripada Tafsir Zamarkhsyary.

B. Al- Razi
Mafatihul Gaib oleh Muhammad bin Umar bin al-Hasan at-Tamimi al-Bakri at-Tabaristani ar-Razi Fakhruddin, beliau adalah ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu dan sangat menonjol dalam ilmu-ilmu naqli dan ‘aqli. Ia memperoleh popularitas besar di segala penjuru dunia, dan mempunyai cukup banyak karya. Di antaranya yang paling penting ialah tafsir Mafatihul Gaib. Tafsir ini terdiri dari delapan jilid besar. Namun berbagai pendapat yang ada menunjukkan bahwa ar-Razi tidak sempat menyelesaikannya. Pendapat-pendapat itu tidak sepakat mengenai sampai sejauh mana ia menyelesaikan tafsirnya dan siapa pula yang menyelesaikannya. Mengenai hal ini Syaikh Muhammad az-Zahabi memberikan catatan sebagai berikut :
Yang dapat saya katakan sebagai pemecahan terhadap silang pendapat ini ialah, bahwa Imam Fakhruddin telah menyelesaikan tafsirnya sampai dengan surat al-Anbiya’. Selanjutnya Syihabuddin al-Khaubi menyempurnakan kekurangan tersebut namun ia juga tidak dapat menyelesaikannya sampai tuntas. Dan setelah itu tampil lagi Najamuddin al-Qamuli menyelesaikan sisanya. Tetapi dapat juga dikatakan bahwa al-Khaubi telah menyempurnakannya hingga selesai, sedang al-Qamuli menulis penyempurnaan lain, bukan yang telah ditulis al-Khaubi. Inilah pendapat yang jelas dari ungkapan penulis Kasyfuz Zunun.
Sekalipun demikian, pembaca tafsir ini tidak akan mendapatkan perbedaan dan metoda dan alur pembahasan dalam penulisannya sehingga ia tidak dapat membedakan antara yang asli dengan yang penyempurnaan. Ar-Razi telah mencurahkan perhatian untuk menerangkan korelasi (munasabah) antar ayat dan surah Qur’an satu dengan yang lain, serta banyak menguraikan ilmu eksakta, fisika, falak, filsafat dan kajian ketuhanan menurut metoda dan argumentasi para filosof yang rasional, disamping juga mengemukakan mazhab-mazhab fiqih. Namun sebenarnya sebagian besar uraian tersebut tidak diperlukan dalam ilmu tafsir. Dengan demikian kitab tafsir ini menjadi ensiklopedia ilmiah tentang ilmu kalam, kosmologi dan fisika, sehingga ia kehilangan relevansinya sebagai tafsir Qur’an.

C. Ibnu Kasir
Tafsir Qur’anil ‘Azim oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Beliau adalah seorang imam besar dan seorang hafiz. Ia belajar kepada Ibn Taimiyah dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya. Para ulama mengakui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadits dan sejarah. Kitab sejarahnya al-Bidayah wan Nihayah merupakan rujukan utama sejarah Islam. Kitab tafsirnya, Tafsir Qur’anil ‘Azim merupakan tafsir paling terkenal di antara sekian banyak tafsir bil ma’sur yang pernah ditulis orang dan menduduki peringkat kedua sesudah kitab Ibn Jarir at-Tabari. Ibn Kasir menafsirkan kalamullah dengan hadits asar yang disandarkan kepada pemiliknya, serta membicarakan pula masalah jahr dan ta’dil yang diperlukan, mentarjihkan sebagian pendapat atas yang lain, menetapkan “lemah” pada sebagian riwayat dan menyatakan “sahih” pada riwayat yang lain.
Keistimewaan Ibn Kasir terletak pada seringnya ia memperingtkan akan riwayat-riwayat Isra’iliyat munkar (tertolak) yang terdapat dalam tafsir bil-ma’sur. Juga pada pengungkapan berbagai pendapat ulama tentang hukum fiqih yang kadang-kadang disertai pendiskusian atas mazhab dan dalil yang dikemukakan mereka masing-masing. Tafsir Ibn Kasir ini diterbitkan bersama (digabung) dengan Ma’alimut Tanzil, karya al-Bagawi. Juga diterbitkan secara terpisah dalam empat jilid berukuran besar. Syaikh Ahmad Syakir menangani pula penerbitannya, sesaat sebelum wafat, sesudah sanad-sanadnya yang lemah dibuang.

2. TAFSIR MODERN
A. Al- Manar
Tafsir al-Manar, oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida. Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi. Syaikh Muhammad Abduh merintis kebangkitan ilmiah. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin al-afgani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru.
Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Rasyid Rida adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, makadapatlah dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akan hal ini nampak jelas dalam tafsirnya al-Manar, nisbah kepada majalah al-Manar yang diterbitkannya. Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha). Beliau hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal. Sehingga muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh dalam setiap penuangan pikiran tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an. Salah satu ide pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya disebabkan adanya kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat Islam juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam Islam. Misalnya, anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.
Beliau memulai tafsirnya dari awal Qur’an dan berakhir pada firman Allah QS. Yusuf : 101
                       
Artinya:
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.”
Tafsir al-Manar adalah sebuah tafsir yang penuh dengan pendapat para pendahulu umat ini, sahabat dan tabi’in dan penuh pula dengan uslub-uslub bahasa Arab dan penjelasan tentang sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan manusia. Ayat-ayat Qur’an ditafsirkan dengan gaya bahasa yang menarik, makna-makna diungkapkan dengan redaksi yang mudah dipahami, berbagai persoalan dijelaskan secara tuntas, tuduhan dan kesalahpahaman pihak musuh yang dilontarkan terhadap Islam dibantah dengan tegas dan penyakit masyarakat ditangani dan diobati dengan petunjuk qur’ani. Syaikh Rasyid Rida menjelaskan bahwa tujuan pokok tafsirnya ialah “untuk memahami kitabullah sebagai sumber ajaran agama yang membimbing umat manusia kearah kebahagiaan hidup di dunia dan hidup di akhirat.”
Kemudian beliau wafat sebelum sempat menyelesaikan penulisan tafsir Qur’an. Bagian tafsir yang telah diselesaikan ini dicetak dalam dua belas jilid berukuran besar.

B. Fi Zilal al- Qur’an
Tafsir Fi Zilal al- Qur’an oleh Sayid Qutub. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh asy-Syahid Hasan al-Bana dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini, tanpa diragukan. Tidak seorangpun dari lawan-lawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam. Maka dengan gerakan ini ditumpahkanlah segala potensi pemuda Islam untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syari’atNya, meninggikan kalimahNya, membangun kejayaannya dan mengembalikan kekuasaannya. Apapun yang dikatakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi atas jama’ah ini namun pengharuh intelektualitasnya tidak dapat diingkari oleh siapapun juga.
Di antara tokoh jama’ah ini yang paling menonjol adalah seorang alim yang sulit dicari bandingannya dan pemikir cemerlang, asy-Syahid Sayid Qutub, yang telah memfilsafatkan pemikiran Islam dan menyingkapkan ajaran-ajarannya yang benar dengan jelas dan gamblang. Tokoh yang menemui Tuhannya sebagai syahid dalam membela akidah ini telah meninggalkan warisan pemikiran sangat bermutu, terutama kitabnya tentang tafsir yang diberi nama Fi Zilalil Qur’an.
Kitab tersebut merupakan sebuah tafsir sempurna tentang kehidupan di bawah sinar Qur’an dan petunjuk Islam. Pengarangnya hidup dibawah naungan Qur’an yang bijaksana sebagaimana dapat dipahami dari penamaan kitabnya. Ia meresapi keindahan Qur’an dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia dewasa ini sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai paham dan aliran yang merusak dan pertarungan berdarah yang tiada hentinya.
Situasi seperti ini, tiada jalan keselamatan lain selain dengan Islam. Dalam pendahuluan tafsirnya ia mengatakan : “Telah saya rasakan masa kehidupan di bawah naungan Qur’an hingga sampai pada keyakinan pasti, bahwa tidak akan ada kebaikan bagi bumi ini, tidak ada ketenangan bagi kemanusiaan, tidak ada ketenteraman bagi umat manusia serta tidak aka nada kemajuan, keberkatan dan kesucian, juga tidak ada keharmonisan dengan hukum-hukum alam dan fitrah kehidupan, kecuali kembali kepada Allah.
Kembali kepada Allah sebagaimana tampak di bawah naungan Qur’an, hanya mempunyai satu bentuk dan satu jalan, hanya satu tanpa yang lain. Yaitu mengembalikan persoalan hidup dengan segala aspeknya kepada system Allah yang telah digariskan bagi umat manusia di dalam kitabNya yang mulia. Yakni berhukum, berpedoman, dan mengikuti hanya pada kitab tersebut dalam kehidupan dengan segala persoalannya. Jika tidak, maka itu berarti kerusakan di muka bumi, kerusakan bagi umat manusia, kemunduran ke dalam lumpur dan budaya jahiliyah yang menyembah hawa nafsu, bukan menyembah Allah. QS. Al-Qasas : 50
                         
Artinya :
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Berhukum kepada sistem atau undang-undang Allah dalam kitabNya bukanlah perbuatan sunnah, sukarela atau pilihan, tetapi itu adalah keimanan. Bagaimana hal tersebut bukan keimanan, padahal Allah berfirman :
         •             •   
Artinya :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Ahzab : 36)

      •        •        •         
Artinya :
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Jasiyah : 18-19)

Bertitik tolak dari pandangan inilah Sayid Qutub menempuh metode tertentu bagi penulisan tafsirnya. Pertama - tama beliau datangkan satu“naungan”dalam mukaddimah setiap surah untuk mengaitkan atau mempertemukan antara bagian-bagiannya dan untuk menjelaskan tujuan serta maksudnya. Sesudah itu barulah ia menafsirkan ayat dengan mengetengahkan asar-asar sahih, lalu mengemukakan sebuah paragrap tentang kajian-kajian kebahasaan secara singkat. Kemudian ia beralih ke soal lain, yaitu membangkitkan kesadaran, membetulkan pemahaman dan mengaitkan Islam dengan kehidupan. Kitab ini terdiri atas delapan jilid besar dan telah mengalami cetak ulang beberapa kali hanya dalam beberapa tahun saja, karena mendapat sambutan baik dari orang-orang terpelajar. Kitab tersebut merupakan kekayaan intelektual sosial besar yang diperlukan oleh setiap muslim masa kini.

C. Al- Maraghi
Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Lahir pada tahun 1300 H/1883 M di kota Maraghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 kilometer di sebelah selatan kota Kairo. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah madrasah di desanya, tempat ia mempelajari al-Qur’an, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya sehingga sebelum menginjak usia 13 tahun, ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur’an. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain.
Dari segi metodologi, al-Maraghi telah mengembangkan metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufasir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara ‘uraian global’ dan ‘uraian perincian’. Sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu Ma’na Ijma-li dan Ma’na Tahlili. Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dhaif) dan susah diterima akal, atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah.
Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufasir untuk melibatkan dua sumber penafsiran, aql (akal) dan naql (nas al-Qur’an dan hadits). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan mengandalkan riwayat semata. Sebab, selain jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan terhadap penyimpangan.
Tidak dapat dimungkiri, tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama tafsir al-Manar. Hal ini wajar, mengingat dua penulis tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun sistematika dan langkah-langkah yang digunakan dalam Tafsir al-Maraghi adalah sebagai berikut:
Pertama, Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas.
Kedua, Penjelasan kosa kata (Syarh al-Mufradat). Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
Ketiga, Makna ayat sacara umum (Ma’na al-Ijmali). Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.
Keempat, Penjabaran (al-Idhah). Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan Asbab an-Nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-Ithnab), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
Penulisan tafsir al-Maraghi tidak terlepas dari rasa tanggung jawab dan tuntutan ilmiah seorang penulis sebagai salah seorang ulama tafsir, dalam mengatasi problema masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan secara cepat dan tepat. Karena alasan itulah tafsir al-Maraghi tampil dengan gaya modern, yakni tafsir yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju. Al-Maraghi berhasil menggabungkan dari beberapa metode tafsir yang ada, melalui kitab tafsirnya, al-Maraghi juga mengembangkan salah satu unsur penafsiran baru, yakni memisahkan antara penjelasan global (ijmali) dan penjelasan rincian (tahlili).

D. Al- Misbah
Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Shihab, beliau lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia merupakan putra dari salah seorang wirausahawan dan juga seorang guru besar dalam bidang tafsir yaitu Prof. KH. Abdurrahma Shihab. Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali pendidikannya dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i al-Qur’an al-Karim.
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun waktu dua tahun ia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah” (suatu kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar Karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syarafal Ula. Adapun karya-karya beliau yang lain adalah: Tafsir al-Amanah, Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an Tafsir al-Qur’an Al-Karim. al-Asma Al-Husna. Mukjizat al-Qur’an.
Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan menggunakan metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam tafsir al-Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan ilmu al-Munâsabât yang tercermin dalam enam hal:
1. Keserasian kata demi kata dalam satu surah;
2. Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
3. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
4. Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya;
5. Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
6. Keserasian tema surah dengan nama surah.
Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish Shihab mengemukakan bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudhu’i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode tahlili, Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode maudhu’i. Dengan demikian, metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode yaitu metode Tahlili dengan metode Maudhu’i. Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah corak Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat. Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
1. Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
2. Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
3. Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
4. Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengana ayat yang sedang dibahas.
Adapun sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan hasil ijtihad semata , hal ini diakui oleh penulisnya dalam kata pengantar mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan mereka banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain.
Latar belakang penulisan tafsir al-Misbah ini diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “tafsir al-Qur’an al-Karim” pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya ia tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman dan lain-lain merujuk kepada hadits dhoif, misalnya bahwa membaca surah al-Waqi’ah mengandung kehadiran rizki. Dalam tafsir al-Misbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekililing ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.










KESIMPULAN


Demikianlah gambaran umum makalah ini yang secara global mengkaji tafsir klasik, meliputi : Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an oleh Ibn Jarir at-Tabari, Mafatihul Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Qur’anil ‘Azim (tafsir Ibnu Kasir) oleh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Amr bin Kasir. Tafsir Modern, meliputi : Tafsir al-Manar, oleh Sayid Muhammad Rasyid Rida, Fi Zilalil Qur’an oleh asy-Syahid Sayid Qutub, Tafsir al-Maraghi Oleh Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi dan Tafsir al-Misbah oleh Muhammad Quraish Sihab. Secara singkat dan sederhana dapat disimpulkan bahwa baik tafsir klasik maupun tafsir modern tersebut pada dasarnya ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi berbagai problema umat manusia. Oleh karena itu, diskursus tafsir klasik dan modern diwarnai oleh usaha-usaha untuk membumikan al-Qur’an ditengah-tengah kehidupan umat Islam. Para mufassir ingin membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar bersifat universal yang dapat menjawab problematika umat.
Apa yang dilakukan oleh mufassir modern sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya cocok dengan sosio-kultural setempat, dan tidak cocok dengan sosio-kultural yang lain. Oleh karena itu, dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup kemungkinan munculnya mufassir-mufassir modern di tempat lain bahkan diantara kita. Aamiin!









DAFTAR PUSTAKA


A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional alam Tafsir al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006.

Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz 1.

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Tengku, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Anwar, Rosihan, Samudera al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.

Asy’ari Ulama’i, Hasan, Membedah Kitab Tafsir Hadis; Dari Iman Ibn Jarir al- Thobari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, Semarang: Walisongo Press.

Baidan, Nashruddin, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,
2000.

Faiz , Fachruddin, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta: Qalam, cet. Ke-II, 2002.

Khalil, al-Qattan Manna, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2009.

Ichwan, Mohammad Nur, Belajar al-Qur’an; Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al- Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang: Rasail.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.

----------------------, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas berbagai Persoalan Umat, Bandung: Penerbit Mizan, 1998.

----------------------, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar